visitaaponce.com

Pengelolaan Sampah di Pesantren agar Menjadi Emas

 Pengelolaan Sampah di Pesantren agar Menjadi Emas
Nidaus Sa’adah, Pengasuh PP Alfatich BU Tambakberas Jombang(Dok Pribadi)

Gundukan sampah di berbagai tempat, merupakan kenyataan sehari-hari yang perkembangannya hingga kini sangat meresahkan. Beberapa tempat pembuangan sampah akhir (TPA) yang menjadi wawasan bagi kebanyakan orang sebagai solusi terakhir persoalan sampah, sarat dengan berbagai masalah. Mulai dari munculnya bau tak sedap yang mengganggu pernapasan hingga banyaknya penyakit yang ditimbulkan dari interaksi orang sekitar dengan TPA. Belum lagi bahaya longsor dan kebakaran yang mengintai setiap musimnya. 

Padahal kita tahu, bahwa setiap saat volume sampah itu tidak akan berkurang, bahkan terus bertambah sejalan dengan perkembangan jumlah manusia dan tingkat konsumsinya. Sementara lahan pembuanganpun juga akan mengalami keterbatasan penampungan. 

Lantas apa pula yang bisa kita bayangkan dari TPA terbesar macam TPA seluas 104,7 hektare di Bantar Gebang di Bekasi, jika tinggi gundukannya saja sudah mencapai 30-50 meter? Gundukan ini setara dengan gedung setinggi 16 lantai. Yang jelas, ancaman longsor yang membahayakan jiwa mengintai dari waktu ke waktu. Korbannya, selain masyarakat sekitar, adalah para pemulung yang menggantungkan hidupnya dari mengais sisa sampah yang masih bisa diolah. Hal ini sudah sering terjadi. Terutama jika musim hujan berlangsung. Belum lagi bahaya polusi yang dihasilkan sampah tersebut.

Apakah ada yang bisa kita lakukan sebagai individu yang mempunyai kontribusi dalam menghasilkan sampah untuk ikut serta berperan dalam mengatasi masalah ini?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di dalam situsnya mencatat, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 21,88 juta ton pada 2021. Jumlah itu sebenarnya sudah menurun 33,33% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 32,82 juta ton. Kondisi tersebut berbeda dengan tahun 2020 yang jumlah sampahnya justru meningkat 12,63%. Sementara, jumlah timbulan sampah pada 2019 sebanyak 29,14 juta ton. 

Berdasarkan luas  wilayahnya, Jawa Tengah menjadi provinsi penghasil sampah terbesar di Indonesia pada 2021, yakni 3,65 juta ton. Posisinya disusul oleh Jawa Timur dengan sampah sebanyak 2,64 juta ton. DKI Jakarta berada di posisi ketiga lantaran menyumbang 2,59 juta ton sampah. Sedangkan sampah yang dihasilkan di Jawa Barat sebanyak 2,11 juta ton. (Baca:https://dataindonesia.id/ragam/detail/indonesia-hasilkan-2188-juta-ton-sampah-pada-2021).

KLHK juga menyampaikan bahwa produksi sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari. Rata-rata satu orang penduduk Indonesia menyumbang sampah sebanyak 0,7 kg per hari. Jika dikalkulasi dalam skala tahunan, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 64 juta ton pertahun. Dari angka tersebut menurut data Program Lingkungan PBB (UNEP), 20,93 juta ton dihasilkan dari limbah sampah makanan setiap tahunnya. Angka yang sangat fantastis.

Tingginya angka tersebut mendudukkan Indonesia sebagai negara tertinggi di Asia Tenggara sebagai penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara. Posisinya diikuti oleh Filipina yang menghasilkan 9,33 juta ton sampah makanan setiap tahun dan Vietnam yang menghasilkan sampah makanan sebanyak 7,35 juta ton per tahun. Terendah dalam kategori ini adalah Brunei Darussalam (34.742 ton per tahun) disusul Timor Leste (111.643 ton per tahun). Singapura yang dikenal sangat ketat dalam memberlakukan aturan sampah saja masih di atas Timor Leste dalam menyumbang sampah makanan di Asia Tenggara dengan jumlah sampah makanan sebesar 465.385 ton per tahun. 

KLHK menyebutkan bahwa sumber sampah yang paling dominan berasal dari rumah tangga (48%). Sebanyak 24% sampah berasal dari pasar tradisional dan 9% berasal dari kawasan komersial. Sisanya berasal dari fasilitas publik, sekolah, kantor, jalan dan sebagainya. Jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah sampah organik (sisa makanan dan tumbuhan), kemudian plastik dan kertas.
 
Meskipun produksi sampah tersebut banyak disumbang oleh sektor rumah tangga sebagai unit penghasil sampah terbesar, agaknya pertumbuhan dunia kuliner di Indonesia yang pesat juga mempunyai kontribusi dalam menambah volume sampah di Indonesia. Karena itu sudah selayaknya pemerintah mengimbanginya dengan memberi edukasi yang tepat tentang pengelolaan sampah supaya debit sampahnya relatif terkendali.
 
Dari semua jenis sampah itu, plastik merupakan produk sampah yang paling sulit dan lama terurai. Dia tidak mudah hancur dan menyatu dengan tanah seperti jenis sampah yang lain. Perlu setidaknya 100-500 tahun agar plastik bisa  terurai kembali secara alami, menyatu dengan tanah. Bayangkan, berapa generasi yang akan terlewati sejak kita pertama kali membuang bungkus permen, kemudian dia hancur terurai? Di masa pandemi, volume itu meningkat ditunjang oleh kebiasaan belanja online. 

Sampah plastik dengan demikian menjadi salah satu pekerjaan rumah yang wajib segera diselesaikan Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kedua penghasil limbah plastik terbesar di dunia setelah Tiongkok. Menurut data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, limbah plastik yang dihasilkan Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3,2 juta ton terbuang ke laut. Dengan jumlah sebanyak itu, akan ada masalah serius bagi keberlangsungan lingkungan dan manusia. 

Tumpukan sampah plastik di daratan akan menjadi polutan yang mencemari tanah. Sementara, jika dibakar, sampah plastik menghasilkan racun yang bisa menyebabkan penyakit serius. Kemudian, sampah plastik yang terbuang ke laut juga bisa mengancam keberagaman hayati dan biotanya. (Kompas, 7/7/2022)

Inaplas dan BPS juga menyatakan bahwa 3,2 juta ton sampah yang dibuang ke laut adalah sampah plastik. Kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.


Efek Sampah bagi Lingkungan

Di samping menimbulkan bau tak sedap, tumpukan sampah yang tercampur menimbulkan potensi kerusakan lingkungan dan tumbuhnya banyak penyakit seperti ISPA dan gatal-gatal yang ditimbulkan dari bakteri kotor yang tumbuh subur di lingkungan yang kotor. Belum lagi bahaya bencana alam yang diakibatkannya.

Dunia juga pernah digemparkan dengan kematian paus sperma yang ditemukan dalam keadaan mati dan membusuk di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Ditemukan sekitar 5,9 kg sampah plastik di dalam tubuh paus tersebut. Lokasi kematian paus sperma tersebut berada di kawasan konservasi Taman Nasional Perairan (TNP) Wakatobi yang seharusnya menjadi wilayah aman bagi biota laut. Temuan ini pun menjadi bukti kuat bahwa Indonesia sedang dalam masa darurat sampah plastik.

Keberadaan paus sperma menjadi indikator sejauh mana habitat di sekitar paus sperma itu tercemar atau tidak. Jika kawasan yang dijaga dengan ketat seperti Wakatobi saja bisa tercemar, lalu bagaimana dengan kawasan lain? Apakah masih ada biota yang sanggup hidup di tengah tumpukan plastik di tengah lautan yang kita hasilkan dari sebatang sedotan yang kita buang sembarangan? Sebatang sedotan itu jika dikalikan sejumlah konsumen kali sekian penggunaan, kali sekian waktu lalu bermuara di laut, saya rasa cukup untuk membuat jaringan plastik yang bisa membunuh jutaan biota laut. Sampah ini berasal dari aliran sungai yang mengalir melewati pemukiman penduduk yang membuang sampah ke sungai. 

Ekspedisi Sungai Nusantara yang dilakukan Ecoton sejak bulan Maret 2022 hingga 10 bulan ke depan, pada 68 sungai di seluruh Indonesia, terutama di pulau Jawa menunjukkan 70-80 % terjadi pencemaran berat di sungai akibat mikroplastik yang sangat membahayakan biota air.


Beberapa upaya yang dilakukan dan efektivitasnya.

Jalan menuju perhatian pada masalah sampah sebenarnya sudah lama digaungkan para aktivis dan pemerhati lingkungan. Baik secara individu maupun kelompok. Lembaga- Lembaga yang bergerak di bidang lingkungan seperti Walhi, WWF Indonesia, KEHATI, Greenpeace Indonesia dan beberapa NGO lain yang bergerak di bidang lingkungan terus menyuarakan masalah lingkungan. Belum lagi perseorangan yang memang sudah sejak awal tergerak untuk lebih memperhatikan lingkungan. Gerakan zero waste sebagai upaya men-treatment sampah untuk keberlangsungan lingkungan juga sudah banyak dinarasikan oleh berbagai kalangan.
 
Sejak masa Mentri Lingkungan Hidup dipegang Dr Emil Salim era pemerintahan Soeharto, Indonesia sudah berperan serta dalam persoalan lingkungan hidup dengan kiprahnya hingga Emil mendapat anugerah The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia.
Beberapa penghargaan terkait kepedulian pada lingkungan secara nasional seperti Kalpataru maupun Adiwiyata untuk kategori Lembaga Pendidikan, sejatinya juga mendorong lebih banyak lagi kalangan untuk mulai menyadari pentingnya perhatian terhadap lingkungan harus terus disuarakan. 

Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang misalnya, melalui Perda No 3 tahun 2019 tentang pengelolaan sampah membuat aturan tentang tata kelola sampah yang meliputi pengurangan, penanganan, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan hingga pemrosesan akhir. 

Melalui Perbup Nomor 56 tahun 2022, bupati memerintahkan beberapa unit pelaku usaha/kegiatan untuk melakukan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai seperti kantong plastik, wadah dan sedotan plastik yang nota bene tidak bisa didaur ulang. Ini merupakan upaya menggembirakan yang harus didukung oleh seluruh masyarakat secara terus menerus. Di beberapa toko ritel, saat ini aturan itu diterapkan dalam bentuk pelarangan penggunaan wadah plastik sekali pakai. Dan menggantinya dengan produk yang ramah lingkungan atau kantong yang bisa digunakan ulang. Pemerintah juga akan menerapkan sanksi bagi pelanggar secara administratif berupa teguran lisan, tulisan, dan bentuk paksaan lain.
 
Adapun pemerintah pusat dalam hal ini pihak KLHK sendiri secara spesifik terkesan belum punya regulasi yang mengikat untuk mengatasi tumpukan sampah yang makin meninggi. Dalam statement-nya di Berita Satu beberapa waktu lalu, untuk mengatasi volume sampah, terutama yang terkait dengan pihak pelaku usaha, dinas hanya menekankan pada produsen seperti manufaktur, restoran dll untuk mengupayakan pengurangan sampah dengan tidak menggunakan wadah sekali pakai atau reuse,dan menyediakan ruang alternatif pascapilah termasuk informasi tentang tempat di mana mereka bisa meletakkan sampah atau bahkan menyediakan fasilitas penarikan ulang sampah. Keterlibatan pihak jasa online sangat diperlukan dalam hal ini. 

Melalui kerja sama dengan Go Food misalnya, pihak KLHK menekankan untuk mengurangi pemakaian alat makan dan wadah sekali pakai. Sedangkan dengan pihak jasa ekspedisi, dengan cara mengembalikan dan menampung sampah bekas ekspedisi. Sedangkan untuk kemasan online lain, mereka menyerahkan pada kesadaran masyarakat di tingkat domestik untuk memilah. Tentu saja  upaya ini masih butuh banyak evaluasi kritis terutama dari sisi efisiensi. Perlu banyak desakan supaya regulasi bisa diterapkan dengan ketat dan konsisten.

Upaya pihak stakeholder yang sudah dilakukan harus terus ditingkatkan, sementara kesadaran di tingkat masyarakat harus terus diupayakan dengan berbagai cara. 

Upaya apalagi sekiranyayang bisa dilakukan untuk lebih menyentuh dan menanamkan kesadaran ini secara lebih mendalam? Kesadaran ini akan lebih efisien jika dilakukan secara bersama-sama dalam satu pola gerakan yang terus-menerus tanpa henti. Menjadi nilai moral yang terinternalisasi di dalam diri sebagaimana kita harus melakukan ketaatan atau sebaliknya, takut melakukan kezaliman. 

Apakah pihak-pihak yang punya otoritas keagamaan, di mana nilai moral ditanamkan dan menjadi episentrum, serta punya daya gerak massal seperti lembaga keagamaan perlu dilibatkan lebih massif? Lembaga keagamaan seperti pesantren yang punya daya gerak besar dan relatif punya otoritas nilai, saya kira bisa menginisiasi kepedulian terhadap lingkungan ini melalui internalisasi nilai-nilai agama dan gerakan yang lebih praksis dan solutif. Rasanya itu bukan menjadi hal yang mustahil manakala selama ini forum-forum agama seperti bahtsul masail selalu mengangkat isu-isu terkini yang muncul di tengah masyarakat. Dan fatwanya cenderung diikuti.

Pesantren dan perspektif lingkungan

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang masih eksis di Indonesia hingga saat ini. Pesantren juga merupakan lembaga yang memproduksi fatwa menyangkut kepentingan masyarakat dan kemaslahatannya dengan berpedoman pada maqasid assyari’ah (yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) berdasarkan nilai dan pengetahuan yang diyakini. 
 
Bergerak di bidang pengajaran agama dan moral, pesantren menekankan ketaatan kepada Sang Pencipta, yakni Allah SWT dan keselarasan dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam sebagai ciptaan Allah. Keselarasan dalam wujud keseimbangan” (mawzûn) satu sama lain tertuang dalam (QS. al-Hijr/15:19). “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran”. Hal ini dikuatkan dengan QS Ad Dukhan 38.  “Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya”.

Islam menekankan kepada manusia sebagai hamba agar jangan berbuat zalim kepada sesama manusia juga  kepada semua ciptaan Allah yang lain termasuk hewan dan tumbuhan. 

“Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan”. (QS. Al-Baqarah Ayat 205)
Nabi bahkan melarang pembunuhan hewan dan penebangan pohon di musim tertentu (haji) untuk melatih umatnya tidak gegabah di dalam menjaga keseimbangan itu. Beliau juga menganjurkan umatnya untuk terus menanam pohon sebagaimana Anas bin Malik meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari kiamat telah menjelang sementara di tangan kalian masih terdapat bibit tanaman, maka tanamlah bibit itu.” (Musnad Ahmad 12491). 

Bukan hanya menjaga (konservasi) lingkungan, Nabi juga memerintahkan untuk menumbuhkan tanaman sebagai bentuk sedekah kita pada alam dan lingkungan.

Dengan banyaknya teks suci tentang keharusan menjaga alam dan lingkungan, pesantren punya peluang yang sangat besar menjadi garda depan yang menginisiasi pembumian teks suci menyangkut penjagaan alam itu itu menjadi gerakan massal yang lebih implementatif dan konkret. 
Apalagi mengingat persoalan yang dihadapi pesantren juga sangat lekat dengan masalah lingkungan seperti sampah. Dengan makin bertambahnya animo masyarakat untuk mengirim putra-putrinya ke pesantren, tentu akan berdampak pada meningkatnya hunian di banyak pesantren. 

Otomatis produksi limbah sampah juga akan bertambah dan butuh penyelesaian yang urgen. Apalagi jika diingat bahwa rerata setiap kepala memproduksi 500 gram sampah setiap hari, maka berapa banyak sampah yang muncul di satu pesantren setiap harinya. Kali berapa hari kali berapa kepala? Jika ada 5.000 santri saja, maka kemungkinan sampah yang dihasilkan oleh pesantren tersebut, berjumlah 1000 ton lebih  dalam sehari. Angka yang fantastis. 

Meskipun angka ini tidak merujuk pada satu kebenaran mutlak, tapi fakta sampah di beberapa pesantren menjadi persoalan yang memusingkan bila tidak cepat diatasi. Ini bukan lagi menjadi persoalan domestik yang bersumber dari dapur dan diselesaikan secara domestik pula, tetapi pelibatan seluruh komponen menjadi sangat penting demi kemaslahatan bersama. Sebegitu pentingnya, sehingga pada Kongres kedua KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), topik tentang lingkungan menjadi isu yang diangkat untuk diperbincangkan dan tentu saja diharapkan menemukan ide yang solutif bagi banyak kalangan. KUPI juga meyakini bahwa agama harus berperan serius untuk melindungi kelestarian alam sekitar.

KUPI dan Isu Lingkungan

Menarik sekali bahwa pada kongres ke 2 KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) yang rencananya akan diadakan di Semarang dan Jepara pada 23-26 November 2022 (28 Rabi’ul Akhir-2 Jumada al-Ula 1444 Hijriyah), KUPI mengangkat isu tentang lingkungan sebagai salah satu topiknya. Yaitu, pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan.

Saat ini, KUPI, yang awalnya merupakan kegiatan sebuah kongres yang diadakan di Cirebon tahun 2017, telah berubah menjadi gerakan yang berusaha menghimpun semua individu dan lembaga yang meyakini nilai-nilai keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan, dengan paradigma dasar keadilan relasi laki-laki dan perempuan. 

Dalam beberapa gerakannya, KUPI telah berhasil menjadi rujukan keagamaan bagi banyak ulama perempuan dimanapun ia berada. Termasuk sahabat ulama perempuan, sebagaimana disampaikan Nyai Masruchah, Ketua Panitia Kongres saat Talks KUPI, Rabu, 2 November 2022.

Tawaran Praktis Penyelesaian Sampah Domestik

Beberapa pesantren telah mulai upaya untuk menyelesaikan sampah domestik melalui kerja bersama antara pengampu pesantren dan para stake holder terutama para santri. Semua pihak dilibatkan bersama-sama secara istiqomah dan terus menerus. Jika kesadaran tekstual sudah menjadi bagian dari aktivitas kognitif, maka tugas selanjutnya adalah memberikan mereka pengetahuan praktis, bagaimana mengimplementasikan pengetahuan tekstual itu menjadi pengalaman kontekstual seperti, mau dikemanakan sampah yang sudah terkumpul? Treatment seperti apa yang tepat digunakan? Adakah nilai lebih yang didapatkan dari cara mengelola sampah yang tersistematis? 

Untuk bisa sampai pada kesadaran bersama ini, semua harus punya pemahaman yang sama tentang hulu hilir sampah. Terutama, nalar kritis tentang mengapa kita harus peduli dengan hal ini?

Di atas telah banyak disinggung mengenai hulu hilir sampah. Terpenting setelah kesadaran bersama itu muncul adalah, apa yang bisa dilakukan oleh pemangku kebijakan baik di pesantren maupun komunitas lain. Bagaimanapun juga mereka harus menyediakan fasilitas penunjang yang mendukung terwujudnya penanganan sampah yang sistematis.

Pemilahan dan hulu hilir sampah dapur

Pemilahan menjadi syarat mutlak penanganan hulu sampah berdasarkan bahan sampah, apakah sampah tersebut berasal dari bahan organik yang berupa tumbuhan atau hewan yang lebih cepat terurai, atau anorganik yang membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa terurai. Pemilahan yang terdiri atas sampah organik dan anorganik masih bisa dipecah lagi menjadi beberapa kategori. Sampah organik bisa dipilah menjadi sampah yang belum dimasak seperti sisa potongan sayur dan buah dan sisa sampah yang sudah dimasak.  Keduanya bisa dijadikan kompos, POC (pupuk organik cair) maupun eco enzyme. Tergantung apa yang kita ingin wujudkan dari keduanya. 

Sampah anorganik bisa di-treatment dengan merujuk pada konsep 3R, yaitu Reduce (mengurangi sampah), Reuse (memakai ulang), dan Recycle (daur ulang). Sampah anorganik contohnya kertas, styerofoam, kaca, kaleng, peralatan logam, keramik, kemasan plastik (botol, sedotan). Semua bahan itu tidak mudah larut di tanah dan cenderung menimbulkan bau apabila dibuang begitu saja. 

Dengan konsep pemilahan, masing-masing bahan itu bisa kita manfaatkan dengan konsep reuse, recycle maupun reduce dengan memanfaatkan botol/wadah bekas menjadi bermacam kerajinan seperti wadah tanaman, hiasan, maupun ekobrik. Jika tidak bisa menanganinya sendiri, kita bisa bekerja sama dengan pengepul sampah dan mendapatkan nilai ekonomis dengan menjualnya. Jika upaya ini kurang maksimal, tidak ada acara lain kecuali dengan mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan wadah yang menimbulkan potensi sampah dengan selalu membawa wadah sendiri setiap keluar rumah. 

Sekarang ini mulai banyak bertumbuhan bank-bank sampah yang dikelola secara mandiri di tingkat RT/RW ataupun bank sampah yang dikelola pemerintah melalui Dinas KLH. Dengan menyetorkan sampah ke bank sampah, kitab bisa mendapat kompensasi ekonomis dengan nilai tertentu. Setidaknya kiya yakin, bahwa tidak percuma kita menjadi pemilah sampah. Ada emas dibalik sampah yang nampak tidak berguna. 

Dari Sampah Organik Menjadi Eco Enzyme Yang Kaya Manfaat

Adapun untuk treatmen sampah organik bisa dilakukan secara mandiri dengan menyediakan fasilitas pembuangan yang mudah diakses siapapun seperti komposter bag, biopori atau wadah penampungan lain seperti wadah fermentasi untuk pembuatan eco enzyme. 

Sejauh yang penulis geluti selama ini, eco enzyme  adalah solusi terbaik untuk treatment sampah organic yang berasal dari limbah kulit buah dan sayuran. Enzim ini mengandung banyak manfaat yang menunjang kita melalui kehidupan yang lebih sehat dengan meminimalkan residu kimia dan polutan yang terdapat di banyak sumber makanan dan bahan kebersihan yang kita gunakan sehari-hari.
 
Eco enzyme sendiri adalah formula yang terdiri dari campuran bahan organik yang berupa limbah buah dan sayuran dengan gula GMT (gula merah tebu) dan air bersih dengan rumus 3:1:10 dan difermentasi selama 3 bulan. Formula ini ditemukan oleh Prof. Dr. Rosukon Poompanvong pendiri Asosiasi Pertanian Organik dari Thailand dan dikembangkankan melalui Eco Enzyme Indonesia oleh Vera Tan Kahun. Keduanya adalah perempuan aktivis sosial yang mendarmabaktikan hidupnya untuk memberi pelayanan kesehatan bagi kalangan masyarakat yang kurang beruntung melalui pengobatan herbal secara gratis. Eco enzyme, selain bisa mengatasi persoalan sampah juga bisa memperbaiki udara sekitar karena bisa mengeluarkan ion negatif yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan memperbaiki ozon yang rusak. Beberapa eksperimen yang dilakukan para pegiat eco enzyme menunjukkan lebih banyak lagi kemanfaatan yang bisa diambil sejak kita memulai membuat fermentasi hingga masa panen bahkan setelah panen.

Jika kita melakukan tindakan yang tidak peduli dengan mencampur limbah organik dan anorganik, maka kita akan menyumbang kerusakan bumi dengan menciptakan gas metan yang tumbuh dari percampuran tersebut dan berujung pada rusaknya lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan.
Maka, bayangkan, hanya dengan memilah saja, kita banyak mendapat manfaat. Baik dari sisi agama karena sudah menjalankan perintah Allah swt, manfaat kesehatan karena terhindar dari polutan serta ikut memperbaiki alam bahkan kita juga bisa mendapat manfaat ekonomis. Terpenting adalah rasa bahagia bisa menikmati lebih banyak lagi lingkungan yang bersih dan sehat. 

Sebagaimana keberhasilan KUPI mengangkat beberapa isu yang dikukuhkan menjadi undang-undang yang diloloskan di parlemen, kita juga berharap KUPI juga bisa menginisiasi dan memperjuangkan hingga maksimal isu-isu tentang ibu bumi. Selamat berkongres KUPI!


 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat