visitaaponce.com

53 Ribu Warga Haiti Tinggalkan Ibu Kota

53 Ribu Warga Haiti Tinggalkan Ibu Kota
Dalam periode 8 Maret dan 27 Maret, sebanyak 53.125 orang telah meninggalkan Port-au-Prince, ibu kota Haiti.(AFP)

LEBIH dari 50 ribu orang mengungsi dari ibu kota Haiti, Port-au-Prince dalam waktu tiga minggu pada bulan lalu. Mereka menghindari menjadi korban kekerasan geng bersenjata yang telah membunuh 1.554 orang dan melukai 826 lainnya.

"Antara 8 Maret dan 27 Maret, 53.125 orang meninggalkan kota tersebut," ungkap laporan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) PBB.

IOM mencatat mereka bergabung dengan 116 orang di negara Karibia itu yang telah mengungsi dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar dari mereka yang melarikan diri dari Port-au-Prince pada Maret menuju ke wilayah selatan.

Baca juga : Tak Mau Dievakuasi, Pemerintah Terus Pantau Kondisi Tujuh WNI di Haiti

Sebagian besar dari mereka meninggalkan Port-au-Prince karena ancaman kekerasan dan ketidakamanan. 

“Perlu ditekankan bahwa provinsi-provinsi (lainnya) tidak memiliki infrastruktur yang memadai. Masyarakat yang menampung mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi arus pengungsian besar-besaran yang datang,” kata laporan IOM.

Pengungsian ini terjadi ketika Haiti diguncang peningkatan kekerasan sejak Februari, ketika geng-geng kriminal yang kuat bekerja sama untuk menyerang kantor polisi, penjara, bandara dan pelabuhan.

Baca juga : AS Evakuasi Diplomatnya di Haiti

Mereka berupaya menggulingkan Perdana Menteri Ariel Henry, yang berkuasa sejak pembunuhan presiden Jovenel Moise pada 2021. Haiti tidak memiliki presiden sejak saat itu.

Negara ini juga tidak mempunyai parlemen, dan pemilu terakhirnya diadakan pada 2016. Haiti telah dilanda kemiskinan, bencana alam, ketidakstabilan politik dan kekerasan geng selama beberapa dekade.

Pembunuhan Moise memicu ketidakamanan yang meningkat selama berbulan-bulan bahkan sebelum bentrokan pada Februari. Pertempuran tersebut telah memicu krisis kemanusiaan yang parah, dengan kekurangan pangan dan hampir runtuhnya infrastruktur layanan kesehatan di negara termiskin di belahan barat tersebut.

Baca juga : Kekacauan Melanda Haiti Pascaserangan Bandara dan Kekerasan Mematikan

Dalam tiga bulan pertama 2024 atau hingga 22 Maret sebanyak 1.554 orang tewas dan 826 luka-luka. PBB menilai temuannya ini sebagai bencana kemanusiaan.

Laporan tersebut menggambarkan kekerasan seksual yang merajalela, termasuk perempuan yang dipaksa melakukan hubungan seksual eksploitatif. Para anggota geng bersenjata melakukan pemerkosaan terhadap sandera perempuan.

Setidaknya 528 kasus hukuman mati tanpa pengadilan dilaporkan tahun lalu, termasuk 18 perempuan. Sementara 59 kasus lainnya telah dilaporkan sepanjang tahun ini.

Baca juga : PBB Setujui Misi Kenya untuk Membantu Stabilitas di Haiti

PBB juga menyoroti perekrutan dan pelecehan terhadap anak-anak yang tidak dapat meninggalkan kelompok geng bersenjata karena takut akan pembalasan.

Embargo senjata internasional yang diberlakukan gagal membendung kekerasan di Haiti. Tidak terpilih dan tidak populer, Henry mengumumkan pada 11 Maret akan mundur untuk pembentukan dewan transisi.

Namun berminggu-minggu kemudian dewan tersebut belum dibentuk dan dilantik. Pasalnya terdapat ketidaksepakatan di antara partai-partai politik dan pemangku kepentingan lainnya.

Khususnya mengenai kewenangan dewan itu atas penunjukan perdana menteri berikutnya. Kenya, yang setuju untuk memimpin misi keamanan yang telah lama ditunggu-tunggu dan disetujui PBB ke Haiti, telah menunda rencananya sampai dewan transisi terbentuk. (AFP/Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat