visitaaponce.com

JPPI Sebut UKT Belum Berkeadilan dan Jauh dari Prinsip Inklusif

JPPI Sebut UKT Belum Berkeadilan dan Jauh dari Prinsip Inklusif
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan(ANTARA/GALIH PRADIPTA)

KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengapresiasi pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI yang memberikan jaminan kebebasan bersuara kepada mahasiswa yang protes dan demonstrasi atas melambungnya uang kuliah tunggal (UKT).

“Namun, ada yang kurang, mestinya Mas Menteri juga harus memanggil para pimpinan kampus yang melakukan kriminalisasi dan intimidasi kepada mahasiswa yang tengah bersuara dan protes,” ungkapnya, Rabu (22/5).

Hingga kini banyak pengaduan dari mahasiswa yang mereka merasa diintimidasi dan terancam gara-gara melakukan aksi protes. Karena itu, pemanggilan para petinggi kampus ini menjadi penting sebagai bagian dari kehadiran dan keberpihakan Kemendikbud-Ristek atas apa yang sudah diamanahkan oleh UUD 1945 (pasal 28) soal kebebasan berpendapat.

Baca juga : DPR Panggil Nadiem Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

“Bukan seperti yang sekarang terjadi, seakan-akan Kemendikbudristek terkesan tak kuasa dalam menertibkan oknum dari para pimpinan kampus yang culas itu,” kata Ubaid.

Lebih lanjut, menurut Kemendikbud-Ristek tidak mengabulkan permintaan Komisi X DPR RI dan tuntutan mahasiswa untuk mencabut Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024. Kemendikbud-Ristek hanya berjanji akan mengkaji, dan tidak tegas akan mencabut.

Sebagaimana diketahui, sebelum raker dengan Kemendikbud-Ristek, Komisi X DPR RI merekomendasikan untuk mencabut peraturan yang dijadikan dasar kenaikan UKT tersebut. Tapi, Kemendikbud-Ristek malah berdalih bahwa tarif SSBOPT (Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi) yang sudah ditetapkan Kemendikbud-Ristek sudah sesuai dengan kemampuan mahasiswa.

Baca juga : Anggaran Pendidikan di APBN Besar, DPR Pertanyakan Meroketnya Biaya Kuliah

Padahal kenyataannya SSBOPT ini dijadikan dasar oleh kampus-kampus untuk menaikkan tarif. “Jadi persoalan ini masih ruwet, masing-masing pihak saling lempar bola panas, satu sisi Kemendikbudristek merasa sudah tetapkan pagu yang berkeadilan. Tapi di sisi lain, ketika pagu ini dirujuk oleh kampus dalam menentukan UKT, ternyata mahasiswa menjerit kemahalan,” tegas Ubaid Matraji.

Menurutnya, UKT sampai saat ini masih belum berkeadilan dan jauh dari prinsip inklusif. Terkait UKT yang membumbung tinggi, Mendikbudristek sebut sudah mengedepanan asas keadilan dan inklusivitas.

Ubaid merasa pernyataan ini hanya klaim sepihak dan sangat mudah dipatahkan. Kalau prinsip tersebut sudah terpenuhi dan diterapkan, tentu tarif UKT tidak akan mengundang polemik seperti saat ini.

Baca juga : Jangan Letakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier

“Maka, perlu kita uji dan perdebatkan kembali, letak keadilannya dimana? Fakta menunjukkan, mahasiswa masih turun di jalan untuk menuntut keadilan soal tarif UKT ini yang dianggap sangat menyengsarakannya,” tuturnya.

“Kalau keributan UKT ini hanya terjadi di salah satu kampus, bisa jadi sudah berkeadilan dan problemnya hanya kasuistik di satu kampus tersebut. Tapi, jika keributan ini terjadi di mana-mana dan di banyak kampus, jelas bahwa yang tidak berkeadilan atau yang bermasalah adalah kebijakan di level pusat atau peraturan Kemendikbudristek yang dirujuk oleh kampus-kampus, yaitu Permendikbudristek No.2 tahun 2024 yang dijadikan dasar kenaikan UKT,” kata Ubaid.

Dia juga mengatakan bahwa UKT mahal ini nyatanya berdampak pada mahasiswa baru dan juga yang lama. Beberapa kali Mendikbudristek menegaskan bahwa kenaikan UKT ini tidak berdampak pada mahasiswa yang sedang kuliah, alias hanya untuk mahasiswa baru. Pernyataan ini jelas salah alamat.

Baca juga : Tolak Pinjol Jadi Opsi Bayar UKT, Komisi X DPR Usul Perbaharui Struktur Anggaran Pendidikan

“Kalau kita cermati protes soal fenomena UKT mahal, ternyata bukan hanya tahun ini. Beberapa tahun lalu, bahkan sebelum pandemi covid-19, mahasiswa sudah mendengungkan protes ihwal UKT mahal ini,” ujarnya

“Jadi jelas, kemahalan UKT itu tidak hanya tahun ini saja, tapi tahun-tahun yang lalu juga sudah mahal. Bedanya, tahun ini mahalnya kian berlipat-lipat. Inilah yang mengakibatkan pekik suara protes mahasiswa pun kian nyaring,” papar Ubaid.

Dengan demikian, korban UKT mahal ini, tidak hanya mahasiswa baru, tapi semua mahasiswa yang tengah duduk dibangku kampus juga terdampak.

Selain itu, gara-gara UKT mahal, tidak hanya mahasiswa miskin yang terdampak, tapi mahasiswa dari keluarga kelas menengah juga mengalami kelimpungan dan kesulitan bayar. Hal ini, sayangnya, tidak disinggung oleh Kemendikbud-Ristek.

Mereka hanya menjelaskan data soal proporsi UKT1 dan UKT2 (golongan miskin) yang, menurut Kemendikbud-Ristek, sudah terpenuhi 20%, bahkan lebih.

“Tentu data ini tidak bisa ditelan mentah-mentah, perlu pembuktian dan audit di tiap-tiap kampus apakah benar sudah tercapai ambang minimal 20%. Data tersebut, perlu kita dalami,” kata Ubaid.

“Misalnya saja, kalau kita tilik data total penerima KIP Kuliah hingga 2024, ditemukan data penerima sebanyak 985.577 mahasiswa. Sementara, jumlah mahasiswa yang sedang kuliah terdapat sekitar 9,32 juta mahasiswa (data tahun 2022). Jadi, penerima KIP Kuliah diperkirakan di kisaran angka 10%, tidak sampai pada batas minimal 20%,” sambungnya.

Selain itu, Kemendikbud-Ristek tidak memberikan skema bantuan dan jaminan keterjangkauan biaya UKT bagi kelompok ekonomi menengah ini. Mereka tidak bisa masuk UKT1 dan UKT2 karena tidak miskin, tapi mereka akan engap dan potensial gagal bayar jika diminta bayar dengan UKT yang mahal.

“Karena itu, supaya mereka tidak gagal bayar UKT, perlu ada skema khusus bantuan pembiayaan untuk mahasiswa kelompok ekonomi menengah ini,” ucap Ubaid.

Dia menekankan bahwa status PTNBH juga sama sekali tidak menguntungkan mahasiswa, justru biang kerok membumbungnya UKT di kampus-kampus negeri.

“PTNBH yang diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis profit, dan dicabutnya sebagian besar porsi peran pembiayaan dari pemerintah, ini jelas meangakibatkan UKT menjadi kian tak terjangkau,” kata Ubaid Matraji.

Pada paparan Kemendikbud-Ristek yang disampaikan oleh Abdul Haris, best practice PTNBH yang dijadikan contoh, salah satunya, adalah kampus ITB. Kampus ini diklaim mampu menurunkan ketergantungan pembiayaan yang bertumpu pada UKT mahasiswa. Disebutkan pada 2023, komposisi proporsi anggaran ITB adalah dari APBN sebanyak 56%, UKT+IPI sebesar 26%, dan sumber lainnya 56%.

“Jika demikian benar, mestinya UKT di ITB akan murah dan terjangkau oleh mahasiswa. Tapi ternyata tidak, bahkan proporsi itu sama sekali tidak meringankan beban mahasiswa ITB,” kata Ubaid.

Beberapa bulan lalu sempat viral bagaimana mahasiwa ITB protes karena mahalnya UKT dan pemaksaan pihak kampus untuk ambil skema pinjol sebagai dana talangan. Ini jelas ITB menjadikan kampus sebagai lahan bisnis dengan bekerja sama dengan pinjol. Jadi, masalah UKT yang mahal masih menjadi masalah di ITB.

“Bahkan, Ketua Yayasan Beasiswa Luar Biasa (BLB) menyebut, total tunggakan UKT mahasiswa ITB semester ganjil saat ini mencapai Rp4,3 miliar. Jelas kan betapa PTNBH ini menyengsarakan mahasiswa,” tandasnya. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat