visitaaponce.com

Perlu Direvisi, Target RPJPN 2025-2045 Pendidikan Tidak Realistis

Perlu Direvisi, Target RPJPN 2025-2045 Pendidikan Tidak Realistis
Ilustrasi(Antara)

TARGET Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 di sektor pendidikan harus direvisi karena tidak realistis. Hal itu ditegaskan oleh Asa Dewantara, lembaga independen nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Managing Director Asa Dewantara, Hamid Abidin, menjelaskan bahwa hal ini karena RPJPN tersebut memang cukup ambisius karena diharapkan dapat memunculkan transformasi sosial untuk membangun manusia sehat, cerdas kreatif, sejahtera dan unggul, serta berdaya saing.

Sayangnya berbagai sasaran atau target di bidang pendidikan yang diterapkan sebagian besar tidak logis, tidak singkron dan tidak mendukung pencapaian misi yang ditetapkan.

Baca juga : Hasil PISA 2022, Matematika Indonesia masih Stagnan

“Saya katakan bisa saja target itu tercapai, tapi karena kita lihat realitasnya target yang kita tetapkan itu sebagian besar sudah dicapai oleh negara-negara lain pada tahun 2021. Jadi kalau pada 2045 kita bermimpi untuk meningkatkan skor PISA, harapan lama sekolah masyarakat, dan lainnya itu sebenarnya sudah bisa dicapai negara lain pada 2021,” ungkapnya dalam Konferensi Pers Meneropong Masa Depan Pendidikan Indonesia, Rabu (18/10).

“Kita bermimpi di 2024 sementara mimpi kita sudah diwujudkan oleh negara-negara lain pada 2021. Nah itu yang kemudian membuat misi kita bisa dipastikan tidak tercapai karena kita misinya unggul dan berdaya saing sementara negara-negara lain sudah mencapai sasaran dan target indikator bidang pendidikan kita,” sambung Hamid.

Lebih lanjut, Asa Dewantara meminta pemerintah untuk meninjau dan mereviai sasaran dan target RPJPN di sektor pendidikan. Menurut Hamid, Tim Penyusun RPJPN tampaknya tidak melihat dan membandingkan RPJPN dengan sasaran target pendidikan di negara lain.

Baca juga : Srikandi PLN Icon Plus Goes To School Bantu Edukasi untuk Kemajuan Negeri

Pasalnya, misi untuk menciptakan pendidikan unggul dan bersaing jika diperbandingkan dengan negara lain sudah sangat jomplang sekali.

“Jadi kalau target ini yang ditetapkan pembangunan pendidikan 20 tahun ke depan, tidak akan ada terobosan, akserelasi serta inovasi. Jadi sepertinya akan hanya menggunakan cara lama karena targetnya ya seperti itu sesuai dengan target sebelum sebelumnya. Ini hanya akan jadi target yang tidak ambisius seperti apa adanya dan bisa dibayangkan pada 2045 kita akan jauh ketinggalan dibandingkan negara lain,” tegasnya.

Hamid menekankan bahwa target RPJPN perlu segera ditinjau ulang dan direvisi sebelum disahkan menjadi Undang-Undang. Karena pembangunan pendidikan Indonesia terancam akan berjalan seperti biasa saja, sementara tantangan-tantangan yang ada sudah luar biasa. Hal ini hanya akan menimbulkan kesenjangan yang masih pesat seperti kualitas pendidikan masih minim dan lainnya.

Baca juga : PISA dan Transformasi SDM Unggul

Di tempat yang sama, Peneliti Asa Dewantara, Nyimas Gandasari, merinci bahwa dalam misi dan sasaran target pendidikan yang tertuang di RPJPN 2024-2045, pemerintah memandang Indonesia pada 2045 sebagai negara nusantara yang berdaulat, maju dan berkelanjutan.

Sasaran utama visi tersebut ada lima hal yaitu peningkatan pendapatan per kapita, kemiskinan berkurang, pengaruh di dunia internasional, SDM meningkat, dan menuju net zero emission.

Tiga indikator target Indonesia Emas 2045

Sementara itu, sasaran atau target Indonesia emas 2045 di bidang pendidikan ada tiga indikator. Pertama terkait hasil pembelajaran.

Baca juga : Penempatan Tenaga Guru PPPK Masih Bermasalah, Nasibnya Terluntang-lantung

Rata-rata nilai PISA pada 2018 nilai membaca masyarakat Indonesia mencapai 371 poin, matematika 379 poin dan sains 396 poin. Sementara sasaran untuk 2025 membaca 396 poin, matematika 404 poin dan sains 416 poin. Lalu untuk sasaran pada 2045 membaca mencapai 485 poin, matematika 490 poin dan sains 487 poin.

Lebih lanjut rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia pada 2021 mencapai usia 8,59 tahun dan harapan lama sekolah mencapai 13,08 tahun. Diharapkan pada 2025 angka tersebut meningkat untuk rata-rata lama sekolah mencapai 9,45 tahun dan harapan lama sekolah 13,37 tahun, lalu meningkat lagi pada 2045 untuk rata-rata lama sekolah mencapai 12 tahun dan harapan lama sekolah 14,81 tahun.

Kedua, terkait angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi pada 2021 masih di level 31,19%. Diharapkan pada 2025 meningkat mencapai 33,94% dan di 2045 mencapai 60%.

Baca juga : Ribuan Peserta Ikuti Tes PSB SMP Labschool 2024

Ketiga, persentase pekerja lulusan pendidikan menengah dan tinggi yang bekerja di bidang keahlian menengah tinggi diharapkan pada 2025 mencapai 61,87% dan meningkat sampai 75% di 2045.

“Sasaran tadi akan ditempuh oleh pemerintah melalui berbagai tahap yang pertama tahap penguatan fondasi yang dilakukan dengan pemenuhan layanan dasar kesehatan pendidikan dan perlindungan sosial pada periode 2025 sampai 2029. Kedua akselerasi transformasi yaitu dengan melakukan percepatan pembangunan SDM yang berkualitas dan inklusif yang akan dilakukan pada periode 2030 sampai 2034,” ujar Nyimas.

“Selanjutnya melakukan ekspansi global dengan cara penguatan daya saing SDM dan keberlanjutan kesejahteraan yang akan dilakukan pada periode 2035 sampai 2039. Terakhir adalah perwujudan Indonesia emas situ menghadirkan manusia Indonesia yang unggul pada periode 2040 sampai 2045,” lanjutnya.

Baca juga : Ayep Zaki dan NasDem Bangun Ekosistem Ekonomi Berkelanjutan untuk Sejahterakan Sukabumi

Tantangan yang berat

Menurut Nyimas, tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan hal ini cukup berat. Beberapa contoh ialah rerata lama sekolah orang Indonesia sepanjang 31 tahun atau dari periode 1990-2021 yang belum signifikan.

Dari periode 1990-2006, rata-rata lama sekolah orang Indonesia mengalami kenaikan 0,3 tahun. Tapi pada periode 2006-2007 mengalami penurunan yang cukup drastis sekitar 0,6 tahun. Lalu pada 2007-2022 kembali mengalami kenaikan tapi hanya 0,11 tahun, tidak setinggi periode 1990-2006.

“Jika dikalkulasikan selama 31 tahun, rata-rata lama sekolah di Indonesia mencapai 0,17 tahun,” kata Nyimas.

Baca juga : Sinar Mas Land Beri Bantuan ke 44 Sekolah di Tangerang Selatan

Selaniutnya, angka partisipasi murni SMA juga masih rendah. Padahal RPJPN menargetkan SDM di sektor lapangan kerja nanti minimal setingkat SMA atau perguruan tinggi.

“Di 2021 misalnya, baru sekitar 68,90% artinya ada sekitar 31,32% dari total penduduk usia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA. Dari jumlah tersebut 54,19% di antaranya tinggal di pedesaan. Selain itu angka partisipasi murni pada jenjang SMP saat ini juga baru mencapai 75,60% dan untuk jenjang SD 92,57% ini masih harus ditingkatkan,” tegasnya.

Ketimpangan miskin dan kaya

Selain itu, masih terjadi ketimpangan antara penduduk termiskin dengan terkaya saat ini. Misalnya, penduduk termiskin itu bisa mencapai 61% yang mengenyam pendidikan sampai jenjang SMA sementara untuk penduduk terkaya sekitar 79% yang mampu mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA.

Baca juga : Ekonomi Indonesia Timur Tumbuh Tinggi tapi Kontribusi Rendah

Ketimpangan ini juga dapat dijelaskan dengan minimnya akses sekolah di sekitar masyarakat. Untuk di tingkat PAUD misalnya sekitar 14,94% desa di Indonesia tidak memiliki akses ke semua jenis PAUD. Kemudian hanya 11,07% desa memiliki fasilitas PAUD dalam radius kurang dari 6 km.

“Jadi PAUD di Indonesia masih jauh dan masih banyak anak usia dini di Indonesia yang masih belum mendapat layanan pendidikan. Padahal ini cukup penting dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jarak PAUD rata-rata juga masih sangat challenging di wilayah pedesaan mencapai 18,77 km,” ucap Nyimas.

Selanjutnya mengenai kualitas pendidikan, pemerintah menargetkan skor PISA mengalami kenaikan. Namun, dari tahun ke tahun tren skor PISA untuk membaca itu menurun. Hal yang sama juga terjadi dari sisi matematika dan sains.

Baca juga : Anies Baswedan: Masyarakat Banyak Mengeluhkan Masalah di Sektor Pendidikan

“Kemudian angka partisipasi kasar di perguruan tinggi saat ini Indonesia masih cukup rendah. Dalam partisipasi masyarakat ke jenjang perguruan tinggi masih sekitar 31,51% dengan perbedaan atau ketimpangan terhadap penduduk terkaya dan termiskin, di mana penduduk termiskin hanya mencapai 3,02% yang dapat mengakses pendidikan tinggi, sementara untuk masyarakat terkaya itu mencapai 24,31%,” pungkasnya. (Z-4)

 

Baca juga : PLN Icon Plus Beri Bantuan kepada 10 Sekolah dan Masyarakat di Palembang

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat