visitaaponce.com

Dinamika Ekonomi Politik Inggris dan Pelajaran untuk Indonesia

Dinamika Ekonomi Politik Inggris dan Pelajaran untuk Indonesia
(Dok. Pribadi)

RUANG publik Indonesia baru-baru ini heboh terkait dengan berita dari Britania Raya (Inggris/UK). Beredar di media bahwa warga Inggris hanya bisa makan makanan sisa atau anak-anak di sana kelaparan dan terpaksa makan karet.

Inggris memiliki perdana menteri (PM) baru, yakni Rishi Sunak, sejak 24 Oktober kemarin. Pemimpin Partai Konservatif berdarah India ini menggantikan Liz Truss yang mengundurkan diri setelah hanya sekitar 44 hari memimpin.

Terlepas dari kehebohan dan dinamika tersebut, Inggris ialah salah satu negara dengan penanganan pandemi covid-19 yang relatif sangat baik. Vaksinasi, misalnya, berjalan cepat dengan basis data yang andal. Inggris pun jadi salah satu negara paling pertama yang menjalankan kehidupan ‘normal baru’.

English Premier League (EPL), contohnya, menjadi salah satu liga sepak bola paling awal yang memperbolehkan kapasitas penonton stadion-stadionnya diisi penuh dan tanpa masker. Penanganan pandemi yang intens ini rupanya menguras habis perhatian pemerintah negara parlementarian ini. Beberapa bidang walhasil kurang mendapat perhatian, khususnya ekonomi dan politik. Dua bidang tersebut sangat bergejolak beberapa bulan terakhir ini.

 

Globalitas dan gejolak ekonomi

Inggris Raya ialah negara ekonomi modern. PDB per kapitanya US$40 ribu atau sekitar 10 kali lipat jika dibandingkan dengan Indonesia (US$4.000). Dengan kekuatan ekonomi tersebut, berbagai subsidi dan kompensasi digelontorkan pemerintah UK waktu itu oleh PM Boris Johnson. Tujuannya, menjaga daya beli masyarakat ketika ekonomi terseok-seok selama pandemi, termasuk ketika banyak pekerja di-PHK baik secara permanen maupun sementara.

Ketika pandemi mulai dapat tertangani dan pemberian vaksin relatif menjangkau berbagai kalangan, pemerintah Inggris lepas perhatiannya pada keseimbangan suplai dan permintaan di pasar-pasar ekonomi. Suplai yang melemah selama pandemi covid-19, ternyata tak bisa segera kembali ke jalur primanya. Sementara itu, permintaan berbagai hal seperti barang, jasa, SDM, dan akomodasi, meningkat tajam. Sudah hukum alam, ketika permintaan jauh melampaui suplai, harga-harga akan naik.

Berbagai subsidi dan kompensasi selama pandemi tentu ialah kebijakan yang baik. Namun, ini berdampak pada tingginya kekuatan belanja masyarakat Inggris sejak masa normal baru dijalankan. Di tengah suplai yang masih seret, spending power yang berlebih mengerek naik harga-harga.

Pasar akomodasi, misalnya, sempat stagnan selama pandemi karena hampir tak ada permintaan. Namun, ketika Inggris sudah mulai melakukan relaksasi, permintaan akomodasi melonjak. Termasuk karena masuknya berbagai mahasiswa dan pekerja asing ke Inggris.

Data menunjukkan secara rerata terdapat kenaikan sekitar 3%-4% harga sewa akomodasi di UK. Namun, di beberapa daerah, khususnya London, kenaikannya mencapai 15%. Beberapa bisnis harus tutup toko fisiknya dan beralih ke toko daring karena harga sewa tokonya meroket.

Dari sisi pangan, Inggris sangat bergantung pasokan impor. Berdasarkan data 2015, impor pangan Inggris mencapai lebih dari setengah (sekitar 52%) konsumsi dalam negerinya. Berasal dari Uni Eropa (29%), Afrika, Asia, Amerika Utara dan Amerika Selatan (masing-masing 4%). Sisanya, disuplai oleh sekitar 160 negara berbeda (DEFRA-UK, 2016). Ini membuat ekonomi Inggris integral sekaligus bergantung pada dinamika ekonomi dunia.

Ketergantungan Inggris terhadap impor pangan ini terhantam situasi di Uni Eropa yang tak stabil. Selain karena pandemi, perang Ukraina-Rusia menambah buruk instabilitas pasar pangan di sana, khususnya karena volatilitas harga energi. Pada akhirnya, semua situasi ini berimbas pada kenaikan harga-harga atau inflasi yang mencapai sekitar 10%, angka yang cukup mengkhawatirkan untuk ekonomi modern Britania Raya.

 

Politik sangat dinamis

Dari politik, setelah berjuang mempertahankan posisinya mati-matian, PM Truss akhirnya menyerah dan mengundurkan diri pada Kamis (20/10). Sebelumnya, PM Johnson ‘terpaksa’ mengundurkan diri setelah menjabat sekitar tiga tahun lebih sebulan. Pasalnya, terlepas dari efektivitas timnya dalam menangani pandemi, Johnson tepergok tak menghormati aturan yang ia tetapkan sendiri. Ia bersama timnya tertangkap berpesta dan berkumpul setidaknya pada tiga kesempatan pada November dan Desember 2020. Padahal, ketika itu masyarakat diminta untuk tetap di rumah dan meniadakan berbagai kegiatan kumpul-kumpul.

September lalu, Truss menekankan perlunya negara UK mengejar pertumbuhan (growth). Bersama menteri keuangannya (Chancellor), Kwasi Kwarteng, ia menekankan perlunya memangkas pajak khususnya bagi mereka yang kaya dan para perusahaan besar. Kebijakan ini secara kolokial sering disebut kebijakan minibujet. Tujuannya, mereka yang diringankan pajaknya mau menginvestasikan dananya atau mengekspansikan bisnisnya. Supaya suplai barang dan jasa terkerek naik sehingga harga-harga bisa ditekan.

Sayangnya, pasar investasi, bisnis, dan finansial belum siap dengan aturan ini. Alhasil, sebelum efektif dijalankan, kebijakan minibujet tersebut dihapus. Truss berbalik arah menetapkan kebijakan penaikan tarif pajak. Dalam kebijakan yang umum disebut sebagai tax u-turn ini, pemerintah Inggris menargetkan tambahan pendapatan sebesar 18 miliar pound sterling (FT, 14/10/2022).

Pajak balik-arah ini mirip kebijakan pendahulunya, Johnson. Di masanya, Inggris menetapkan kebijakan kenaikan pajak atas ‘rezeki nomplok' atau windfall tax untuk industri energi. Kebijakan ini berlaku ketika industri ini secara sesaat dapat untung besar dari perubahan harga di pasar energi. Waktu itu, perusahaan energi (listrik dan BBM) diprediksi akan menghasilkan keuntungan besar akibat kenaikan harga. Kebijakan tersebut, pada tahun fiskal 2022-2023, telah menghasilkan pendapatan sebesar 7,7 miliar pound sterling bagi Inggris Raya (Bloomberg, 23/9/2022).

Perubahan kebijakan yang signifikan, memakan korban politik. Selain Truss yang menjadi korban, Chancellor Kwarteng diberhentikan setelah hanya 38 hari memimpin. Kini, tampuk kekuasaan eksekutif Inggris ada di tangan PM Rishi Sunak. Sebagai catatan, Sunak yang berusia 42 tahun ini akan menjadi yang termuda sejak 1812. Mantan Chancellor di era kepemimpinan Johnson tersebut menjadi PM ke-57 Inggris Raya. Ia ialah PM Inggris keturunan Asia pertama. Sunak menjadi yang tercepat untuk menjabat sebagai perdana menteri, setelah terpilih sebagai anggota parlemen. Hanya membutuhkan waktu tujuh tahun.

Gonta-ganti PM memang hal biasa di negara-negara bersistem demokrasi parlementer seperti Britania Raya atau Inggris ini. Pemimpin partai penguasa secara langsung menjadi kepala eksekutif, yakni perdana menteri. Kondisi politik yang dinamis ini pada akhirnya akan menjadikan Inggris memiliki setidaknya tiga PM dan enam menteri keuangan yang berbeda hanya dalam tiga tahun (2019-2022).

Sunak harus membenahi ekonomi dan politik UK. Ia harus mengembalikan kepercayaan diri pasar-pasar ekonomi. Harapannya, kenaikan harga-harga dapat terkendali dan nilai pound sterling kembali menguat. Sunak juga perlu memperkuat soliditas Partai Konservatif dan memastikan kebijakan yang ia keluarkan benar-benar efektif, jika tak ingin bernasib seperti beberapa pendahulunya.

 

Memahami konteks

Terlepas dari berbagai dinamika ekonomi dan politik di atas, pada akhirnya Britania Raya ialah negara berekonomi maju. Implikasi konteks ini ialah negara ini memiliki lapisan masyarakat yang secara umum terdidik dan berperadaban tinggi. Sistem pendukung penyelenggaraan negara seperti sistem pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial tak banyak terganggu dengan pergantian kepemimpinan, dan bahkan dinamika ekonomi global. Bahkan, dalam konteks UK, terlepas dari berbagai perubahan kebijakan pajaknya, tingkat penerimaan pajak di Inggris sudah pada level cukup tinggi.

Pada 2021–2022, total pendapatan pemerintah Inggris Raya diperkirakan mencapai 819 miliar pound sterling, atau 36% dari PDB-nya. Sumber pendapatan utamanya ialah dari pajak, yang mencapai 732 miliar pound sterling.

Ini berarti, hampir semua pendapatan yang dihasilkan untuk menjalankan fungsi negara berasal dari pajak. Sebagai negara maju, warga Inggris secara rutin membayar pajak lewat berbagai instrumen dan jalur, seperti pajak pendapatan, asuransi nasional, dan pajak nilai tambah. Hasil pajak inilah yang membiayai berbagai layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial di Britania Raya.

MI/Duta

 

Pelajaran dari Inggris

Lalu, apa dan bagaimana kita bisa pelajari dari situasi yang dihadapi Inggris? Pertama, perlu ditekankan bahwa hal-hal heboh yang sempat ramai di media kurang tepat menggambarkan apa yang terjadi di Inggris. Tentu, ada kesulitan di sana-sini hingga pemerintah Inggris menggelontorkan berbagai subsidi, termasuk subsidi listrik dan bantuan sosial, khususnya Universal Credit, semacam bantuan langsung tunai di Indonesia. Artinya, masyarakat Inggris Raya pada dasarnya tetap hidup normal. Sekolah-sekolah tetap buka. Kegiatan bisnis berjalan relatif normal, meski harga-harga naik. Berbagai kegiatan olahraga, seperti EPL, tetap berjalan seperti biasa.

Kedua, setiap pilihan model atau level ekonomi punya kesempatan dan risikonya masing-masing. Inggris dengan ekonomi modern dan globalnya sangat riskan dengan situasi dinamis di luar negaranya. Guncangan pasar pangan dan energi di Uni Eropa begitu berat menghantam ekonomi Inggris, hingga terjadi pergantian kepemimpinan berkali-kali dalam waktu singkat.

Namun, model ini juga memastikan bahwa dinamika-dinamika ini tak berbuah unjuk rasa dan anarki. Masyarakat Inggris, yang bantalan sosialnya mumpuni tentu lebih bijak menyikapi perubahan kebijakan.

Di sisi lain, Indonesia dengan ekonomi informalnya yang masif akan relatif lebih ‘selamat’ ketika situasi global bergejolak. Inflasi di Indonesia relatif terkendali dengan tren pertumbuhan ekonomi yang positif. Daya tahan ekonomi Indonesia ini pun sempat mendapat apresiasi publik global termasuk media kawakan Financial Times.

Akan tetapi, kita tak cukup fleksibel dengan perubahan kebijakan.

Setiap pengumuman kenaikan harga BBM misalnya, selalu disambut unjuk rasa yang tak jarang anarkis. Padahal, telah dijelaskan bahwa kebijakan tersebut diperlukan.

Pada akhirnya, gejolak di Inggris yang bergaung sampai ke Indonesia merupakan sinyal, bahwa kita hidup dalam atmosfer interdependensi global. Secara natural, negara yang mengisolasi diri tak akan banyak membawa manfaat sebab berbagai negara akan saling memengaruhi, baik langsung maupun tidak.

Dengan hadirnya kemajuan teknologi, kisah-kisah apa pun dari satu negara, termasuk berbagai aktivitas atau kebijakannya, akan cepat bergema secara global, dan didengar publik di negara lain. Begitu juga, kisah heboh anak-anak Inggris makan karet, meskipun tak relevan, atau bahkan kurang tepat sama sekali. Kita perlu senantiasa kritis menyikapi dan aktif mengambil pelajaran dari interkoneksi global ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat