visitaaponce.com

Penerapan KRIS Jangan Sampai Mengganggu Akses dan Pembiayaan Kesehatan

Penerapan KRIS Jangan Sampai Mengganggu Akses dan Pembiayaan Kesehatan
Warga mengantre di loket BPJS Kesehatan Jakarta Pusat(ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

ANGGOTA Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menjelaskan penetapan Kelas Rawa Inap Standar (KRIS) meminta pemerintah hati-hati dalam menetapkan KRIS. Masyarakat harus dapat memperoleh layanan kesehatan yang manusiawi.

Dalam Perpres Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disebutkan jika rumah sakit swasta paling sedikit menyediakan 40 persen tempat tidurnya untuk KRIS. Sementara RS pemerintah minimal menyediakan 60 persen tempat tidur.

"Saya khawatir ini akan berpotensi menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan. Meski ada kata minimal, bukan berarti rumah sakit akan menyediakan ruang perawatan lebih dari itu. Sebab ini tidak menyalahi aturan. Sementara yang ada sekarang, rumah sakit rata-rata 60 persen tempat tidurnya untuk pasien BPJS Kesehatan," kata Edy dalam keterangannya, Jumat (7/6).

Baca juga :  Komisi IX DPR: Sistem KRIS BPJS Tegakkan Prinsip Keadilan

Selain itu, pemerintah sampai sekarang belum menetapkan iuran. Dalihnya masih melakukan penghitungan aktuaria. Yang beredar di masyarakat, akan ada iuran tunggal. Menurut Edy simpang siur soal iuran ini harus segera dijawab oleh pemerintah. Masyarakat membutuhkan kepastian.

"Kalau iuran betul satu harga maka akan membiaskan prinsip gotong royong di JKN. Ini juga bisa berpotensi menurunkan pendapatan iuran JKN. Kalaupun iuran harus naik, juga harus disosialisasikan kepada masyarakat," ungkapnya.

Ia mengatakan sering mendapatkan laporan dari rumah sakit akan kegelisahan penerapan KRIS. RS swasta milik organisasi keagamaan merasa kesulitan untuk mencari dana guna memperbaiki ruang perawatan yang menyesuaikan syarat KRIS.

Baca juga : Sistem Kelas Dihapus, DPR RI akan Minta Penjelasan BPJS Kesehatan

"Saya khawatir kalau KRIS diterapkan lalu ada RS yang belum memenuhi standar, maka RS tersebut akan diputus kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Yang rugi adalah masyarakat juga," ungkap Edy.

Dia juga menyoroti ketidaksesuaian antara laporan Kemenkes dengan data di lapangan. Kemenkes mengungkapkan sudah banyak rumah sakit yang siap mengganti kelas rawat inapnya menjadi KRIS.

"Banyak direktur rumah sakit mengeluh ke saya atau belu siap. RS pemerintah didukung APBD, RS swasta mungkin ada investasi, tapi RS swasta keagamaan yang membangun dari iuran masyarakat ini bingung mendapatkan uang dari mana," jelasnya.

Perlu ada pelibatan masyarakat dalam penerapan KRIS. Sebab mereka yang akan membayar iuran sekaligus menikmati fasilitasnya. Diharapkan pemerintah bisa memperbaiki desain rawat inap standar yang berimbang antara akses dan pembiayaan. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat