Filosofi Huma Betang Dan Keberagaman Masyarakat Dayak
FILOSOFI Huma (huma yang artinya rumah dalam bahasa Dayak Ngaju) Betang adalah mengedepankan musyawarah mufakat, kesetaraan, kejujuran dan kesetiaan. Hingga kini filosofi itu masih menjadi pedoman dan diteladani oleh masyarakat yang hidup di Provinsi Kalteng. Bhkan untuk penyelesaian konflik etnis antara Suku Dayak dan Madura di Kalteng pada 2001, pendekatan falsafah Huma Betang ini dikedepankan sehingga pada akhirnya warga Suku Dayak bisa menerima kembali Suku Madura yang terusir saat konflik terjadi.
Hal itu seperti dikatakan oleh Sabran Achmad, Ketua Kongres Penyelesaian Konflik Dayak Madura Tahun 2001. Ditemui dirumahnya, Selasa (25/8) dia menjelaskan, pada awalnya untuk menyelesaikan konflik antara Suku Madura dan Dayak pada 2001 dengan proses hukum berlaku. Namun kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan karena saat kejadiannya tidak ada yang tahu apa dan siapa penyebabnya. Secara hukum seperti dikemukakan Sabran susah diselesaikan, namun situasi saat itu bisa dikunci agar tetap kondusif.
"Karena saat kejadian tidak ada saksinya. Dan yang menjadi korban tak hanya Suku Madura saja tapi juga Suku Dayak," ujarnya.
Seiring perjalanan waktu, konflik itu diselesaikan dengan falsafah NKRI. Ketua Dewan Adat Dayak Kalteng periode 2007-2011 ini mengatakan dari hasil kongres dihasilkan keputusan bahwa para pengungsi Madura yang keluar dair Kalteng akibat konflik dan meninggalkan rumah serta hartanya, mereka diperbolehkan kembali lagi ke Kalteng.
"Jadi ini pendekatan humanis dan filosofi Huma Betang di sini masuk," ujarnya.
Wakil Ketua Presedium Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalteng (LMMDD-KT) itu memaparkan filosofi Rumah Betang orang Dayak yang memuat empat pilar. Yakni pertama, orang Dayak itu hidup jujur dan bertakwa pada Tuhan YME. Kedua, di Kalteng tidak ada darah biru seperti sultan atau raja, maka hidupnya sederajat. Karenanya dalam memilih pimpinan yang dilakukan adalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Ketiga, orang Dayak itu hidup dalam kebersamaan. Dan keempat orang Dayak taat hukum, baik itu hukum negara, hukum adat dan hukum alam.
Sementara itu menurut Aryo Nugroho dari LBH Palangka Raya untuk penyelesaian konflik etnis yang terjadi di Kalteng pada 2001 itu melalui pendekatan hukum adat.
"Jika menggunakan hukum nasional itu akan lama prosesnya dan panjang. Mungkin dengan belajar dari kasus konflik Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur yang bermula dari adat maka yang terbaik rekonsiliasi dilakukan dengan hukum adat," terang Aryo Nugroho.
Kejadian itu juga terekam dalam ingatan Suti Naimah, 22 perempuan keturunan Madura yang kini tinggal di Palangka Raya. Menurutnya kejadian 2001 itu adalah murni kesalahpahaman antarwarga yang diselesaikan dengan menggunakan musyawarah mufakat dan tidak menonjolkan kekerasan.
"Sekarang ini tidak ada istilah siapa yang benar dan salah. Tapi semua diselesaikan dengan musyawarah. Jika ada masalah diselesaikan dengan damai," kata perempuan berdarah Madura kelahiran Sampit ini.
Ibu satu anak merupakan generasi keempat yang lahir dan hidup di Sampit. Pada saat pecah konflik, keluarganya mendapat jaminan keselamatan dari pemerintah. Saat pecah konflik, ia dan orangtuanya kembali ke Madura dan kembali lagi ke Sampit pada 2008 untuk menata kehidupan baru.
Dari pengakuan Imah, sapaan akrab Suti Naimah, warga Madura tak lagi hidup berkelompok dan sudah membaur dengan warga lainnya. Ditambah lagi setelah konflik 2001 hubungan antarsuku terus diperbaiki. Setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah.
"Ini mungkin yang dimaksud sesuai dengan falsafah rumah betang yang selalu musyawah jika ada masalah," lanjut Imah yang sehari-hari berjualan sayur keliling ini.
Rawing Rambang, 59 seorang keturunan Suku Dayak yang tinggal di Palangka Raya mengungkapkan bahwa Suku Dayak memiliki filosofi diusung dalam Rumah Bentang. Di dalam keluarga besarnya memiliki kepercayaan agama berbeda-beda. Ada yang Islam, Kristen dan lainnya. Namun sebagai keluarga bisa terjalin kerukunan dan harmonisasi di antara anggota keluarga yang berbeda-beda.
Saudara-saudaranya dari pihak ibu kandung kata Rawing terdiri dari 4 orang beragama Nasrani dan 3 orang Islam. Dan mereka merupakan keluarga Dayak Maanyan yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.
"Kami punya jadwal tetap berkumpul bersama keluarga besar yakni pada saat lebaran. Kami yang Nasrani datang ke saudara yang muslim yang sedang merayakan lebaran, begitu juga sebaliknya," ujar Rawing Rambang yang kini menjadi Kepala Finas Perkebunan Kalimantan Tengah.
Demikian juga saat terjadi kematian atau kebaktian mereka saling mengundang walaupun mereka tidak ikut pada ritual keagamaanya, tapi saudara kandung atau sepupu akan selalu hadir.
Menurut Rawing Rambang, eratnya hubungan keluarga Suku Dayak walaupun berbeda keyakinan dimungkinkan karena falsafah Rumah Betang. Keluarga besar bersatu dalam sebuah rumah yang sejak dulu hingga sekarang terus mengakar.
"Saya yakin falsafah Rumah Betang ini akan terus terpelihara dan tak lekang oleh zaman. Dan masyarakat Dayak dengan berbagai keberagaman tetap bisa bersatu," katanya.
Karena bagi dia, falsafah Rumah Betang itu yakni keluarga itu bersatu dalam keberagaman, baik tidur hingga makan bersama. Dan itu masih terjalin sampai sekarang walau tidak tinggal dalam satu rumah.
baca juga: Pemda Diminta Prioritaskan Sektor Pertanian
Terpisah Damang Kepala Adat Jekan Raya, Palangka Raya, Kardinal Tarung,66 menjelaskan suku Dayak tidak akan merusak persaudaraan karena mereka secara historis terikat pada Perjanjian Damai Tumbang Anoi Tahun 1894 yang merupakan akhir peperangan antar suku di Kalimantan. Dengan kondisi sekarang kata Kardinal, walaupun Rumah Betang sudah jarang dijumpai dan dijadikan cagar budaya, maka yang ada sekarang ini hanya hukum adat. Ini karena suku Dayak tidak mengedepankan hukuman fisik namun lebih pada filosofi damai.
"Sedangkan untuk para pendatang dimana pun berada, Suku Dayak menganut falsafah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Dan ini bukan hanya diterapkan di tanah Borneo saja, tapi dimana pun dia berada sehingga terjadi kebersamaan kedamaian," tegasnya.
Contohnya, jika terjadi perselisihan dan ketidakharmonisan baik itu melalui suku, agama atau lainnya, maka akan semakin keras pula filosofi Rumah Betang digaungkan terutama soal kebersamaan.
"Karena kesukuan itu bukan kehendak individu, sementara agama itu adalah pilihan sehingga hal itu tidak akan merusak kebersamaan," pungkasnya. (OL-3)
Terkini Lainnya
DPR RI: Pembangunan Infrastruktur di Kalteng Hasil Kerja Keras Bersama
Pulau Salat, Jalan Pulang Orang Utan
Kalteng Masih Kekurangan Tenaga Penyuluh Pertanian
Kotawaringin Barat Prioritaskan Pencegahan Stunting dalam Pembangunan Daerah
Rektor IPB Siap Berkolaborasi Dorong Kemajuan Food Estate di Kalteng
200 Karyawan SKS Ikut Vaksinasi Bersama RS Siloam Palangkaraya
Sambangi UGM, Ganjar Kenakan Pakaian Daerah Dayak
Owner Kayan Hydro Energi (KHE) Dianugerahi Gelar Kehormatan Warga Dayak
Aktivis dan Mantan Pejabat ini Siap Perjuangkan Masyarakat Dayak Melalui Politik
Ganjar Diangkat sebagai Warga Kehormatan Adat Dayak Kaltim
Mengintip Ritual Bercocok Tanam Dayak Dea Halong, Ngasok Miah Melatu Wini
Dosen IPB Racik Bawang Dayak sebagai Minuman Fungsional Antidiabetes
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap