Jangan Letakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier
![Jangan Letakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/05/df156654714d1c4a404c5c7de2b594f4.jpg)
KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Seperti diberitakan, Tjitjik menyatakan pendidikan tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier merespons tingginya uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi.
Menurut Ubaid, meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar.
"Jika PT adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah (yang masuk program Wajib Belajar 12 Tahun) yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai?," terangnya melalui keterangan tertulis, Jumat (17/5).
Baca juga : Pengamat: Biaya Kuliah semakin Mahal Imbas Liberalisasi Pendidikan
Dia menambahkan pembiayaan pendidikan dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, terang Ubaid, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).
"Jika kalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar," imbuh dia.
Faktor utama penyebab ATS, menurut Ubaid adalah masalah ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Ubaid menyebut data Badan Pusat Statistik Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
Baca juga : Perguruan Tinggi Jangan Hanya Andalkan UKT, Tingkatkan Lagi Kreativitas untuk Cari Dana
Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, tentu karena biaya yang mahal. Apalagi pemerintah menganggap PT ini sebagai kebutuhan tersier.
"Karena itu, JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di PTNBH," paparnya.
Pendidikan yang merupakan public good, sambungnya, bukan kebutuhan tersier. Pendidikan, tegasnya, menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Adapun pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu berdasarkan UUD 1945 alinea 4 adalah negara.
Baca juga : FSGI Soroti Tingginya Kasus Kekerasan di Satuan Pendidikan
"Salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," tuturnya.
"Pemerintah sebagai pengemban amanah ini, harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat soal agenda ini," imbuh Ubaid.
Karena itu, dia mengingatkan peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting. Negara, ujarnya, harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi.
Baca juga : UT Pertahankan Biaya Kuliah Terjangkau Selepas Jadi PTN-BH
JPPI memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan letakkan PT sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945.
Lalu, DPR RI, Kemendikbud Ristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT.
"Karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan. Lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT," paparnya.
Selain itu, Kemendikbud Ristek harus cabut Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT.
"Pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah. Jangan persekusi dan intimidasi mahasiswa yang sedang berpendapat di muka umum," tegasnya.
JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini.
"Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis," tukasnya. (Ind/Z-7)
Terkini Lainnya
Hanya Tunda Kenaikan UKT, Nadiem Dinilai Cuci Tangan dan Gagal Paham Akar Masalah
Komersialisasi Jadi Faktor Mahalnya Biaya Pendidikan
Polemik UKT, Pemerintah Cari Upaya Pendanaan untuk Bantuan Operasional PTN
Polemik UKT: Masih Ada Celah Kenaikan untuk Mahasiswa Baru dalam Permendikbud Ristek 2/2024
UGM Nyatakan tidak Naikkan UKT
Komisi X DPR RI akan Awasi SSBOPTN Penentu UKT Sesuai Amanah UU Dikti
Pemerintah tak Merevisi Permendikbud 2/2024, Sebut Perguruan Tinggi Tax Spender
Banyak Anak Indonesia Diterima di Universitas Kelas Dunia, Tanda Kualitas Pendidikan Nasional Terus Membaik
UI Jadi Tuan Rumah Konferensi Internasional The Digital Universitas Asia 2024
Belum Ada Laporan Insiden PDNS Berdampak pada Sistem PPDB Online
Kemendikbud-Ristek Upayakan Pemerataan Akses Pendidikan melalui PPDB
92.888 Guru Lulus Program Pendidikan Guru Penggerak
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap