visitaaponce.com

Indonesia Harus Menjadi Contoh Kebebasan Berekspresi di ASEAN

Indonesia Harus Menjadi Contoh Kebebasan Berekspresi di ASEAN
Ilustrasi: Seorang pejalan kaki melintas di depan sebuah baliho bergambar logo ASEAN saat KTT ASEAN tahun lalu(Antara)

Perkembangan teknologi informasi dan semakin riuhnya ruang siber menjadi tantangan bagi Indonesia serta negara ASEAN lainnya dalam menjaga dan menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Kemerdekaan berekspresi merupakan hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota ASEAN, menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)

Dalam sambutannya pada Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (FIRTUAL) dengan tema “ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi”, Rabu (23/3), Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Kemkominfo, Bambang Gunawan menegaskan ASEAN telah mengesahkan Deklarasi HAM pada 18 November 2012, yang pada pasal 23 menjelaskan mengenai hak setiap individu dalam kebebasan berekspresi, berpendapat, hingga mencari, menerima, dan memberikan informasi. “Namun, memang masih ditemukan praktik yang berbeda di negara-negara anggota ASEAN,” ujarnya.

Direktur Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN, dari Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat mengatakan, pengaturan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah sama dari satu negara ke negara lainnya. Hal ini tentu dibatasi oleh UU yang berlaku di negara masing-masing.

“Indonesia berperan aktif dalam memajukan kebebasan berekspresi dan berpendapat di ASEAN, karena Indonesia menempatkan hal ini menjadi satu prioritas dengan membuka forum dialog dengan negara anggota ASEAN lainnya,” tambahnya.

Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Yuyun Wahyuningrum menjelaskan batasan antara ujaran kebencian dengan kebebasan berekspresi. Menurutnya, ujaran kebencian di ASEAN meningkat terutama ketika masa pandemi, salah satunya munculnya asian hates.

“Membedakan ujaran kebencian dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah mudah, dibutuhkan analisis mendalam,” tutur Yuyun. Walaupun sudah diatur di hukum internasional, ujaran kebencian susah didefinisikan secara mudah. “Beberapa negara di ASEAN merespon hal ini dengan memakai UU lama maupun baru, seperti KUHP di Indonesia yang digunakan untuk meredam ujaran kebencian”, tambahnya.

Adapun faktor-faktor yang menghambat kebebasan berekspresi di ASEAN, menurut Akademisi Hubungan Internasional UI, Dwi Ardhanariswari, adalah adanya ASEAN ways dan values yang membatasi negara lain untuk berpendapat atau memberi masukan mengenai kedaulatan negara terutama dalam hal HAM.

Menurutnya, level demokrasi berbeda di tiap negara anggota ASEAN, hal ini juga membuat fasilitas atau hak-hak kebebasan berpendapat di setiap negara berbeda. Masih banyak negara yang membatasi kebebasan berbicara dan hal ini yang menjadi representasi kebijakan negara terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.

“Indonesia harus bisa menjadi contoh dan juga mampu membuka dialog untuk membantu negara-negara lain dalam hal HAM dan kebebasan berekspresi di kawasan negara masing-masing, kita harus secara konstan menyerukan ide-ide yang positif dan appropriate melalui ruang-ruang digital mengenai kebebasan berekspresi dan membawa perubahan”, tutupnya.(RO/M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat