visitaaponce.com

Pedagogi Memaafkan

Pedagogi Memaafkan
(Dok. Pribadi)

SELAMA ini, 'memaafkan' cenderung dijadikan kajian pengetahuan agama. Padahal, kajian pengetahuan nonagama, 'memaafkan' ditemukan dalam filsafat dan psikologi dan baru pada dekade 1980. Ia menjadi kajian ilmiah di dunia Barat, yaitu ketika komunitas terapeutik memublikasikan buku Forgive and Forget: Healing the Hurts We Don’t Deserve, ditulis Lewis Smedes (1984), yang mengorbitkan ide tentang manfaat 'memaafkan' terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan seseorang (Worthington Jr, 2005: 1; Webb, 2021: 59).

Mengapa minta maaf dan memaafkan penting?

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar, yaitu pertama, salah dan lupa adalah bagian dari kehidupan manusia yang bisa menimpa siapa saja. Kedua, dalam diri manusia terdapat tiga hal yaitu akal, hati, dan nafsu. Ketika emosi negatif mengontrol diri seseorang, sikap dan tindakannya akan berjalan ke arah negatif yang pada gilirannya dapat memberi pengaruh dalam interaksi (Zakiyyah, 2017: 29), yaitu aniaya terhadap inidividu atau masyarakat dalam bentuk korupsi, misalnya (Khomenei, 2018).

Ketiga, dalam ajaran Islam terdapat dua jenis kezaliman, yaitu kezaliman terhadap al-Khalik dan kezaliman sesama makhluk. Keduanya dilarang dan seseorang yang zalim akan mendapat hukuman di akhirat. Pelaku zalim akan mendapatkan hukuman dari dua sisi, yaitu pihak yang menjadi korban kezaliman dan al-Khalik. Selain itu, dalam ajaran Islam, pelaku zalim tidak akan mendapat ampunan Allah sampai orang yang dizalimi memberi maaf kepadanya (lihat Zakiyyah, 2017: 29). Keempat, kehidupan dunia sebentar dan kita tidak tahu kapan ajal kita tiba. Kematian tidak dapat dihindarkan ketika saatnya datang.

 

Perspektif Islam

Maaf dan memaafkan ialah sikap/perbuatan baik dan merupakan ciri seorang yang bertakwa (Ali Imraan: 134). Iffah atau afwu (maaf/memaafkan) adalah sikap atau kemampuan seseorang memaafkan siapa saja yang telah berbuat jahat dengan ucapan atau perbuatan, tetapi tidak berarti membiarkan kezaliman merajalela. Al-afwu atau i’ffah ialah hal yang substantif dari kemampuan mengendalikan nafsu atau marah atau lebih maju dari kemampuan mengendalikan nafsu (tafsir Almaraghy, As-Sa’adi) atau hasil dari kemampuan mengendalikan nafsu. Dengan i'ffah, seseorang membuang jauh kesalahan pelaku kejahatan dengan memberi maaf kepadanya.

Bersikap seperti ini berarti seseorang telah menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji dan mengosongkan dirinya dari akhlak tercela seperti dendam. Memaafkan seorang hamba Allah merupakan rahmat dan kebaikan (ihsan); mencegah orang dari kejahatan. I’ffah dapat mengangkat derajat dan membangun kemuliaan seseorang. Allah akan memaafkannya dan memberi imbalan berupa pahala (tafsir As-Sa’adi). Seorang pemaaf tidak dendam, tidak memandang dirinya sebagai orang yang meminta perlakuan istimewa, suka berkarya dengan tidak mengharap perhatian orang lain atau publisitas.

 

Perspektif filsafat dan psikologi

Pembahasan isu 'memaafkan' ditemukan dalam filsafat dan psikologi. Memaafkan merupakan kebajikan moral yang secara esensial merupakan lubuk hati. Seorang yang telah memberi maaf berarti ia telah mengatasi sikap atau perilaku jahat dan mengatasi perilaku jahat dengan tujuan dan motif kredibel menurut moral (Murphy, 2003: 13). Menurut Worthington Jr (2005: 4) 'memaafkan' berarti mengubah pola fikir, motivasi, tindak dan perasaan yang negatif ke (menjadi) pola fikir, motivasi, tindak dan perasaan yang lebih positif dengan menciptakan kedamaian terhadap mereka yang telah menzalimi kita.

Memaafkan ialah suatu proses relasi di mana perilaku jahat diakui oleh dua belah pihak (pelaku zalim dan yang dizalimi). Pihak yang dizalimi menyalurkan kasih sayang yang tak berbanding terhadap pelaku aniaya; satu atau kedua pihak mengalami suatu transformasi dari keadaan psikologis yang negatif ke keadaan psikologis positif dan makna relasi dinegosiasikan yang memungkinkan rekonsialiasi (Waldron; Kelly, 2008: 5; Konstan, 2010: 4; Warmke, Nelkin; McKenna, 2021: 14).

 

Riset tentang memaafkan

Peneliti Barat seperti Worthington Jr (2005:7) meneliti manfaat memaafkan dari empat aspek, yaitu kesehatan fisik, relasi dan kesehatan mental (spiritual), serta kesejahtraan. Waldron & Kelly (2008) meneliti manfaat 'memaafkan' dari konteks relasi dan kesejahteraan seseorang. Dalam konteks relasi, memaafkan dapat; pertama, memperbaiki relasi yakni meningkatkan peluang meraih hasil relasi yang positif. Kedua, merestorasi kedamaian dalam keluarga, jaringan persahabatan dan tim kerja, serta kesejahteraan individu. Ketiga, menjadi ekspresi sayang terhadap orang yang menzalimi, "Saya memaafkan dia karena saya sangat sayang kepadanya." Atau "Demi persahabatan, saya memberi maaf kepada dia (pelaku zalim)."

Memaafkan dilakukan karena pelaku zalim menunjukkan sikap damai. Misalnya, ia minta maaf, bertanggung jawab terhadap tindakannya, menunjukkan sikap menyesali terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya. Secara hakiki, tujuan memaafkan dalam situasi tersebut menjadi keinginan untuk merespons tindakan damai. Sikap damai ditunjukkan dengan mau bekerja sama dalam menumbuhkan pengertian dan meninggalkan perbuatan zalim. Keempat, memaafkan sebagai sarana untuk membangun komitmen terhadap kerangka moral yang disepakati, yakni merestorasi keadilan dalam relasi (Waldron & Kelly, 2008: 131).

Sikap memaafkan akan memengruhi kesehatan fisik seseorang. Sikap tidak memaafkan menjadi tekanan batin dan membuat orang merasa tidak bersahabat dengan pelaku zalim. Orang yang tidak mau memaafkan acapkali mengalami gangguan jantung atau sistem kekebalan. Orang-orang yang tidak mau memaafkan mengalami ketegangan, yakni sering marah-marah dan depresi. Menurut banyak riset, memaafkan memberi efek kesehatan mental dan kesehatan spiritual (Worthington Jr, 2005:8).

Namun, Zakiyyah (2017: 35-36) mengingatkan bahwa memaafkan bisa menjadi potensi yang membahayakan lantaran situasi tertentu yang membuat seseorang berpura-pura memaafkan. Misalnya, seseorang memaafkan lantaran kehidupannya terancam atau penyalahgunaan teknik penyembuhan emosi, yaitu korban harus memaafkan pelaku dengan cara menyuruh korban membuang jauh-jauh memori dan persepsinya tentang tindakan aniaya yang dialaminya. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran yang dalam (tulus) dari pelaku aniaya. Dia betul-betul mengakui bahwa apa yang dilakukan secara moral salah, diikuti dengan sikap dan tindakan menyingkirkan jauh-jauh perilaku zalim; tidak hanya di mulut dan sekadar untuk mendapatkan kompensasi, tetapi melakukan transformasi moral secara intens (tobat sejati) menuju perubahan diri ke depan. (Konstan, 2010; 9, 10) Walallahu ’alam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat