visitaaponce.com

Mereka yang Bertaruh Nyawa untuk Korban Genosida

Mereka yang Bertaruh Nyawa untuk Korban Genosida
Petugas medis membawa jenazah orang-orang yang ditemukan di sekitar Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza pada 17 April 2024(dok:AFP)

Izedine Lulu dikepung di Rumah Sakit (RS) Al Shifa di Gaza ketika dia mendengar Israel telah mengebom rumahnya, pada November tahun lalu. Saudara laki-laki dan perempuan, juga ayahnya dibunuh serdadu Israel.

Petugas medis berusia 21 tahun itu tidak dapat menemukan jenazah mereka karena RS itu dikepung oleh tank dan penembak jitu Israel. Dia hanya bisa meneruskan tugasnya, merawat pasiennya.

“Delapan pasien di (unit perawatan intensif) meninggal di depan mata saya. Itu adalah pertama kalinya saya menguburkan orang di (tempat) RS,” kata dia, dilansir dari Al Jazeera, Jumat (24/5).

Baca juga : ICJ Putus Permintaan Afsel terkait Operasi Militer Israel di Rafah

Lulu adalah satu dari ratusan petugas medis Palestina dan asing yang terjebak di zona perang setelah Israel mengambil kendali atas penyeberangan Rafah antara Gaza dan Mesir awal bulan ini, satu-satunya jalan keluar dari wilayah kantong yang terkepung tersebut.

“Tidak ada bantuan untuk petugas medis di Gaza, tapi saya pikir sudah menjadi tugas kami untuk terus bekerja. Kami harus tetap berada di RS,” kata Lulu, yang kini bekerja di RS Al Ahli.

Para sukarelawan asing datang ke Gaza untuk membantu warga sipil selama konflik yang digambarkan para ahli PBB sebagai genosida. Banyak dari mereka yang berkewarganegaraan asing dievakuasi oleh kedutaan mereka setelah misi berakhir. Namun sukarelawan baru tidak dapat memasuki Gaza.

Baca juga : Afrika Selatan Desak ICJ Hentikan Serangan Israel di Rafah

Hilangnya tenaga medis asing semakin menghancurkan beberapa RS yang masih berdiri di Gaza, yang kini kekurangan obat-obatan dan pasokan medis yang diperlukan untuk merawat korban yang semakin banyak.

Israel telah membunuh atau melukai 100 ribu orang termasuk pria, wanita dan anak-anak, menyusul serangan pimpinan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober, yang menewaskan 1.139 orang dan 250 lainnya ditawan.

Sejak itu, Israel telah menghancurkan 23 dari 36 RS dan membunuh 493 petugas kesehatan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Gaza. WHO mengatakan ada penghancuran layanan kesehatan secara sistematis di Gaza oleh Israel.

Baca juga : Benjamin Netanyahu Dongkol Diprotes Mahasiswa AS terkait Palestina

Bahaya akut ini telah mendorong para profesional kesehatan yang memenuhi syarat untuk meninggalkan Gaza, sehingga memaksa para dokter untuk datang dari luar negeri untuk membantu para petugas medis yang tinggal di sana.

Mosab Nasser, yang meninggalkan Gaza hampir 30 tahun lalu untuk belajar kedokteran, adalah salah satu dari mereka yang kembali. Dia kembali pada April lalu sebagai CEO Fajr Scientific, sebuah organisasi nirlaba yang mengirimkan sukarelawan ahli bedah ke zona konflik.

Nasser dan timnya yang terdiri dari 17 ahli bedah bekerja di RS Gaza Eropa di Khan Younis, tempat mereka menyaksikan beberapa korban invasi Israel yang paling mengerikan.

Baca juga : AS Ingin Gencatan Senjata Sementara di Gaza, Hamas Ogah

“Kami telah melihat ibu, ayah, dan anak-anak mengalami patah tulang dan tengkorak retak . Dalam beberapa kasus, kami tidak dapat menentukan apakah korbannya laki-laki atau perempuan setelah mereka ditindih atau dipukul,” jelasnya.

Kekurangan Ahli bedah

Setelah Israel merebut dan menutup penyeberangan antara Gaza dan Mesir, Nasser dan timnya terjebak selama beberapa hari. Sebagian besar timnya , warga negara Amerika Serikat (AS) dan Inggris, akhirnya berhasil keluar melalui penyeberangan Karem Abu Salam di Gaza setelah berkoordinasi dengan kedutaan mereka.

Sebagai warga negara AS, Nasser pun hengkang. Namun, timnya terpaksa meninggalkan dua anggotanya, satu dokter asal Mesir dan satu dokter Oman yang masih berada di Gaza. karena negara mereka tidak mampu melakukan evakuasi.

Mereka kini menunggu WHO untuk mengatur keberangkatan mereka. Dengan kepergian sebagian besar tim,  RS Eropa di Khan Younis kini hampir tidak memiliki ahli bedah lagi. Nasser mengatakan sebagian besar petugas kesehatan Palestina yang memenuhi syarat telah melarikan diri ke daerah pesisir al-Mawasi setelah Israel memulai operasi militernya di Rafah.

Nasser memperkirakan RS tersebut akan kewalahan menangani korban jiwa jika Israel memperluas operasinya. Satu-satunya RS besar lainnya di Khan Younis adalah RS Nasser, yang tidak berfungsi sejak Israel menyerangnya pada Februari.

Pada April, kuburan massal yang berisi lebih dari 300 mayat ditemukan di sana. Laki-laki, perempuan, anak-anak dan petugas medis termasuk di antara korban – beberapa ditemukan telanjang dengan tangan terikat.

“Kami tahu akan sulit membiarkan warga Gaza dan staf RS Palestina menghadapi krisis ini sendirian,” kata Nasser, beberapa hari sebelum ia dievakuasi. (M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat