visitaaponce.com

Konflik Agraria masih Mengancam Rakyat

Konflik Agraria masih Mengancam Rakyat
Ilustrasi(Antara )

KONFLIK agraria masih mengancam masyarakat yang tinggal dan berkegiatan di sekitar hutan dan lahan. Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat sebanyak 2.710 kejadian konflik agraria yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu 2015-2022. Letusan konflik tersebut didominasi oleh sektor perkebunan yang mencapai 1.023 konflik.

Hal serupa juga disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Pada 2021 saja, WALHI menemukan 72% konflik disebabkan operasi bisnis perusahaan swasta dan 13% lainnya adalah PSN.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sejak 2017-2022 terjadi 301 perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektare.

Baca juga: Komnas HAM: Tingkat Konflik Agraria di Indonesia Meningkat secara Masif

“Di sisi lain, adanya 214 kebijakan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat belum cukup luas melindungi komunitas adat. Sebab, pemerintah pusat enggan mengubah mekanisme pengakuan yang sektoral dan berbelit—belit serta biaya mahal menjadi praktis, murah dan singkat,” kata Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Simbolinggi, Rabu (20/9).

Ia membeberkan, banyaknya konflik agraria yang terjadi menandakan perampasan tanah dan ruang hidup rakyat secara terus menerus. Dengan demikian, ketimpangan penguasaan tanah semakin diperparah. Hal itu, kata dia, ditandai dengan pemberian tanah bagi pengusaha sawit yang terus meluas. Sejak tahun 2016 hingga 2022, terdapat perluasan sawit seluas 5,6 juta hektare adapun tanah yang dikuasai pengusaha sawit saat ini seluas 16,8 juta hektare.

Baca juga: PBNU Sebut Akuisisi Paksa Tanah Warga Rempang oleh Pemerintah Hukumnya Haram

“Padahal Jokowi berjanji meredistribusikan tanah seluas 9 juta ha kepada petani dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria (RA), andai saja janji itu ditepati tentu dapat mengurangi ketimpangan penguasaan tanah di atas,” ucapnya.

Selain itu, selama 10 tahun Pemerintahan Joko Widodo (2015-2022), KPA mencatat telah terjadi kriminalisasi terhadap 1.615 orang. Sebanyak 38 orang di antaranya tertembak dan 69 orang tewas akibat mempertahankan hak atas tanah.

Pada periode yang sama, AMAN mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Sektor dominan yang memicu kriminalisasi Masyarakat Adat adalah konflik kawasan hutan (42%), pertambangan (13%), perkebunan (11%), infrastruktur (10%), dan kebakaran lahan (2%).

Sementara, WALHI mencatat selama tahun 2021 terdapat 53 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi, 10 diantaranya adalah korban kriminalisasi Pasal 162 perubahan UU Minerba.

Untuk menyelesaikan berbagai konflik tenurial, AMAN bersama dengan KPA dan WALHI mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk menghentikan arah politik dan kebijakan yang liberal dan kapitalistik, serta mengembalikannya sesuai amanat konstitusi, sehingga keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan kembali berpusat pada rakyat.

Selain itu, calon presiden dan wakil presiden serta calon pemimpin daerah lainnya didesak untuk menjalankan secara benar dan serius agenda reforma agraria, keadilan iklim dan pemenuhan hak masyarakat adat, sebagaimana yang telah dimandatkan oleh konstitusi.

“Rakyat harus bersikap kritis dalam memilih calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, yakni memastikan calon yang memiliki rekam jejak bersih, mempunyai visi dan keberpihakan yang kuat pada pengakuan wilayah adat, pelaksanaan reforma agraria sejati dan pemulihan ekologis,” pungkas Rukka.

Terpisah, guna mengatasi konflik tenurial yang sering terjadi di masyarakat, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengungkapkan, pihaknya melakukan percepatan program reforma agraria.

Bambang engungkapkan selama hampir 10 tahun program Reforma Agraria berjalan, sudah terealisasi seluas 2,9 juta hektare kepemilikan lahan TORA hingga September 2023 dari target 4,1 juta hektare. Pada selin (18/9) lalu, presiden pun telah menyerahkan SK TORA baru sebanyak 51 dengan luas 107.275,8 hektare untuk 19 provinsi.

“TORA itu adalah fasilitas umum dan fasilitas sosial yang berada di dalam kawasan hutan itu dikeluarkan dari kawasan hutan supaya desanya berkembang, infrastruktur maju, hingga ekonomi wilayahnya bertumbuh,” ujar Bambang.

Selain itu, Bambang menyebut bahwa ada peningkatan pesat dari perhutanan sosial. Pada April 2023 lalu, capaian penyerahan SK perhutanan sosial baru 5,6 juta hektare. Pada Senin lalu, Presiden Joko Widodo pun telah menyerahkan sebanyak 1,048 juta hektare SK perhutanan sosial yang terdiri dari 1.541 unit dan mencakup 95.749 KK. Dengan demikian, penyerahan SK perhutanan sosial sudah mencapai 6,3 juta hektare dari target 12,7 juta hektare hingga 2030.

Ia menyatakan, ada beberapa faktor yang menjadikan peningkatan pesat penyerahan SK perhutanan sosoal itu. Mulai dari faktor telah usainya pandemi covid-19, hingga adanya inovasi jemput bola dengan melibatkan pihak-pihak di tingkat tapak.

Selain itu, kini perhutanan sosial tidak hanya sebatas hutan lindung dan produksi, tapi juga hutan konservasi. Dari 1,048 juta hektare SK yang diserahkan Jokowi, seluas 297.774 hektare merupakan kemitraan konservasi.

“Kalau dulu yang namanya hutan konservasi itu kan nyamuk pun gak boleh masuk. Jangankan orang, binatang pun sulit untuk masuk, terutama yang eksotik. Karena itu sekarang pendekatannya di kawasan konservasi yang ada manusianya, pendekatannya tidak menghukum dan memagari, tapi pendekatannya adalah conservation governance,” beber Bambang.

Hal lain yang kemudian mengakselerasi penyerahan SK hutan sosial ialah adanya kemitraan perhutani produktif di hutan jawa seluas 970 hektare. Bambang melanjutkan, setelah masyarakat mendapatkan distribusi akses, pemerintah tidak lantas lepas tangan. Mereka akan didampingi untuk menyusun rencana perhutanan sosial dalam lingkup perencanaan bisnis. Bambang menargetkan ada sebanyak 23 ribu pendamping dari pihak desa, UKM, pemda hingga koperasi.

“Nah, kalau mereka sudah membuat business plan, yang jadi pertanyaann adalah bagaimana permodalannya? Dengan kementerian BUMN, dengan kerjasama dengan Himbara, ada KUR, ada juga yang kita sebut sistem pendanaan yang sifatnya gratis. Tapi untuk keberlanjutan diajari juga sistemnya adalah revolving fund atau KUR,” pungkas Bambang. (Ata/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat