visitaaponce.com

Limbah Fesyen Hantui Dunia, Busana Daur Ulang Semakin Diminati

Limbah Fesyen Hantui Dunia, Busana Daur Ulang Semakin Diminati
Aksi menolak industri fast fashion di Swedia.(Dok. AFP)

KUANTITAS limbah fesyen di dunia semakin menjadi perhatian banyak pihak, khususnya para pecinta lingkungan. Berdasarkan data Global Fashion Agenda 2023, industri fesyen menyumbang 92 juta ton limbah pakaian yang menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) setiap tahunnya.

Kekhawatiran global akan limbah fesyen yang terus meningkat seiring perilaku konsumtif masyarakat secara perlahan mulai ditanggapi oleh para pelaku fesyen dunia. Tak jarang, jenama fesyen dan desainer berlomba-lomba menghasilkan karya busana fesyen yang lebih ramah lingkungan.

Konsep ramah lingkungan bagi dunia fesyen dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk. Mulai dari menghindari produksi massal atau fast fashion, menggunakan pewarna alami, bahan kain organik, hingga menggunakan bahan daur ulang.

Baca juga : Hidup Minimalis

“Tahun 2014 jumlah produk tekstil termasuk fesyen yang diproduksi di dunia mencapai 100 miliar potong. Diperkirakan angkanya akan terus menanjak hingga mencapai 200 miliar di tahun 2030,” menurut penelitian dari Greenpeace, yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.

Dari seluruh produk tekstil dan fesyen yang diproduksi setiap tahun, tak sampai sepertiganya yang dikelola dengan konsep keberlanjutan seperti di daur ulang, sementara sisanya berakhir di TPA.

Di dalam negeri, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga tengah menyusun aturan soal upaya pengurangan limbah tekstil, yang beririsan dengan limbah fesyen.

Baca juga : DLH DKI Imbau Penyelenggaraan Kurban Secara Ramah Lingkungan

Upaya Pembudayaan Fesyen Ramah Lingkungan

Salah satu hasil proyek sweater rework.

Sementara itu, untuk bisa membudayakan masyarakat yang mencintai fesyen ramah lingkungan, berbagai hal harus dilakukan dengan gencar. Salah satunya melalui dunia pendidikan.

Di Indonesia, pendidikan soal kesadaran pentingnya memberdayakan fesyen ramah lingkungan salah satunya dilakukan oleh Esmod Jakarta.

Baca juga : Pakar: Pertamina Kunci Pembangunan Nusantara Sustainability Hub di IKN

Dalam upaya mendukung tren fashion ramah lingkungan, Esmod Jakarta menghadirkan proyek sweater rework di kurikulum tahun pertama. Seperti namanya, proyek tersebut mengajarkan dasar-dasar desain mode, tetapi juga mendorong kreativitas mahasiswa melalui pendekatan sustainability.

Menggunakan sweater bekas yang mereka punya, proyek ini juga menghadirkan sentuhan desain yang unik dan kreatif dari setiap mahasiswa. Dalam proses ini, mereka tidak hanya belajar tentang teknik dasar seperti memotong dan menjahit, tetapi juga teknik lanjutan seperti penggabungan berbagai tekstur, pewarnaan, dan bahkan penggunaan elemen dekoratif.

Dalam proyek ini para mahasiswa berusaha untuk memahami karakteristik dari bahan yang ada dan mencari cara supaya bisa mengubahnya menjadi suatu hal yang baru dan menarik. Selain itu, mereka mendalami keterampilan teknis seperti memotong, menjahit, dan memberikan sentuhan akhir yang diperlukan.

Baca juga : Lebih Ramah Lingkungan, Tisu Bambu Diminati Pasar

Tidak hanya itu, mereka juga diajak untuk mempertimbangkan aspek fungsionalitas dan kenyamanan dalam setiap desain yang mereka buat, memastikan bahwa produk akhir tidak hanya bagus secara tampilan tetapi juga nyaman untuk dikenakan.

"Proyek sweater rework ini bertujuan menanamkan kesadaran akan sustainable fashion kepada para mahasiswa dengan mengubah sweater bekas menjadi karya baru yang inovatif,” Academic Program Manager Esmod Jakarta, Nathalia Gunarian.

Tak hanya di Indonesia, di berbagai universitas dunia, perhatian tentang isu serupa juga terus disuarakan. Berbagai jurnal dan penelitian soal upaya menekan jumlah limbah tekstil dan fesyen terus dirilis.

Salah satunya yang dirilis para peneliti dari Universitas Boston, AS. Dalam penelitian tersebut, diketahui fakta bawah setiap tahun, warga AS membuang setidaknya 34 miliar pon limbah fesyen. Dikalkulasikan dengan jumlah warga AS, dapat disimpulkan setiap orang menyumbang setidaknya 20 kilogram limbah fesyen setiap tahun.

“Dari total seluruh limbah fesyen, 66% di antaranya berakhir di TPA. Tempat dimana akhirnya benda-benda tersebut hancur, sebagian kecil hancur dalam waktu cepat, sementara sebagian besarnya bisa hingga ratusan tahun,” ujar Peneliti Bidang Kesehatan Masyarakat Boston University, Dielle Lundberg.

(Ant/Z-9)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat