visitaaponce.com

Serangan dan Blokade Israel Bikin Warga Gaza Lebih Takut Hidup

Serangan dan Blokade Israel Bikin Warga Gaza Lebih Takut Hidup
Masyarakat berduka atas kematian kerabat mereka dalam pengeboman Israel di Rafah di Jalur Gaza selatan, pada 25 Oktober 2023.(AFP/Said Khatib.)

GAZA, Palestina, menjadi tempat pembuangan akhir mesiu militer Israel sejak 75 tahun lalu. Separuh dari 2,2 juta penduduknya hidup dalam potensi kematian massal oleh bom atau peluru Israel juga penyakit menular.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bencana kesehatan masyarakat yang akan segera terjadi di Jalur Gaza. Sebanyak satu juta pengungsi berada di tempat yang sempit, kurangnya bahan bakar, peningkatan limbah bom Israel, dan desalinasi air mendukung penyebaran penyakit.

Dengan demikian, kata organisasi bentukan PBB itu, sekalipun Israel berhenti menghujani Gaza dengan rudal dan peluru, warga Gaza bisa mati massal. "Hai teman-teman, saya masih hidup. Ketakutan terbesar saya ialah tidak mati. Ketakutan terbesar saya ialah hidup," kata salah satu penduduk Gaza yang masih hidup usai dibombardir Israel sejak 7 Oktober, Bisan Owda, 25, di akun Instagram-nya.

Baca juga: Indonesia Desak Dewan Keamanan PBB Hentikan Serangan Israel ke Palestina

Namun setelah 16 hari pengeboman Israel, pembuat film tersebut mengatakan kepada 665 ribu pengikutnya bahwa dirinya dan orangtuanya tidur bersama sekitar 50 ribu pengungsi lain di dan sekitar Rumah Sakit Shifa, rumah sakit terbesar di Jalur Gaza. Mereka termasuk di antara lebih dari satu juta warga Gaza yang mengungsi sejak militan Islam Hamas melakukan serangan di Israel selatan yang menewaskan sedikitnya 1.400 warga Israel. Serangan tersebut dijadikan dalih Israel untuk menghukum secara kolektif warga Gaza.

Menurut kementerian kesehatan di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas, setidaknya 5.790 warga Gaza sejauh ini tewas dalam serangan udara Israel. Rumah keluarga Owda di desa Beit Hanoun di utara, dibom. Begitu pula kantor Owda di lingkungan Rimal di Kota Gaza. Dia kehilangan harta benda dan semua peralatan syutingnya.

Baca juga: Hamas Sebut Pemadaman Listrik di RS Indonesia Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Kondisi di kamp tersebut sangat sulit, kata Owda. Di sekitar Rumah Sakit Shifa, keluarga-keluarga berkemah di jalanan, tempat parkir, dan dalam koridor gedung. "Musim dingin akan tiba. Cuaca semakin dingin. Kami tidak memiliki tempat tidur yang layak. Kami tidak memiliki selimut. Hujan turun saat saya sedang tidur dan membuat ibu saya mulai menangis. Bagi sebagian orang, musim dingin mengingatkan mereka pada cokelat panas, tetapi musim dingin di Gaza ialah bencana. Apakah kita seberuntung itu masih hidup?" kata Owda.

Tinggal dalam jarak yang berdekatan tanpa akses terhadap fasilitas sanitasi dan air bersih yang cukup berarti masyarakat mulai terserang penyakit. "Orang-orang mengalami demam, batuk, anak-anak dalam bahaya, kita bisa tertular covid-19," katanya.

Petugas Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) Adnan Abu-Hasna mulai menyadari bahwa beberapa penyakit sedang menyebar di kamp pengungsian, termasuk cacar. Dalam laporan situasi yang dirilis pada 21 Oktober, WHO memperingatkan akan ada bencana kesehatan masyarakat yang segera terjadi dipicu pengungsian massal, kepadatan tempat penampungan yang berlebihan, dan kerusakan jaringan air dan sanitasi.

Persediaan air minum terbatas

Setelah Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza, memutus pasokan air bersih, listrik, dan bahan bakar, kondisi Gaza kian mengenaskan. Menyusul kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ke Israel, empat konvoi bantuan kemanusiaan menyeberang ke Gaza melalui perbatasan Rafah dengan Mesir sejak 21 Oktober.

Israel sejauh ini menolak mengizinkan bahan bakar masuk ke truk bantuan dengan alasan bahwa Hamas dapat mencurinya dari fasilitas PBB dan menggunakannya untuk melancarkan serangan. Namun bahan bakar sangat dibutuhkan agar pabrik pemurnian air dan desalinasi dapat beroperasi. Bagi sebagian besar orang, air minum kemasan sangatlah langka dan tidak terjangkau.

UNRWA menyediakan bahan bakar tetapi memperingatkan bahwa bahan bakar tersebut akan habis pada Rabu (25/10) malam. "Kita sedang menuju bencana nyata karena tidak ada air minum di Jalur Gaza," kata Abu-Hasna.

Di kamp di Rumah Sakit Shifa, Owda mengatakan para pengungsi mendapatkan air dari sumur terdekat yang mungkin terkontaminasi dengan limbah dan air asin. "Ini tidak untuk diminum, perlu dibersihkan. Kami tidak benar-benar tahu apakah ini aman tetapi kami meminumnya karena tidak ada pilihan lain," paparnya.

Bahan bakar juga diperlukan untuk mengoperasikan sistem pembuangan limbah dan pengelolaan limbah. "Anda bisa mencium bau limbah di jalanan dan baunya sangat menyengat," kata Abu-Hasna yang juga merupakan salah satu dari satu juta pengungsi Gaza.

Rumahnya di utara daerah kantong itu sebagian hancur akibat serangan udara Israel sehingga dia tinggal bersama keluarganya di selatan. Perpindahan massal memberikan tekanan ekstra pada sistem pembuangan limbah. "Anda mungkin memiliki lima ribu orang dan hanya empat toilet," di tempat penampungan, kata Abu-Hasna. 

Di bagian utara Gaza, infrastruktur pengelolaan sampah tidak berfungsi, katanya. "Di wilayah selatan, pusat pengumpulan dan pengolahan sampah sudah beroperasi sebagian. Namun di mana pun Anda melihat tumpukan sampah di jalanan," ungkapnya.

Bahkan di wilayah selatan, Abu-Hasna mengatakan serangan udara Israel membuat sangat berbahaya bagi pengemudi truk sampah untuk bergerak karena mereka sangat rentan saat bepergian ke jalanan. Serangan udara Israel telah menghancurkan seluruh lingkungan, meratakan rumah, sekolah, dan tempat ibadah di Gaza. "Mengapa saya takut untuk hidup? Karena saya tidak yakin apakah kita beruntung bisa bertahan hidup. Kami lapar, kami haus, kami kedinginan, kami tidak punya rumah, kami punya sanak saudara yang dibunuh. Karena kami selamat berarti kami harus menghadapi semua sendirian," pungkasnya. (AFP/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat