visitaaponce.com

Plt Bupati Mimika Nilai Kejati Papua Sewenang-wenang, Ini Alasannya

Plt Bupati Mimika Nilai Kejati Papua Sewenang-wenang, Ini Alasannya
M Yasin Djamaluddin SH, MH, (memegang mic) Kuasa Hukum Johannes Rettob, memberi keterangan pers di Jakarta, Senin (6/3)(MI/Selamat Saragih)

FUNGSI kejaksaan sebagai penyidik perkara dan penuntut umum, membuat instansi penegak hukum itu menjadi lembaga yang sewenang-wenang dalam proses penyidikan perkara. Karena yang melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara adalah internal kejaksaan dalam hal ini notabene rekan kerja mereka sendiri.

Bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tapi di sisi lain juga sebagai penuntut. Hal itu mengakibatkan tidak ada Checks and Balances dalam proses penyidikan. Sehingga sangat mudah untuk menyatakan berkas perkara lengkap dan dapat segera dilimpahkan ke pengadilan.

Kesewenang-wenangan kejaksaan itu, contohnya adalah penetapan Plt Bupati Kabupaten Mimika, Johannes Rettob, oleh Kejati Papua sebagai tersangka dalam kasus pengadaan pesawat terbang.

"Penetapan itu tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Hal itu tampak jelas dari proses penyidikan belum selesai, karena belum ada pemeriksaan saksi dan ahli," kata M Yasin Djamaluddin SH, MH sebagai Kuasa Hukum, Johannes Rettob, di Jakarta, Senin (6/3/2023).

Selain itu, Audit BPK juga telah menyatakan, tidak ada kerugian negara dalam pengadaan pesawat terbang tersebut. Demikian juga KPK telah melakukan penyidikan selama dua tahun dan tidak menemukan adanya penyelewengan.

Karena itu, lanjut Yasin, pihaknya belum lama ini mengajukan Praperadilan untuk menguji prosedur penetapan tersangka telah sesuai atau tidak. Namun hak tersangka untuk mengajukan Praperadilan itu dikebiri Kejati Papua dengan mengajukan berkas perkara yang belum selesai ke pengadilan, dengan maksud agar permohonan Praperadilan digugurkan Pengadilan.

Yasin Djamaluddin menjelaskan, setelah mengetahui adanya Praperadilan tersebut, walaupun proses penyidikan belum selesai, yaitu belum ada pemeriksaan saksi dan ahli meringankan, penyidik Kejati Papua langsung melimpahkan berkas perkara itu ke Penuntut Umum dan selanjutnya langsung dilimpahkan ke Pengadilan agar permohonan Praperadilan itu digugurkan sehingga Kejati Papua selamat dari proses penetapan tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup.

“Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty telah menjadi korban kesewenang-wenangan Kejati Papua dengan keberadaan pasal tersebut. Itu sangat merugikan dan menghilangkan hak tersangka untuk menguji proses penetapan tersangka yang benar, sesuai dengan asas due process of law,” kata M Yasin Djamaluddin.

Menilik bahwa praktik kesewenang-wenangan kejaksaan seperti itu mudah terjadi, maka M Yasin Djamaluddin SH, MH mengajukan Judial Review terhadap Pasal 82 KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ke Mahkamah Konstitusi pada 6 Maret 2023. Pasal inilah yang sering digunakan Kejaksaan secara sewenang-wenang untuk menggugurkan hak para pencari keadilan.

Menurut M Yasin Djamaluddin, Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), harus ditafsirkan Mahkamah Konstitusi: Apabila Permohonan Praperadilan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka Pokok Perkara haruslah ditangguhkan sampai adanya putusan Praperadilan agar prosedur, keadilan dan transparansi penegakan hukum berjalan dengan baik.

M Yasin Djamaluddin menambahkan, untuk menghindari Dwi fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum menjadikan jaksa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan dan untuk menghindari tumpang tindih penyidikan, maka Kejaksaan harus dikembalikan ke kewenangan yang hakikinya yaitu Penuntutan bukan penyidikan. (N-3)

Baca Juga: Berkas Dilimpahkan ke Pengadilan, Status Plt Bupati Mimika Jadi ...

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat