visitaaponce.com

Teliti Intervensi Nyeri Penderita Kanker, Yusak Jadi Guru Besar Neurologi UPH

Teliti Intervensi Nyeri Penderita Kanker, Yusak Jadi Guru Besar Neurologi UPH
Guru Besar bidang Neurologi UPH Yusak Mangara Tua Siahaan(Istimewa)

Sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia, kanker menjadi masalah kesehatan utama. Menurut data WHO, kanker menyebabkan 10 juta kematian pada 2020 dan diperkirakan akan meningkat hingga 70% pada 2030. Selain menyebabkan angka kematian yang tinggi, kanker juga membuat para penderita mengalami penurunan kualitas hidup akibat nyeri.

Melihat fenomena tersebut, Yusak Mangara Tua Siahaan, dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, mencoba turun tangan. Ia melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan penerapan metode intervensi nyeri bagi penderita kanker.

Penelitian itu juga membawanya meraih gelar Guru Besar bidang Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (FK UPH) yang didasarkan pada Surat Keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nomor 1546/M/07/2023 yang dikeluarkan pada 14 September 2023.

Baca juga: Langkah Awal Pemulihan Psikologis Penderita Kanker, Menerima Diri Sendiri

Dalam orasi ilmiah berjudul Optimalisasi, Tantangan dan Hambatan Manajemen Intervensi Nyeri untuk Peningkatan Kualitas Hidup Penderita Kanker, Yusak menyoroti bahwa selain tingginya angka kematian, para penderita kanker juga mengalami penurunan kualitas hidup dalam aspek sosial, keuangan, psikososial, dan fisik. Menurut penelitian Carmen Rodriguez, 61% penderita kanker menyatakan bahwa nyeri adalah penyebab utama penurunan kualitas hidup.

“Jumlah penderita kanker di Indonesia mencapai sekitar 400 ribu orang. Sebanyak 120 ribu di antara mereka mengalami nyeri. Kegagalan pengobatan nyeri dengan menggunakan farmakologi analgesia mencapai 20-30%, sehingga penderita nyeri kanker yang memerlukan manajemen intervensi nyeri mencapai 24 ribu sampai 36 ribu kasus. Meskipun nyeri kanker tidak langsung menyebabkan kematian, namun menjadi salah satu gejala kanker yang umum dan mengakibatkan disabilitas serta penurunan kualitas hidup,” jelas Yusak.

Ia menerangkan nyeri kanker disebabkan oleh progresivitas perjalanan kanker itu sendiri, termasuk pertumbuhan tumor, proses metastasis, dan terapi anti-kanker seperti kemoterapi, radioterapi, dan operasi kuratif. Sejak 1986, WHO mengatur tiga tahapan pemberian opioid sebagai obat nyeri kanker, yaitu nyeri ringan (non-opioid), nyeri sedang (opioid ringan), dan nyeri sedang-berat (opioid). Meskipun opioid efektif meredakan nyeri kanker, mereka juga berinteraksi dengan sistem tubuh yang dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, sedasi, pusing, halusinasi, dan depresi pernapasan.

Baca juga: Semua Obat JKN untuk Pasien Kanker Harus Dijamin, Berapapun Stadiumnya

Untuk itu, Yusak mengajukan tiga perubahan terhadap tahapan penggunaan opioid dari WHO. Pertama, menghapus tahapan kedua, yaitu opioid ringan (nyeri sedang). Kedua, memprioritaskan kenaikan intensitas nyeri sebagai pertimbangan untuk segera mengubah langkah pengobatan. Ketiga, merekomendasikan prosedur manajemen intervensi nyeri. Dia juga mengajukan agar prosedur manajemen intervensi nyeri tersebut dapat menjadi tahapan keempat WHO untuk mengatasi nyeri bagi penderita kanker.

“Tindakan manajemen intervensi dilakukan melalui prosedur penyuntikan obat, zat, atau alat tertentu ke dalam struktur tubuh. Prosedur intervensi pada nyeri kanker dapat dilakukan apabila pemeriksaan neurologis telah dilakukan secara komprehensif disertai hasil profil koagulasi darah yang normal. Prosedur intervensi nyeri telah terbukti sangat efektif dalam mengatasi rasa nyeri pada pasien kanker, termasuk prosedur blok saraf dan pleksus, blok neuroaksial, blok simpatetik, Intrathecal Drug Delivery Systems (IDDS), neuromodulasi, dan percutaneous cordotomy,” ungkapnya.

Saat ini, manajemen intervensi nyeri umumnya dilakukan oleh spesialis Neurologi, Anestesi, Bedah Saraf, maupun Ortopedi. Namun, jumlahnya belum mencukupi untuk melakukan prosedur nyeri yang merata di seluruh rumah sakit (RS) di Indonesia. Ia menambahkan, dari sekitar 150 dokter spesialis neurologi yang telah memiliki sertifikat kompetensi manajemen intervensi nyeri, hanya sekitar 5-10 orang yang melakukan prosedur tersebut. Prof Yusak sendiri adalah salah satu dokter yang telah memiliki sertifikat Fellow of Interventional Pain Practice (FIPP) tersebut.

“Ini juga menjadi tantangan bagi para mahasiswa dan alumni muda untuk mempertimbangkan bidang ini sebagai area pelayanan kesehatan di masa depan. Dengan semakin optimalnya pelayanan manajemen intervensi nyeri, diharapkan dapat mengurangi penggunaan opioid jangka panjang, sehingga penderita kanker dapat terhindar dari efek samping, tetap memiliki kualitas hidup yang baik, dan fokus pada pengobatan kankernya,” tandas Yusak. (RO/Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat