visitaaponce.com

Peraih Nobel Perdamaian Asal Filipina Bebas dari Jeratan Hukum

Peraih Nobel Perdamaian Asal Filipina Bebas dari Jeratan Hukum
Wartawan peraih Hadiah Nobel Perdamaian asal Filipina Maria Ressa(AFP/JAM STA ROSA)

PERAIH Nobel Perdamaian asal Filipina Maria Ressa dibebaskan dari dakwaan penggelapan pajak, Selasa (12/9). Putusan itu menjadi sebuah kemenangan hukum terbaru bagi jurnalis veteran tersebut dari jeratan pemenjaraan.

Ressa tersenyum saat hakim membacakan putusan yang sudah berlarut-larut hampir lima tahun ini. Perempuan berusia 59 tahun ini memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 2021.

Dia telah melawan berbagai tuduhan yang diajukan pada masa pemerintahan mantan Presiden Rodrigo Duterte dan masih menghadapi dua kasus. 

Baca juga: Filipina Izinkan Ressa Terima Nobel Perdamaian

Kritikus vokal terhadap Duterte dan perang narkoba yang mematikan, Ressa telah lama menyatakan tuduhan terhadap dirinya dan Rappler, situs berita yang ia dirikan pada 2012, bermotif politik.

“Anda harus mempunyai keyakinan,” kata Ressa setelah mendengar putusan tersebut, di luar pengadilan,

Ressa dan Rappler telah menghadapi lima dakwaan pemerintah atas penghindaran pajak yang berasal dari penerbitan kuitansi penyimpanan Filipina pada 2015, yang merupakan cara bagi perusahaan untuk mengumpulkan uang dari investor asing.

Baca juga: Pemerintah Filipina Larang Ressa ke Oslo untuk Terima Nobel Perdamaian

Pengadilan membebaskan mereka dari empat dakwaan pada Januari. Gugatan kelima disidangkan oleh pengadilan berbeda, yang membebaskan dia dan Rappler dari kesalahan pada Selasa (12/9).

“Hari ini, kita merayakan kemenangan fakta atas politik. Kami berterima kasih kepada pengadilan atas keputusan yang adil ini dan mengakui bahwa tuduhan penipuan, palsu, dan lemah yang dibuat oleh Biro Pendapatan Dalam Negeri tidak memiliki dasar apa pun,” ungkap pernyataannya Rappler.

Meski sudah dibebaskan, Ressa dan Rappler menghadapi masa depan yang tidak pasti. Pasalnya masih terdapat masing-masing satu kasus lain yang mendera Ressa dan Rappler yang sedang berjalan di pengadilan.

Ressa dan mantan rekannya, Rey Santos Jr, mengajukan banding atas tuduhan pencemaran nama baik dunia maya yang memiliki hukuman penjara tujuh tahun.

Sementara kasus yang menimpa Rappler yakni soal putusan penutupan kantor berita itu oleh Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina karena diduga melanggar larangan kepemilikan asing di media. Berdasarkan konstitusi, hanya warga negara Filipina atau entitas yang dikendalikan oleh warga negara yang dapat berinvestasi di media.

Kasus ini muncul dari investasi pada 2015 oleh Omidyar Network yang berbasis di Amerika Serikat, yang didirikan oleh pendiri eBay, Pierre Omidyar. Jaringan Omidyar kemudian mengalihkan investasi di Rappler kepada pengelola lokal situs tersebut untuk mencegah upaya Duterte menutupnya.

Meskipun masih ada rintangan yang dihadapi, Ressa tetap bersikap menantang dan optimistis dengan mengatakan pembebasan terbaru tersebut memperkuat tekadnya untuk melanjutkan sistem peradilan.

“Ini menunjukkan bahwa sistem pengadilan berfungsi dan kami berharap dakwaan lainnya dibatalkan,” katanya.

Masalah hukum Ressa dan Rappler dimulai pada 2016 dengan terpilihnya Duterte, yang sering melancarkan serangan kotor terhadap para pengkritiknya. Keduanya menghadapi sebagai serangkaian tuntutan pidana, penangkapan, dan pelecehan daring.

Pemerintahan Duterte mengklaim tidak ada hubungannya dengan kasus apa pun yang menimpa Ressa. Kritikus terkenal Duterte lainnya, aktivis hak asasi manusia Leila de Lima, telah menghabiskan lebih dari enam tahun penjara atas tuduhan penyelundupan narkoba yang menurutnya dibuat untuk membungkamnya.

Sepanjang kampanye melawannya, Ressa, yang juga warga negara AS tetap tinggal di Filipina. Ressa mendapat jaminan sambil menunggu banding atas tuduhan pencemaran nama baik dunia maya dan harus mengajukan permohonan persetujuan pengadilan jika bepergian ke luar negeri.

Itu termasuk perjalanannya ke Norwegia pada Desember 2021 untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Ressa dan jurnalis Rusia Dmitry Muratov bersama-sama dianugerahi Nobel atas upaya mereka untuk menjaga kebebasan berekspresi.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos, yang menggantikan Duterte pada Juni 2022, sebelumnya mengatakan dia tidak akan ikut campur dalam kasus Ressa, dengan alasan pemisahan kekuasaan antara cabang pemerintahan eksekutif dan yudikatif. (AFP/Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat