visitaaponce.com

Mengintip Ritual Bercocok Tanam Dayak Dea Halong, Ngasok Miah Melatu Wini

Mengintip Ritual Bercocok Tanam Dayak Dea Halong, Ngasok Miah Melatu Wini
Ngasok miah melatu wini tradisi bercocok tanam suku dayak dea di Desa Liyu, Kalimantan Selatan.(MI/Denny Susanto)

WAJAH Aliuncen, Kepala Adat Desa Liyu beberapa kali menengadah ke langit sambil komat kamit melafalkan mantra di depan pondok kecil yang disebut Pondok Wini. Hujan yang turun sejak pagi membuat jadwal ritual Ngasok Miah yang merupakan acara inti dari Festival Melatu Wini tahun ini sedikit terganggu.

Ngasok Miah adalah kegiatan menabur benih padi (Melatu Wini) dalam bercocok tanam tradisional suku Dayak Dea di Desa Liyu, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel). Kegiatan ini didahului ritual pembacaan mantra untuk mengundang Dewi Padi (Dewi Sri) dan para leluhur sekaligus memohon kepada sang pencipta agar diberikan kemakmuran berupa hasil panen padi yang berlimpah.

Di dalam pondok wini ditaruh berbagai perlengkapan, peralatan, kain putih, sajian makanan buah-buahan dan benih padi yang akan ditanam. Adapula kain sebagai simbol perahu layar, dimana para leluhur akan berlayar selama masa tanam (5 bulan 10 hari) dan pulang membawa hasil yang diwujudkan dalam berlimpahnya hasil panen.

Baca juga: Masyarakat Adat Lewonama Gelar Ritual Sakral Sambut Air

"Kegiatan ritual melatu wini ini tidak bisa dilakukan sembarangan, tetapi harus melalui proses dengan memperhitungkan cuaca, hari baik, astronomi posisi bulan dan bintang, lokasi tanam serta kearifan lokal lainnya," tutur Aliuncen.

Ngasok Miah Melatu Wini juga dibarengi kegiatan menanam padi (manugal) bergotong royong warga yang diiringi musik kurung-kurung untuk penyemangat dalam proses manugal. Juga dirangkaikan tarian adat dan atraksi sentokep atau jepit pundung.

Kegiatan manugal sendiri dilakukan secara bergiliran pada lahan-lahan milik warga yang siap ditanam. Kegiatan melatu wini ditutup dengan makan bersama warga diladang.

Baca juga: Etu, Pertarungan untuk Air Hujan di Nagekeo

Foto: Permainan tradisional sentokep atau jepit bambu yang dibawakan remaja suku Dayak Dea (MI/Denny Susanto)

Pantangan Menjual Hasil Panen

Masyarakat adat Dayak Dea memiliki kearifan lokal dalam menjaga ketahanan pangan berupa pantangan (pamali) menjual hasil panen padi. Menanam dan memanfaatkan hasil panen untuk keperluan sendiri dan kebutuhan ritual adat (aruh) membuat setiap keluarga mempunyai ketahanan pangan cukup baik.

"Salah satu tradisi kami warga Dayak Dea secara turun temurun adalah pamali menjual padi hasil panen. Karena itu setiap warga punya lumbung atau simpanan hasil panen hingga bertahun-tahun," tutur Sukri,

Kepala Desa Liyu. Sukri sendiri memiliki simpanan padi dari hasil panen sejak 2018 di rumahnya. Rata-rata warga Desa Liyu yang berjumlah 100 keluarga ini memiliki cadangan padi lima tahun.

Swasembada pangan masyarakat adat ini, menurut Sukri memunculkan ide pembangunan lumbung desa dimana nantinya surplus hasil panen padi jenis padi gunung (si buyung) akan dibagikan bagi warga desa kurang mampu dan sebagian lagi dijual sebagai salah satu usaha BUMDes.

Dibantu para mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) kini Desa Liyu telah memiliki produk beras lokal kemasan bersertifikat halal, meski produk ini belum di pasar secara luas. Guna lebih meningkatkan produksi padi akan diujicobakan penanaman padi hasil penelitian IPB.

Dosen pertanian IPB, Ahmad Junaidi mengatakan kearifan lokal masyarakat adat bercocok tanam dan budidaya padi gunung dengan sistem pertanian organik ini perlu dipertahankan.

"Kearifan lokal dalam bercocok tanam dan ketahanan pangan desa ini perlu dipertahankan agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. Lahan pertanian perlu dijaga dan dirawat secara baik terlebih ini sistem pertanian organik," tuturnya.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat