visitaaponce.com

Pancasila sebagai Wadah Persatuan Anak Bangsa untuk Hidup Rukun

Pancasila sebagai Wadah Persatuan Anak Bangsa untuk Hidup Rukun
Presiden Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam Indonesia (SII) KH Muflich Chalif Ibrahim.(Ist)

PRESIDEN Lajnah Tanfidziyah (LT) Syarikat Islam Indonesia (SII) KH Muflich Chalif Ibrahim mengatakan Pancasila merupakan wadah persatuan anak bangsa untuk hidup rukun dan saling mengenal.

Indonesia adalah bangsa yang kuat kerukunan antarmasyarakatnya karena ditopang falsafah luhur yang bernama Pancasila. Intisari dari ajaran agama dan cita-cita pendiri bangsa ini menjadi mercusuar Indonesia dalam menjawab tantangan zaman yang silih berganti.

"Kerukunan antarpersonal, umat beragama, dan semua golongan itu aturannya sudah jelas diwadahi Pancasila. Tidak hanya berasaskan peraturan negara, pada agama Islam, persatuan sesama manusia juga sesuai dengan teladan Baginda Rasul Muhammad SAW. Hanya saja yang namanya gangguan terhadap persatuan akan selalu ada. Jika tidak diantisipasi, ini bisa menjadi ancaman dari kerukunan itu sendiri, khususnya antarumat beragama," terang Kiai Muflich seperti dilansir Antara di Jakarta, Jumat (1/12).

Pancasila sebagai wadah persatuan anak bangsa untuk hidup rukun dan saling mengenal persatuan Indonesia merupakan salah satu nilai Pancasila yang menjadi pengikat kerukunan dan kebersamaan seluruh anak bangsa.

Muflich menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus bersyukur karena disatukan dalam format negara berlandaskan Pancasila yang mampu mewadahi semua. Meski demikian, seluruh warga negara harus selalu melakukan introspeksi agar kerukunan dan kebersamaan dapat terpelihara dengan baik.

Ia menerangkan bahwa kerukunan antarsesama manusia bisa terwujud bila dalam hubungan antarpersonal tidak ada paksaan, baik secara fisik maupun nonfisik.

"Bahkan dalam hal pemikiran juga tidak boleh ada pemaksaan sehingga satu pihak dipaksa setuju pada pilihan kelompok lainnya. Pemaksaan dengan segala bentuknya tentu tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam," lanjutnya.

Menurutnya, perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia justru bisa menjadi kekuatan selama kita mau membuka ruang komunikasi dan dialog. Komunikasi yang baik bisa menjembatani perbedaan yang ada hingga kemudian kita sampai pada kesimpulan untuk bisa saling mengerti dan memahami kelompok yang berbeda.

"Perbedaan yang biasanya ditemukan dalam perkara ubudiyah atau tata cara beribadah tentu jangan sampai menjadi perselisihan selama masih berada dalam bingkai NKRI," ujarnya.


Baca juga: Perhatikan Guru Agama, Wali Kota Cilegon Raih Penghargaan Kemenag


Karena itu, lanjut dia, alangkah baiknya jika kerukunan ini datang dari kesadaran dan keinginan lubuk hati terdalam masing-masing anak bangsa sehingga dengan begitu kerukunan yang tercipta di Indonesia memiliki dasar emosional dan spiritual yang sangat kuat dan mengakar pada setiap golongan dan kepercayaan.

"Kita ingin suasana yang rukun, aman, dan damai itu memang sebenarnya begitu, bukan dirukunkan, diamankan atau didamaikan. Jadi semangat persatuan Indonesia ini bisa berangkat dari kesadaran dan pemahaman antarumat beragama masing-masing," jelasnya.

Muflich menegaskan pada tingkat ini, umat Islam tidak hanya diharapkan memiliki ilmu agama yang cukup, tetapi pemahamannya harus lentur, luwes, bisa menyesuaikan dimana dia tinggal. Dengan keluwesan ini, seorang muslim bisa senantiasa mencintai keadilan dan kesetaraan dalam bermasyarakat, di mana saja dan kapan saja.

Dalam mengupayakan terwujudnya kerukunan, katanya, tentu akan ada tantangan dari individu dan kelompok yang memiliki orientasi berbeda. Ketika menemukan yang demikian, maka masyarakat bisa meneladani Nabi Muhammad yang menjawab pernyataan sumbang dengan perkataan 'qalu salama' atau membalasnya dengan sopan. Kesantunan menjadi ciri orang yang beriman dalam interaksinya dengan manusia lainnya.

Ia menambahkan kesantunan sebenarnya erat kaitannya dengan akal. Manusia digariskan sebagai makhluk yang paling baik karena mereka memiliki dan menggunakan akalnya untuk mencerna wahyu ilahi. Oleh karenanya, hanya orang yang memiliki akal sehat yang bisa mempraktikkan kesantunan.

"Rasul pernah bersabda, 'ad diin al muammalah', agama itu adalah muamalah atau interaksi secara personal maupun antargolongan. Semakin bagus praktik muamalahnya, semakin santun interaksinya dengan manusia lain, maka semakin baik pula kualitas keagamaannya," ucapnya.

Maka dari itu, tuturnya, sangat disayangkan apabila belum apa-apa, masyarakat sudah menghakimi suatu informasi atau peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Baru sekali mendengar atau membaca tulisan yang beredar, namun bisa langsung percaya begitu saja.

"Saya sendiri jika melihat hal yang secara prinsip sangat mengganggu kerukunan, saya akan datangi untuk bertemu dan berdialog. Dengan begitu, kita tahu betul latar belakang permasalahan yang sedang kita hadapi. Seringkali kita menemukan bahwa pemahaman agamanya sudah bagus, tinggal pola komunikasi saja yang perlu kita benahi," ungkap Kiai Muflich.

Menutup penjelasannya, ia mengingatkan bahwa Islam yang diturunkan Allah sifatnya universal karena Islam diturunkan untuk menjadi rahmat seluruh alam dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja. (Ant/I-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat