visitaaponce.com

Kurikulum Merdeka Tidak Menjamin Kenaikan Skor PISA di 2025

Kurikulum Merdeka Tidak Menjamin Kenaikan Skor PISA di 2025
Pelajar mengikuti proses belajar mengajar secara berkelompok dalam program Kurikulum Merdeka dengan pilihan Mandiri Belajar di sekolah.(ANTARA/AMPELSA)

KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menyampaikan bahwa Kurikulum Merdeka baru akan berdampak pada kenaikan skor PISA di 2025. 

Akan tetapi, Praktisi pendidikan dan Pengawas Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas (Pengincer), Dhitta Puti Sarasvati, tidak yakin dengan hal tersebut karena Kurikulum Merdeka sebagai sebuah sistem pembelajaran tak memiliki dasar kajian naskah akademik dan belum dilengkapi dengan panduan yang jelas sejak diluncurkan.

“Kurikulum Merdeka itu belum selesai sebagai kurikulum resmi karena filosofinya tidak ada, keteraturan di dalamnya belum jelas, dan sebagainya. Jadi sebagai dokumen resmi saja, kurikulum itu belum selesai,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “PISA dan Janji Mencerdaskan Bangsa” di Jakarta pada Kamis (7/12).

Baca juga:  Standar Ganda Kenaikan Skor PISA Indonesia Harus Dicermati

Ia mengakui, kurikulum merdeka bisa menjadi ruang inovasi bagi metode pembelajaran yang dilaksanakan guru sebagai tenaga profesional. Akan tetapi, sebagai sebuah instruksi capaian pembelajaran, seharusnya ada prosedur yang diberikan secara jelas.

“Di beberapa kurikulum resmi di negara-negara lain itu diturunkan kebutuhan pembelajaran instruksionalnya. Menurunkan capaian pembelajaran sebetulnya ini adalah kebutuhan umum,” jelasnya.

Baca juga: Angka Stunting Pengaruhi Skor PISA Negara

Pun jika tak ada instruksi kata dia, pemerintah harus bisa memastikan kualitas guru Indonesia sangat baik. Sebab dengan bekal pengetahuan dan pengalaman profesional, capaian pembelajaran dapat dicapai.

“Kalau belum ada pembekalan kepada guru, atau guru kita belum dilatih sebagai guru dengan kompetensi yang profesional, maka perlu intervensi disini untuk kondisi yang ingin dicapai,” jelasnya.

Dhitta mengatakan bahwa keluwesan sistem yang ada dalam kurikulum Merdeka justru tak diikuti oleh kemampuan serta kualitas guru. Padahal menurutnya, kemampuan guru menjadi sentral dalam pembenahan kualitas pendidikan.

“Dalam laporan PISA itu, disebutkan bahwa persentase siswa yang melaporkan ketika murid membutuhkan pertolongan guru matematika berada pada urutan 70 dari 79. Ini bukan karena guru guru tidak peduli tapi memang kualitas guru belum cukup sehingga tak semua bisa menjelaskan dengan baik,” tandasnya. 

Tanggung jawab pendidikan

Pada kesempatan yang sama, Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan bahwa perbaikan sistem pendidikan di Indonesia harus berdasarkan pada keseimbangan tiga sentra. Tanggung jawab pendidikan bukan hanya dilimpahkan kepada pihak sekolah, melainkan para orang tua dan masyarakat juga turut aktif mendidik anak-anaknya.

“Urusan pendidikan sejatinya sesuai dengan slogan KH Dewantara yang berpacu pada ada tiga sentra, yakni pendidikan di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Rumah sebagai sentra pendidikan, pergerakan pemuda atau masyarakat sebagai sentra pendidikan, dan sekolah sebagai sentra pendidikan. Tiga ini harus seimbang,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini sentra pendidikan Indonesia sangat bertumpu pada sekolah sehingga para pendidik amat sangat dibebankan, sehingga hal itu tak bisa dilanjutkan. Beban yang besar itu juga terlihat dari banyaknya tugas/PR yang diberikan kepada pelajar.

“Karena bagaimanapun keluarga dan masyarakat itu mesti diberdayakan. Kita punya tanggung jawab untuk ikut memajukan ekosistem pendidikan di keluarga dan masyarakat bukan hanya sekolah saja,” jelasnya.

Indra mengatakan bahwa gagasan Tiga Sentra Pendidikan itu pernah dijalankan oleh Anies Baswedan saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan, salah satu implementasi nyata adalah dengan mendirikan Direktorat Pendidikan Orang Tua di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015 silam namun telah dibubarkan.

“Waktu itu (Direktorat Pendidikan Orang Tua) ini menjadi langkah penting, sayang hal itu sudah dihapuskan. Padahal ini diperlukan agar orang tua punya kepercayaan diri untuk bisa mendidik anaknya, tidak melepas saja begitu ke sekolah atau ke tempat les. Bagaimana agar orang tua bisa dibantu dan dilatih untuk mendidik anaknya sendiri,” ujarnya. (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat