visitaaponce.com

Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta Harus Dibenahi

Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta Harus Dibenahi
Pedagang mengisi air bersih ke dalam jerigen di Muara Angke, Jakarta.(Antara)

WILAYAH DKI Jakarta belum mampu menjamin ketersediaan air bersih yang mudah diakses dan berkelanjutan untuk warga. Hal itu ditandai dengan masih adanya warga Jakarta yang kesulitan mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Minimnya pemenuhan hak atas air tersebut tidak terlepas dari swastanisasi air, diskriminasi pemasangan pipa PDAM dan buruknya pengelolaan sumber daya air. Pemprov DKI juga dinilai lebih memandang masyarakat sebagai target pasar daripada warga yang harus dipenuhi hak atas airnya.

“Alih-alih memenuhi hak warga, investasi condong menjadikan warga sebagai target pasar yang memberikan keuntungan besar bagi investor, lantas merugikan negara hingga Rp18,2 triliun. Membebani warga yang harus membayar air dengan tarif hingga Rp7.800/m3," ujar Direktur Eksekutif Walhi DKI Suci Fitriah Tanjung dalam keterangan resmi, Selasa (22/3).

Baca juga: PAM Jaya Layani 68% Warga DKI Jakarta

Regulasi pemasangan pipa PDAM yang tertuang dalam Pergub DKI Nomor 16 Tahun 2020, juga cenderung diskrimintaif pada golongan tertentu. Warga Jakarta yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, tidak bisa memasang pipa PDAM sebagaimana mestinya. 

Sebagai gantinya, mereka mengakses air dengan sistem master meter. Namun, sistem ini justru membebani masyarakat dengan harga yang tidak menentu dan ketersediaan air yang terbatas.

Minimnya peran pemerintah dalam menyediakan layanan akses air bersih juga berkaitan dengan maraknya ekstraksi air tanah dangkal, dengan kedalaman kurang dari 40 meter oleh sebagian besar warga. Namun, air tanah di Jakarta sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan, karena sudah terkontaminasi dan tidak layak dikonsumsi.

Baca juga: Keberadaan dan Kualitas, Permasalahan Air Minum saat Ini

Dinas Lingkungan Hidup DKI bahkan merilis data yang menunjukan kualitas air tanah di Jakarta mayoritas berada dalam kondisi tercemar berat. Penggunaan air tanah dalam lebih dari 50 meter, juga dilakukan pelaku bisnis untuk operasional usaha, seperti hotel, dan gedung perkantoran. 

Pengambilan air tanah dalam ini mengakibatkan laju penurunan tanah semakin meningkat setiap tahun. Kemudian, diperparah dengan tingginya beban tanah akibat bangunan besar yang berdiri di atas permukaan tanah Jakarta. 

"Pemerintah belum memiliki mekanisme yang ketat, baik dalam hal perizinan maupun dalam memantau ekstraksi air tanah dalam, yang dilakukan para pelaku bisnis," pungkas Suci.(OL-11)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat