visitaaponce.com

ASEAN Butuh Duit Rp56.729 Triliun untuk Beralih ke Energi Terbarukan di 2050

ASEAN Butuh Duit Rp56.729 Triliun untuk Beralih ke Energi Terbarukan di 2050
Ilustrasi(123RF)

ASEAN membutuhkan biaya hingga US$3,7 triliun atau sekitar Rp56.729 triliun untuk mencapai angka penetrasi energi terbarukan di sektor kelistrikan sebesar 90% pada 2050.

Angka tersebut berdasarkan studi ASEAN Centre for Energy (ACE) bersama International Renewable Agency (IRENA), kata Direktur Eksekutif ASEAN Centre for Energy Dr Nuki Agya Utama di sela-sela Forum Energi Berkelanjutan dan Terbarukan 3.0 (SAREF 3.0) di Kuching, Sarawak, Malaysia, Kamis (7/9).

Sedangkan untuk membangun interkoneksi jaringan energi listrik terbarukan di regional Asia Tenggara maka ASEAN membutuhkan dana Rp3.000 triliun lebih (dengan nilai tukar 1 dolar AS setara Rp15.332) sampai dengan 2050.

Baca juga : ASEAN dalam Fase Kritis Transisi Energi

“Biaya untuk APG (ASEAN Power Grid) dan transmisi saja kita butuh US$200 miliar (sekitar Rp3.066,46 triliun). Untuk transmisinya saja ya,” katanya.

Namun jika penetrasi energi terbarukan menjadi 50%-65% maka, berdasarkan studi ASEAN Energy Outlook 7, kebutuhan biayanya mencapai sekitar US$730 juta (sekitar Rp11,19 triliun) hingga US$850 juta (sekitar Rp13,5 triliun) hingga 2050.

Baca juga : PDB ASEAN Bisa Melesat ke Angka US$1 Triliun di 2030, Jika Transisi Energi Berhasil

Kemungkinan sumber pembiayaannya, menurut Nuki, bisa dari “blended finance” hingga “public private partnership”.

“Tapi yang paling penting adalah kita harus sadar 80 persen investasi di sektor energi itu dari private (sektor swasta),” ujar dia.

Ia mengatakan negara tidak memiliki kapasitas untuk membiayai itu semua, sehingga pihak swasta secara global yang harus melakukannya. Termasuk sektor perbankan yang mau berinvestasi.

“Perbankan perlu sadar ini ada potensi besar, mereka harus datang memberikan tawaran dengan mekanisme-mekanisme yang atraktif,” kata Nuki.

Secara alami, menurut dia, perbankan selalu melihat sisi mekanisme risiko sehingga tidak akan menganggap potensi ini dapat diandalkan ketika risikonya terlalu besar.

“Jika melihatnya dengan cara seperti itu sulit berkembang dengan kebutuhan US$3,7 triliun untuk 90% pembangkit energi terbarukan, 50%-65% saja kita butuh US$700-US$850 juta. Banyak sekali uang yang harus diinvestasikan,” ujar Nuki.

Dalam sesi diskusi panel di Sustainability and Renewable Energy Forum 3.0 itu, Pejabat Tertinggi Eksekutif Grup Petronas Tengku Muhammad Taufik juga membahas kurangnya literasi dan pemahaman perbankan soal risiko sektor energi terbarukan, sehingga yang terpikirkan oleh mereka selalu soal ketidakmampuan.

Dari sisi perusahaan yang akan beralih ke sektor energi terbarukan, ia mengatakan tentu juga ingin melihat ada akses perbankan, serta kebijakan dari pemerintah yang membuat proyek transisi energi tersebut menjadi dapat dibiayai oleh perbankan (bankable).

Pandangan tersebut juga diamini oleh mantan Sekretaris Eksekutif dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres yang mengatakan cukup tragis bahwa sektor finansial ada di sana, membuat komitmen, tetapi sebenarnya tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Sektor perbankan disebutnya harus sadar bahwa ada grup energi terbarukan yang dapat berfungsi baik. “Jadi singkirkan pertanyaan,’apakah pembangkit listrik tenaga air reliable?' (Jawabannya) Iya!” ujar Christina.

Menurut dia, energi yang berasal dari air, geotermal dan hidrogen membutuhkan struktur pembiayaan yang berbeda. Perbankan masih kurang mengeksplorasi apa yang mereka bisa dukung dan hanya terbiasa dengan “one stop shopping” yang seharusnya tidak dapat dilakukan lagi.

 

Green Climate Fund

ACE, menurut Nuki, sedang mengajak semua pemangku kepentingan mulai dari sektor industri, pemerintahan dan perbankan untuk mendiskusikan mekanisme risiko. Misalnya, memberikan pelatihan kepada industri bagaimana mereka mengajukan proposal untuk proyek energi terbarukan maupun energi efisiensi yang bankable.

Green Climate Fund (GCF), ia mengatakan telah memberikan US$100 juta atau sekitar Rp1,53 triliun sebagai jaminan untuk perbankan mau memberikan pinjaman lunak kepada industri.

“Itu cukup efektif. Bank tertarik dan sepakat untuk berkolaborasi,” kata Nuki.

Saat ini, GCF telah mencapai kesepakatan dengan Korean Development Bank (KDB), dan lebih lanjut membahas itu dengan bank lokal di Indonesia untuk mencari industri-industri yang tertarik melakukan efisiensi energi.

“Itu saja ‘benefit’ (keuntungan), paling ‘challenging’ (menantang). Padahal efisiensi energi itu ‘less risk’ (lebih sedikit berisiko). Belum lagi energi terbarukan yang lebih tinggi risikonya,” ujar dia.

Dana “jaminan” dari GCF tersebut, menurut Nuki, dapat menjadi “booster” yang cukup signifikan mengajak industri dan perbankan untuk duduk di satu meja untuk kemungkinan mereduksi emisi dan melakukan efisiensi. (Ant/Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat