visitaaponce.com

Jangan Letakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier

Jangan Letakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier
Peserta masuk kuliah jalur mandiri saat mengikuti ujian(MI/Amiruddin Abdullah Reubee)

KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Seperti diberitakan, Tjitjik menyatakan pendidikan tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier merespons tingginya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi.

Menurut Ubaid, meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar.

"Jika PT adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah (yang masuk program Wajib Belajar 12 Tahun) yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai?," terangnya melalui keterangan tertulis, Jumat (17/5).

Baca juga : Pengamat: Biaya Kuliah semakin Mahal Imbas Liberalisasi Pendidikan

Dia menambahkan pembiayaan pendidikan dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, terang Ubaid, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).

"Jika kalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar," imbuh dia.

Faktor utama penyebab ATS, menurut Ubaid adalah masalah ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Ubaid menyebut data Badan Pusat Statistik Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.

Baca juga : Perguruan Tinggi Jangan Hanya Andalkan UKT, Tingkatkan Lagi Kreativitas untuk Cari Dana

Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, tentu karena biaya yang mahal. Apalagi pemerintah menganggap PT ini sebagai kebutuhan tersier.

"Karena itu, JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di PTNBH," paparnya.

Pendidikan yang merupakan public good, sambungnya, bukan kebutuhan tersier. Pendidikan, tegasnya, menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Adapun pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu berdasarkan UUD 1945 alinea 4 adalah negara.

Baca juga : FSGI Soroti Tingginya Kasus Kekerasan di Satuan Pendidikan

"Salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," tuturnya.

"Pemerintah sebagai pengemban amanah ini, harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat soal agenda ini," imbuh Ubaid.

Karena itu, dia mengingatkan peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting. Negara, ujarnya, harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi.

Baca juga : UT Pertahankan Biaya Kuliah Terjangkau Selepas Jadi PTN-BH

JPPI memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan letakkan PT sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945.

Lalu, DPR RI, Kemendikbud Ristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT.

"Karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan. Lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT," paparnya.

Selain itu, Kemendikbud Ristek harus cabut Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT.

"Pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah. Jangan persekusi dan intimidasi mahasiswa yang sedang berpendapat di muka umum," tegasnya.

JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini.

"Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis," tukasnya. (Ind/Z-7)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat