visitaaponce.com

HUT Jakarta dan Riwayat Suku Betawi

HUT Jakarta dan Riwayat Suku Betawi
Festival Betawi.(Antara)

KOTA DKI Jakarta hari ini berulang tahun ke-496 tahun. Sejak awal berdiri, kota yang didiami suku Betawi ini telah menjadi pusat pertemuan berbagai etnis di Indonesia.

Antropolog Universitas Indonesia, Uka Tjandarasasmita, menyebut penduduk asli Jakarta telah berada sejak 3.500-3.000 tahun sebelum masehi.

"Awalnya, orang-orang yang tinggal di Jakarta tidak menganggap mereka suku Betawi. Mereka baru menyatakan diri sebagai suku Betawi setelah dibentuk perkumpulan," katanya seperti dilansir dari laman unkris.ac.id.

Baca juga : Macet masih Jadi Masalah Utama DKI Jakarta di Usia 496 Tahun

Saat zaman kolonial Belanda pada 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut.

Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan dijadikan mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
 
Baca juga : Anjungan Pemprov DKI Sediakan Pelayanan Publik di Jakarta Fair 2023

Antropolog Universitas Indonesia yang lain, Parsudi Suparlan, mengatakan kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan golongan etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
 
Pengakuan terhadap orang Betawi sebagai sebuah golongan etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup luas, yakni Hindia Belanda baru muncul pada 1923. Saat itu, Husni Thamrin, tokoh warga Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi.
 
Sejak saat itu, orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Ada juga yang berpendapat orang Betawi tidak hanya mencakup warga campuran dalam benteng Batavia yang didirikan oleh Belanda, tapi juga mencakup penduduk di luar benteng yang dinamakan warga proto Betawi.
 
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah memakai bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang berikutnya dijadikan sebagai bahasa nasional.
 
Sejak penghabisan masa zaman lalu dan khususnya sesudah kemerdekaan pada 1945, Jakarta dibanjiri imigran dari semua Indonesia. Sehingga orang Betawi, dalam artian apa pun juga, tinggal sebagai minoritas.
 
Pada 1961, suku Betawi bertambah 22,9 persen dari sebelumnya menjadi 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka makin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
 
Seni dan norma budaya asli penduduk Jakarta atau Betawi bisa diamati dari temuan arkeologis, misalnya giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang bersumber dari masa zaman ke-11 Masehi.
 
Selain itu, norma budaya Betawi juga terjadi dari anggota campuran norma budaya suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo.
 
Suku-suku yang menduduki Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, norma budaya Betawi juga menyerap dari norma budaya luar, seperti Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
 
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah di Jawa Barat dan Banten.
 
Norma budaya Betawi juga tersingkirkan oleh norma budaya lain dari Indonesia maupun norma budaya barat. Untuk melestarikan norma budaya Betawi, didirikanlah cagar norma budaya di Situ Babakan. (Medcom.id/Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat