visitaaponce.com

Pandemi, Sains, dan KTT Iklim

Pandemi, Sains, dan KTT Iklim
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

PENAMPAKAN Gunung Salak dari Jakarta di awal masa pandemi covid-19 tahun lalu, membuat heboh. Padahal, sebelum era pandemi, gunung yang terletak di Bogor, Jawa Barat, itu boro-boro dilirik. Kalaupun berkunjung ke ‘Kota Hujan’, warga ibu kota, paling-paling biasanya cuma mampir shopping di factory outlet, ngopi, atau piknik lesehan di Kebun Raya. Sosok Gunung Salak yang indah itu hanya menarik bagi segelintir kalangan pencinta alam. Namun, dengan terbatasnya mobilitas manusia di Jakarta, terutama berkurangnya kendaraan yang setiap hari berseliweran, gunung itu pun jadi perbincangan. Netizen heboh, masyarakat seolah takjub dengan udara bersih Jakarta. Mereka tetiba peduli soal lingkungan. 

Meningkatnya minat terhadap lingkungan yang mendekatkan manusia dengan alam, saya kira merupakan salah satu dampak positif dari pandemi covid-19. Kita bisa melihat contoh lainnya pada kegiatan berkebun atau memelihara tanaman yang marak selama pagebluk. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya. Dikutip BBC, Badan Statistik Nasional Inggris melaporkan bukti apresiasi yang lebih besar terhadap ruang alami, seperti taman, selama pandemi dan peran ruang-ruang hijau bagi kesejahteraan mental manusia.

Meningkatnya apresiasi manusia terhadap alam ini mungkin dapat membantu untuk memacu kesadaran akan tantangan terhadap isu lingkungan lainnya yang lebih besar seperti perubahan iklim. Dengan terhentinya kegiatan perekonomian selama masa pembatasan sosial, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan emisi hanya turun 7% pada 2020. Artinya, dengan adanya pandemi pun belum berkontribusi banyak untuk mengurangi pemanasan global. Persoalan emisi inilah yang bakal jadi salah satu fokus bahasan utama para pemimpin dunia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26), di Glasgow, Skotlandia, 1-2 November nanti. 

Penanganan pandemi covid-19 yang terjadi dalam dua tahun terakhir, seharusnya juga bisa menjadi pelajaran dalam mengatasi perubahan iklim. Kepercayaan terhadap sains, antara lain dengan program vaksin, pentingnya mencuci tangan, serta penggunaan masker, bisa menjadi salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi perubahan iklim. Ini bisa dimulai dengan memaparkan secara ilmiah tentang bahayanya gas buang kendaraan, pentingnya merawat pohon, dan menjaga lingkungan kepada masyarakat sehingga menggugah kesadaran mereka tentang dampaknya pada perubahan iklim. Intinya, perbincangan tentang perubahan iklim jangan hanya terjadi di tingkat elite. Ia harus dibahasakan secara membumi agar dimengerti masyarakat yang secara langsung bakal terkena imbasnya.

Hal paling penting tentu saja ialah dorongan untuk bertindak atau berbuat. Saat pandemi, tanggapan muncul segera setelah ambulans wira-wiri mengabarkan kematian dan menjadi teror masyarakat. Namun, dalam persoalan iklim, dampaknya bertahap sehingga tidak atau belum dilihat sebagai sesuatu yang urgen untuk diantisipasi. Menggugah kesadaran inilah yang butuh kerja keras dari para pemangku kepentingan. Tantangan lainnya ialah bagaimana menjalin kerja sama global. Saat krisis pandemi covid-19, hal ini jadi kelemahan utama, distribusi vaksin tidak merata sehingga penanganannya lambat dan dikecam banyak pihak. 

Kembali ke perubahan iklim, keberhasilan atau kegagalan COP26 akan bergantung pada kemampuan para pesertanya untuk mengatasi hal ini dan bertindak secara global. Mereka tidak cukup sekadar berkomitmen memangkas emisi seperti yang dikritik William Nordhaus, pemenang Nobel ekonomi 2018. Dia bilang, “Sejumlah negara memiliki insentif yang kuat untuk menyatakan tujuan yang tinggi dan ambisius (dalam memangkas emisi karbon) dan kemudian mengabaikan tujuan tersebut dan menjalankan bisnis mereka seperti biasa.”

Persoalan fulus memang jadi salah satu faktor sulitnya mewujudkan kerja sama iklim. Ia tidak bisa diatasi hanya dengan komitmen membayar ongkos untuk mereduksi karbon kepada suatu negara, atau seperangkat aturan tanpa taji. Mungkin perlu ada terobosan teknologi secara radikal dalam energi terbarukan, untuk menyelesaikan masalah ini. Entah itu sumbernya seperti yang digunakan nenek moyang Superman di Planet Krypton atau material yang disebut vibranium di negeri Wakanda. Semoga saja sains bisa menjawabnya suatu hari nanti.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat