visitaaponce.com

Walhi Sumut Nilai Pemerintah Gagal Laksanakan Reforma Agraria

Walhi Sumut Nilai Pemerintah Gagal Laksanakan Reforma Agraria
Ilustrasi. Petani memilih bibit kentang yang akan ditanam di Berastagi, Karo, Sumatera Utara, Senin (13/1/2014).(MI/RAMDANI)

HARI Tani Nasional diperingati pada tanggal 24 September setiap tahunnya. Sejatinya, Hari Tani merupakan kemerdekaan bagi kaum tani. Namun ironis, petani belum berdaulat atas tanah, benih dan lain sebagainya.

Direktur WALHI Sumatera Utara, Rianda Purba mengutarakan 63 tahun silam tepatnya pada 24 September 1960, merupakan hari kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sebuah kemerdekaan bagi kaum tani dan tonggak
kedaulatan rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan. Hingga hari ini kondisi petani berbanding terbalik dengan mandat UUPA.

Perampasan tanah rakyat, kriminalisasi petani, ketimpangan penguasaan tanah, dan konflik agraria masih langgeng terjadi. Hingga jeratan mahalnya harga-harga bibit dan pupuk yang tidak sebanding dengan harga-harga komoditas panen petani yang murah, jeratan tengkulak, sistem pertanian berbasis korporasi, food estate semakin meminggirkan petani.

Baca juga: Konflik Agraria masih Mengancam Rakyat

"Jika menelisik lebih jauh cita-cita politik pemerintahan Jokowi, tentu kejadian-kejadian seperti konflik agraria, penggusuran seperti yang terjadi di Rempang, Kepulauan Riau sekarang ini tidak akan terjadi. Kriminalisasi petani, dan berbagai bentuk perampasan tanah petani semestinya tidak ada. Petani kerap menjadi pihak yang tidak diuntungkan dan menjadi korban dalam kasus-kasus konflik agraria," kata Rianda dalam keterangannya, Selasa (26/9).

Dalam 1 tahun terakhir, Walhi Sumatera Utara mencatat ada 8 kasus konflik agraria di kawasan hutan dengan luas areal mencapai ± 3057 ha. Konflik di kawasan hutan terjadi karena tumpang tindih kawasan hutan dengan tanah yang dikelola warga.

Selain itu, kawasan hutan juga izinnya diberikan kepada perusahaan seperti izin hutan tanaman industri. Kemudian, pengusahaan kebun sawit ilegal di kawasan hutan. Pemberian izin kelola hutan (perhutanan sosial) yang tidak tepat sasaran baik subjek maupun objeknya. Konflik agraria di kawasan hutan berpotensi semakin massif terjadi jika Pemerintah tetap membiarkan. Apalagi, program reforma agraria yang tidak terlaksana sama sekali.

Baca juga: Wamen ATR/BPN Serahkan Sertifikat Taman Masjid Al Jabar di Bandung

Di sektor perkebunan, provinsi Sumatera Utara, ungkap, dia merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan kawasan komoditas perkebunan kedua terluas di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit merupakan satu dari banyak komoditas besar lainnya seperti karet, tembakau, teh, dan lain sebagainya. Namun, dalam setahun terakhir, 8 konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan dengan luasan konflik seluas 1934,7 hektare.

Selain itu, Walhi Sumatera Utara juga mencatat bahwa ada sekitar 37 kelompok petani lainnnya dengan luas areal konflik mencapai 19.485,59 ha di Sumatera Utara yang mengalami konflik agraria berkepanjangan dengan perusahaan perkebunan sawit, dan perusahaan ekstraktif lainnya, hingga hari ini belum kunjung usai.

"Sudah tidak terlaksana, apalagi menyelesaikan konflik agraria. Program reforma agraria pemerintah Jokowi – Mahruf sama sekali tidak bekerja dan tidak bervisi kerakyatan, sama sekali tidak mengurangi ketimpangan agraria. Selain minimnya capaian redistribusi tanah untuk rakyat, justru diperparah dengan terbitnya Perpu Cipta Kerja yang kontraproduktif dengan semangat UUPA. Ini semakin memperjelas bahwa pengaturan agraria Indonesia hanya diperuntukkan kepada para kapitalis dan menghamba pada kebutuhan imperealis abad 21 serta rumit sengkarut agraria," ujarnya. (Z-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat