visitaaponce.com

BPJS Kesehatan Potensi Fitofarmaka yang Teruji HTA Bisa Tekan Biaya Pengobatan Nasional

BPJS Kesehatan: Potensi Fitofarmaka yang Teruji HTA Bisa Tekan Biaya Pengobatan Nasional
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) Ali Ghufron Mukti (paling kiri)(MI/DEVI HARAHAP)

DIREKTUR  utama Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) Ali Ghufron Mukti memaparkan peran BPJS Kesehatan dalam memfasilitasi fitofarmaka agar masuk dalam Formularium Nasional Obat untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Fitofarmaka merupakan jenis obat yang terbuat dari bahan alami dan telah teruji klinis secara khasiat dan keamanannya. Namun hingga saat ini, fitofarmaka belum tercakup dalam pendanaan program BPJS Kesehatan. Sehingga, pihak asuransi kesehatan dan tenaga medis belum dapat menerima klaim resep Fitofarmaka di rumah sakit, klinik maupun apotek, karena masih dianggap sebagai golongan obat tradisional.

Ghufron menjelaskan bahwa salah satu cara agar fitofarmaka termasuk obat herbal masuk dalam program nasional, diperlukan adanya pertimbangan dari aspek keamanan, biaya dan efektivitas klinis menggunakan health technology assessment (HTA).

Baca juga : Asosiasi Dokter Herbal Minta Fitofarmaka Bisa Diresepkan untuk Pasien BPJS Kesehatan

“Kebijakan ini bukan BPJS Kesehatan yang menentukan tetapi memang jika diharuskan masuk dalam pembiayaan BPJS untuk peserta JKN, perlu dilakukan HTA, dinilai dulu benar atau tidak (khasiatnya),” kata Gufron dalam 17th International Conference on ICT in Social Security di Bali, Rabu (6/3).

Menurut Gufron, fitofarmaka diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan bahan impor dalam industri farmasi tanah air. Potensinya juga sangat besar, mengingat Indonesia punya kekayaan sumber daya alam dan tradisi pengobatan tradisional.

“Apalagi saat ini sekitar 90-95% bahan baku industri farmasi masih berasal dari impor. Hanya saja, perlu riset dan pengembangan lebih lanjut serta standarisasi uji klinis agar obat bahan baku alami ini bisa juga jadi alternatif bahan baku obat manufaktur farmasi dan dibiayai oleh BPJS,” ungkapnya.

Baca juga : Dirut BPJS Kesehatan Beberkan Inovasi Digital Program JKN di Forum AeHIN 2023

Lebih lanjut, Ghufron memberi contoh riset salah satu fitofarmaka dari daun pepaya mentah yang oleh menjadi jus dapat dikonsumsi untuk mengatasi dengue atau DBD level empat atau berat. Hasilnya, dengue yang diderita bisa diatasi dan cara ini dijadikan dalam bentuk obat fitofarmaka.

“Tetapi langkah ini saja tidak cukup untuk menjadikan fitofarmaka tersebut sebagai salah satu obat yang didanai BPJS. Fitofarmaka itu harus melalui proses HTA dulu untuk bisa masuk ke formularium. Tapi tidak mudah untuk membuktikan fitofarmaka (efektif atau tidak) karena di BPJS itu tidak cukup hanya efektif,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ghufron mengungkapkan bahwa jenis obat yang bisa ditanggung BPJS tak hanya harus memiliki syarat efektif namun juga memiliki jangkauan yang efisien dan dampak yang besar bagi kesehatan masyarakat.

Baca juga : Anggaran Kesehatan 2024 Naik 8,1% Capai Rp186,4 Triliun. Untuk Apa Saja?

“Untuk masuk ke dalam tidak cukup hanya efektif tapi harus cost effective, jadi lebih efisien dan terjangkau, tidak harus murah tapi meskipun mahal jika dampaknya jauh lebih besar bagi masyarakat maka bisa kita tanggung,” jelasnya.

Ghufron menambahkan, kemandirian bahan baku obat berbasis bahan alam asli Indonesia seharusnya menjadi perhatian bersama lantaran begitu banyak keanekaragaman hayati yang ada.

“Indonesia memiliki 28 ribu tumbuhan yang berpotensi bisa diolah menjadi fitofarmaka karena keanekaragaman hayati kita sangat melimpah luar biasa. Ada juga daun jambu, buah kepuh dan lainnya,” tuturnya.

Baca juga : Badan POM Minta Obat Herbal Masuk Daftar Obat Rujukan BPJS

Hal ini pun menjadi salah satu pertimbangan mengapa fitofarmaka belum dicover BPJS Kesehatan. Namun, alih-alih mendorong masyarakat untuk menggunakan fitofarmaka, Ghufron lebih menyarankan masyarakat untuk menjalankan gaya hidup sehat.

Demi kesehatan masyarakat. Untuk sehat yang paling sederhana untuk bisa hidup sehat adalah kurangi gula, garam, nasi putih, lalu olahraga dan istirahat yang cukup. Jika lima ini diterapkan maka penyakit akan berkurang dan meminimalkan biaya BPJS (Kesehatan) jadi tidak banyak mengeluarkan biaya karena masyarakat sehat. Tentunya harus ada intervensi kebijakan dari pemerintah,” ungkapnya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kesehatan (Menkes) RI Prof Laksono Trisnantoro merespon positif terkait peluang fitofarmaka untuk digunakan secara masif dalam pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kesehatan yang didanai oleh BPJS Kesehatan.

Baca juga : RUU Kesehatan, Besaran Tarif dan Iuran Ditinjau Dua Tahun Sekali

“Sejak 1992 Kemenkes telah mengeluarkan pedoman soal fitofarmaka, 30 tahun berselang ada 26 fitofarmaka, tetapi belum ada satu pun yang masuk BPJS Kesehatan. Dengan demikian, bisa menjadi bagian dari pengobatan modern, juga dapat bersaing dengan obat non-herbal dengan khasiat yang sama,” jelasnya.

Jika menilik Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), dijelaskan bahwa Fitofarmaka secara tegas bukan tergolong sebagai jamu dan obat tradisional.

Meskipun belum bisa ter-cover BPJS, Laksono berharap fitofarmaka bisa menjadi pertimbangn untuk masuk dalam resep umum, sebab penggunaan fitofarmaka bisa menjadi salah satu alternatif yang lebih murah untuk mengatasi penyakit hipertensi dan diabetes, dua jenis penyakit yang banyak dialami masyarakat Indonesia. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat