Mereka yang Bertaruh Nyawa untuk Korban Genosida
Izedine Lulu dikepung di Rumah Sakit (RS) Al Shifa di Gaza ketika dia mendengar Israel telah mengebom rumahnya, pada November tahun lalu. Saudara laki-laki dan perempuan, juga ayahnya dibunuh serdadu Israel.
Petugas medis berusia 21 tahun itu tidak dapat menemukan jenazah mereka karena RS itu dikepung oleh tank dan penembak jitu Israel. Dia hanya bisa meneruskan tugasnya, merawat pasiennya.
“Delapan pasien di (unit perawatan intensif) meninggal di depan mata saya. Itu adalah pertama kalinya saya menguburkan orang di (tempat) RS,” kata dia, dilansir dari Al Jazeera, Jumat (24/5).
Baca juga : ICJ Putus Permintaan Afsel terkait Operasi Militer Israel di Rafah
Lulu adalah satu dari ratusan petugas medis Palestina dan asing yang terjebak di zona perang setelah Israel mengambil kendali atas penyeberangan Rafah antara Gaza dan Mesir awal bulan ini, satu-satunya jalan keluar dari wilayah kantong yang terkepung tersebut.
“Tidak ada bantuan untuk petugas medis di Gaza, tapi saya pikir sudah menjadi tugas kami untuk terus bekerja. Kami harus tetap berada di RS,” kata Lulu, yang kini bekerja di RS Al Ahli.
Para sukarelawan asing datang ke Gaza untuk membantu warga sipil selama konflik yang digambarkan para ahli PBB sebagai genosida. Banyak dari mereka yang berkewarganegaraan asing dievakuasi oleh kedutaan mereka setelah misi berakhir. Namun sukarelawan baru tidak dapat memasuki Gaza.
Baca juga : Afrika Selatan Desak ICJ Hentikan Serangan Israel di Rafah
Hilangnya tenaga medis asing semakin menghancurkan beberapa RS yang masih berdiri di Gaza, yang kini kekurangan obat-obatan dan pasokan medis yang diperlukan untuk merawat korban yang semakin banyak.
Israel telah membunuh atau melukai 100 ribu orang termasuk pria, wanita dan anak-anak, menyusul serangan pimpinan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober, yang menewaskan 1.139 orang dan 250 lainnya ditawan.
Sejak itu, Israel telah menghancurkan 23 dari 36 RS dan membunuh 493 petugas kesehatan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Gaza. WHO mengatakan ada penghancuran layanan kesehatan secara sistematis di Gaza oleh Israel.
Baca juga : Benjamin Netanyahu Dongkol Diprotes Mahasiswa AS terkait Palestina
Bahaya akut ini telah mendorong para profesional kesehatan yang memenuhi syarat untuk meninggalkan Gaza, sehingga memaksa para dokter untuk datang dari luar negeri untuk membantu para petugas medis yang tinggal di sana.
Mosab Nasser, yang meninggalkan Gaza hampir 30 tahun lalu untuk belajar kedokteran, adalah salah satu dari mereka yang kembali. Dia kembali pada April lalu sebagai CEO Fajr Scientific, sebuah organisasi nirlaba yang mengirimkan sukarelawan ahli bedah ke zona konflik.
Nasser dan timnya yang terdiri dari 17 ahli bedah bekerja di RS Gaza Eropa di Khan Younis, tempat mereka menyaksikan beberapa korban invasi Israel yang paling mengerikan.
Baca juga : AS Ingin Gencatan Senjata Sementara di Gaza, Hamas Ogah
“Kami telah melihat ibu, ayah, dan anak-anak mengalami patah tulang dan tengkorak retak . Dalam beberapa kasus, kami tidak dapat menentukan apakah korbannya laki-laki atau perempuan setelah mereka ditindih atau dipukul,” jelasnya.
Kekurangan Ahli bedah
Setelah Israel merebut dan menutup penyeberangan antara Gaza dan Mesir, Nasser dan timnya terjebak selama beberapa hari. Sebagian besar timnya , warga negara Amerika Serikat (AS) dan Inggris, akhirnya berhasil keluar melalui penyeberangan Karem Abu Salam di Gaza setelah berkoordinasi dengan kedutaan mereka.
Sebagai warga negara AS, Nasser pun hengkang. Namun, timnya terpaksa meninggalkan dua anggotanya, satu dokter asal Mesir dan satu dokter Oman yang masih berada di Gaza. karena negara mereka tidak mampu melakukan evakuasi.
Mereka kini menunggu WHO untuk mengatur keberangkatan mereka. Dengan kepergian sebagian besar tim, RS Eropa di Khan Younis kini hampir tidak memiliki ahli bedah lagi. Nasser mengatakan sebagian besar petugas kesehatan Palestina yang memenuhi syarat telah melarikan diri ke daerah pesisir al-Mawasi setelah Israel memulai operasi militernya di Rafah.
Nasser memperkirakan RS tersebut akan kewalahan menangani korban jiwa jika Israel memperluas operasinya. Satu-satunya RS besar lainnya di Khan Younis adalah RS Nasser, yang tidak berfungsi sejak Israel menyerangnya pada Februari.
Pada April, kuburan massal yang berisi lebih dari 300 mayat ditemukan di sana. Laki-laki, perempuan, anak-anak dan petugas medis termasuk di antara korban – beberapa ditemukan telanjang dengan tangan terikat.
“Kami tahu akan sulit membiarkan warga Gaza dan staf RS Palestina menghadapi krisis ini sendirian,” kata Nasser, beberapa hari sebelum ia dievakuasi. (M-3)
Terkini Lainnya
Israel Kepung dan Perintahkan Pengosongan Dua RS di Gaza
Israel Curi Bagian Organ Tubuh Ini dari Jenazah di Gaza
Israel Bohong, Sebut Pengosongan RS Al-Shifa Gaza karena Permintaan Dokter
Kehabisan Tenaga, Dokter Bedah di Gaza Terpaksa Tinggalkan RS
Breaking News! Israel Kepung RS Al Ahli Baptist di Gaza dengan Tank Militer
6 Warga Palestina Tewas dalam Serangan di Rafah dan Shujayea
Israel Diminta Hormati Resolusi Soal Libanon
Hamas Sebut Perundingan Gencatan Senjata dengan Israel Buntu di Tengah Aksi Unjuk Rasa di Tel Aviv
Rugi Akibat Boikot, MAP Group tidak Gegabah Tutup Gerai Starbucks
Puluhan Pasien Tinggalkan Gaza untuk Mendapat Perawatan Medis
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Ngariksa Peradaban Nusantara di Era Digital
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap