visitaaponce.com

Tradisi Malam Selikuran, Keraton Surakarta Gelar 2 Versi Kirab Tumpeng

Tradisi Malam Selikuran, Keraton Surakarta Gelar 2 Versi Kirab Tumpeng
Tumpengsewu yang menjadi wujud dari tradisi malam selikuran di bulan Ramadan didoakan di Masjid Agung sebelim dimakan bersama.(MI/Widjajadi)

UMAT Islam mempercayai 10 hari terakhir di bulan Ramadan, khususnya di malam-malam hari ganjil, merupakan peristiwa turunnya lailatul qadar yang disebut lebih mulia dari seribu bulan.

Peristiwa datangnya Lailatul Qadar diperingati di berbagai wilayah salah satunya Kota Solo yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta. Biasanya peristiwa yang disebut malam selikuran itu diisi dengan kirab 1.000 tumpeng persis pada 20 Ramadan atau malam ke-21.

Sementara di dua terakhir Ramadan ini, keraton tidak menyelenggarakan tradisi tersebut lantaran pandemi covid-19. Tahun ini, malam selikuran kembali digelar pada Jumat (22/4) malam. Istimewanya, malam selikuran kali ini terlaksana dengan dua versi, pertama dari Sinuhun PB XIII dan sesi kedua oleh Lembaga Dewan Adat (LDA).

Pengageng Parentah Keraton Kasunanan KGPH Dipokusumo mengatakan prosesi kirab seribu tumpeng pada malam selikuran ini merupakan tradisi yang digelar sejak zaman Sunan Kalijaga.

"Upacara tradisi itu untuk menyongsong turunnya wahyu Lailatul Qodar yang diterima Nabi Muhammad SAW," kata Gusti Dipo di Masjid Agung Keraton Kasunanan, Jumat (22/4) malam.

Tradisi yang sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga itu, lanjut dia, sebagai bagian dari upaya menyebarkan agama Islam di Jawa, dan terus dilanjutkan semasa Raja Mataram Islam, Sultan Agung, hingga dilestarikan sampai sekarang.

"Penyelenggaraan tradisi tumpeng sewu, yang dilengkapi dengan lampion tadi merupakan simbol dari malam seribu bulan saat malam Lailatul Qadar," tegas Dipokusumo.

Tumpeng Sewu juga bisa diartikan sebagai konsep berbagi rejeki oleh raja pada masyarakat. Pembagian nasi tumpeng yang telah didoakan itu wujud perhatian seorang raja kepada rakyatnya

"Memang banyak filosofi yang terkandung dalam setiap isian nasi berkat yang dibagikan tadi. Semuanya bisa dimaknai sebagai rasa syukur atas kebaikan yang diberikan Allah SWT," tuturnya.

Baca juga: Jadi Salah Satu Keutamaan di Bulan Ramadan, Ini Tata Cara Salat Sunnah Lailatul Qadar

Pada masa PB X hingga PB XII tradisi tumpeng sewu pada malam selikuran ini dikirab dari Keraton menuju pendopo Taman Sriwedari. Namun seiring waktu, prosesi kirab kembali berakhir di Masjid Agung Keraton Kasunanan.

Terkait prosesi kirab yang berubah itu, Gusti Dipo menegaskan bukan lah masalah dan tidak mengurangi makna tradisi.

"Ya awal penyelenggaraan Malam Selikuran oleh Keraton Kasunanan memang dilakukan di Masjid Agung. Kebetulan Sriwedari juga sedang dibenahi," tutur suami Gusti Febri ini.

Pada bagian lain, Ketua Eksekutif Lembaga Hukum LDA Keraton Kasunanan KP Eddy Wirabhumi mengatakan tujuan tradisi malam selikuran digelar agar masyarakat dapat merasakan kemeriahan menyambut Lebaran 2022.

"Siapa pun boleh melakukan upacara adat. Semakin banyak yang mangayubagyo atau merayakan justru semakin baik," kata suami Wandansari sebelum kirab tumpeng sewu dari Pagelaran Keraton.

Acara yang digelar LDA Keraton ini sangat meriah, karena diisi dengan hadrah mengelilingi Baluwarti sebelum menuju Masjid Agung. Kerlap-kerlip lampion dan juga obor oleh 1.000 abdi dalem, prajurit dengan kawulo Solo itu mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.

Wirabhumi menambahkan, pada zaman PB X, kirab tumpeng sewu memang memutar di Baluwarti.

"Tapi lepas dari itu semua tidak jadi soal mana yang paling benar. Tradisi adat malam selikuran ini untuk kebaikan bangsa ini," pungkas dia.(OL-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat