visitaaponce.com

Indonesia Miliki Tugas Penting Sebagai Keketuaan ASEAN 2023

Indonesia Miliki Tugas Penting Sebagai Keketuaan ASEAN 2023
Logo Indonesia ASEAN 2023(AFP )

INDONESIA mengemban tugas berat memimpin sepuluh negara di Asia Tenggara, termasuk Timor-Leste, tidak mudah bagi Indonesia dalam perhelatan keketuaan ASEAN 2023 Indonesia.

Setahun sebelum menahkodai blok ini, Indonesia berhasil melaksanakan konferensi tingkat tinggi (KTT) 20 negara ekonomi terbesar dunia atau G20 yang diadakan di Bali pada 15-16 November lalu itu. 

Gelaran ini menghasilkan deklarasi bersama, yaitu Deklarasi Para Pemimpin G20 di Bali atau G20 Bali Leaders’ Declaration.

"Ini menunjukkan Indonesia, di bawah Presiden Jokowi, telah berupaya menjadi kekuatan pemersatu di tengah ketidakpastian global. Modal itu cukup bagi Indonesia melanjutkan tongkat estafet prestasi di kancah regional Asia Tenggara sepanjang 2023," kata Peneliti Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Muhammad Rifqi Daneswara saat dihubungi di Jakarta, Selasa (15/8). 

Baca juga : Pemprov DKI Jakarta Siapkan Imbauan WFH Selama KTT ASEAN

Menurut dia, keketuaan ASEAN maupun KTT G20 berlangsung di tengah berbagai konflik, pandemi covid-19 dan gejolak geopolitik dunia. Tetapi Indonesia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Baca juga : Tren FDI ke ASEAN Terus Tunjukan Peningkatan

Kepemimpinan Indonesia di ASEAN merupakan kali kelima. Sebelumnya pada 1976, 1996, 2003 dan 2011. Serah terima Keketuaan ASEAN dari Kamboja ke Indonesia dilaksanakan pada KTT ASEAN November tahun lalu.

Rifqi mengatakan setidaknya tiga tantangan besar yang dihadapi Indonesia selama mengetuai forum regional terbesar negara-negara Asia Tenggara itu, termasuk menyatukan negara anggota ASEAN terkait isu-isu global, memperkuat kerja sama regional, dan memperkuat multilateralisme.

"Pertama dalam menjaga persatuan ASEAN dalam merespons isu global. Indonesia sebagai ketua bertanggung jawab untuk memimpin berbagai upaya ASEAN dalam menyelesaikan krisis regional dan global," jelas dia.

Negara-negara ASEAN saat ini terpecah pandangan dalam beberapa isu besar, lanjut Rifqi, seperti soal sengketa Laut Cina Selatan dan konflik di Myanmar. Setiap negara anggota ASEAN memiliki posisi, perspektif, dan kepentingan yang berbeda terhadap masalah tersebut.

Kondisi ini membuat negara-negara anggota ASEAN rentan untuk dipecah belah dan dieksploitasi oleh kekuatan besar. Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) saat ini tengah bersaing untuk menanamkan pengaruh di Asia sebagai bagian dari persaingan global mereka.

Rifqi menambahkan Asia Tenggara berlokasi sangat strategis bagi kekuatan besar berada di tengah-tengah Indo-Pasifik, kawasan yang kini semakin menarik perhatian pembuat kebijakan dan para ahli dari dua negara besar tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

"Indonesia tidak hanya harus mempertimbangkan kepentingan negara-negara anggota ASEAN, tetapi juga perlu menyeimbangkan kepentingan persaingan dari luar kawasan," ungkapnya.

Tugas kedua, kata Rifqi, memperkuat kerja sama regional. Indonesia dikenal sebagai negara terbesar di ASEAN dan telah memperkenalkan berbagai terobosan untuk kepentingan kawasan.

Namun Indonesia tidak mampu mengatasi segala tantangannya sendiri. Perlu dibentuk konsensus bersama antara anggota yang memiliki kepentingan dan tujuan nasional yang berbeda. Oleh karena itu, Indonesia merangkul seluruh anggota ASEAN untuk memperkuat kerja sama regional serta menciptakan lebih sedikit perselisihan dan lebih banyak penyatuan kepentingan.

Isu-isu seperti ketahanan dan keamanan pangan, keamanan maritim dan kejahatan transnasional dapat menjadi subjek untuk mulai melihat pentingnya ASEAN bagi negara-negara anggota. Isu-isu yang menggantung seperti ini cukup banyak, dan Indonesia dapat mempelopori upaya di tingkat regional untuk mendorong kerja sama ASEAN lebih lanjut di bidang tersebut.

Dampak pandemi covid-19 serta konflik Rusia-Ukraina terhadap rantai pasokan pangan dan ekonomi global menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN membutuhkan kerja sama di tingkat regional dan kerangka kerja yang lebih kuat, ketimbang hanya membuat kebijakan secara sepihak.

Salah satu contoh kesuksesan kerja sama regional adalah terkait persiapan menghadapi pandemi, dengan mendirikan Pusat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Penyakit Baru ASEAN (ASEAN Centre for Public Health Emergencies and Emerging Diseases) pada Pertemuan Menteri Kesehatan ASEAN ke-15 di Bali.

"ASEAN berinisiasi mendirikan pusat ini agar para negara anggotanya dapat lebih siap menghadapi pandemi berikutnya," jelasnya.

Tugas terakhir, kata Rifqi, mendorong kembalinya multilateralisme. Indonesia perlu mendorong penguatan multilateralisme yang saat ini terancam oleh makin kencangnya minilateralisme.

Jika gagal, lanjut dia, ASEAN justru bisa terpinggirkan dan makin bergantung pada kekuatan besar. Multilateralisme dapat diartikan sebagai kerja sama internasional antara tiga negara atau lebih.

Minilateralisme tidak memiliki definisi khusus, tetapi untuk artikel ini, saya menggunakan definisi sekecil mungkin jumlah negara yang bekerja sama untuk memiliki dampak sebesar mungkin dalam memecahkan masalah tertentu. Jumlah negaranya bervariasi tergantung pada masalahnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, minilateralisme telah berdampak pada munculnya kelompok-kelompok kecil, seperti AUKUS (pakta keamanan trilateral antara Australia, Inggris dan AS untuk kawasan Indo-Pasifik) dan QUAD (Dialog Keamanan Indo-Pasifik antara Australia, India, Jepang, dan AS).

Lembaga-lembaga tersebut bisa mengancam peran ASEAN di kawasan, karena mereka cenderung mendiskusikan dan menyusun kebijakan eksklusif tanpa terlalu melibatkan ASEAN. Negara-negara Barat semakin berusaha melawan kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik menggunakan QUAD dan AUKUS ini, alih-alih bekerja sama dengan ASEAN.

Pada November 2022, kata Rifqi, Jepang menjadi tuan rumah Latihan Angkatan Laut Malabar bagi negara anggota QUAD di Laut Filipina, lepas pantai Jepang, dengan melibatkan kapal angkatan laut, pesawat terbang dan personel militer dari Australia, India, Jepang, dan AS.

Tiongkok mengkritik latihan militer tersebut, menyebutnya sebagai upaya untuk membatasi dan menahan pengaruhnya yang tumbuh di kawasan itu. Guna melawan minilateralisme dan memperkuat multilateralisme, Indonesia perlu mendorong peran forum-forum yang dipimpin oleh ASEAN, seperti Forum Regional ASEAN, yang melibatkan tidak hanya kekuatan besar tetapi juga kekuatan regional dan menengah seperti Jepang dan Korea Selatan.

Setiap dialog dengan kekuatan besar pun seharusnya tidak boleh terfokus pada isu-isu kontroversial dan sensitif, seperti sengketa Laut Cina Selatan. Fokus Indonesia sebaiknya hanya pada isu-isu yang memiliki kepentingan bersama, seperti konektivitas, perubahan iklim, dan keamanan maritim.

Melibatkan kekuatan menengah, seperti Jepang dan Korea Selatan, akan menegaskan sentralitas ASEAN dan, jika berhasil, juga dapat menunjukkan bahwa multilateralisme khususnya proses yang didukung ASEAN masih aktif dan relevan. (The Conversation/Z-8)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat