visitaaponce.com

Luhut Pandjaitan, OTT KPK, dan Apa Kata Dunia

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK lagi-lagi menjadi sorotan. Namun kali ini, yang dipersoalkan bukan pada seberapa banyak lembaga antirasywah ini berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi kakap yang masih banyak terjadi di negeri ini.

Adalah Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di acara peluncuran aksi pencegahan korupsi 2023-2024  pada Selasa (20/12) mengatakan, operasi tangkap tangan (OTT) berdampak buruk pada citra negara.

"Kita enggak usah bicara tinggi-tinggilah, OTT-OTT itu kan enggak bagus sebenarnya buat negeri ini, jelek banget,” ucap Luhut. Luhut pun meminta KPK tak gampangan melakukan OTT .

Baca juga: Penindakan dan Pencegahan Harus Satu Tarikan Nafas

Baca juga: Menyoal OTT

Menurut Luhut, jika digitalisasi sistem pemerintahan sudah berhasil, tidak akan ada yang berani korupsi. "Jadi KPK pun jangan pula sedikit-sedikit tangkap, tangkap. Ya lihat-lihatlah, tetapi kalau digitalisasi ini sudah jalan, enggak akan bisa main-main.”

Baca juga: Jangan Cemooh OTT KPK

Pernyataan pejabat negara sekelas Luhut itu, patut dipertanyakan karena sarat kontroversi dan bisa multitafsir. Apakah setelah suksesnya revisi uu KPK, pemerintah jadi permisif terhadap tindak korupsi?

Baca juga: ICW Minta Presiden Joko Widodo Tegur Luhut Binsar Panjaitan

Apakah indeks korupsi di Indonesia sudah turun? Apa benar tranparansi dan ketegasan dalam Pemberantasan korupsi mengakibatkan citra negara jelek? Dan masih banyak pertanyaan yang bisa disematkan saat menilai pernyataan Ompung Luhut tersebut.    

Yang jelas, kondisi KPK saat ini semakin lemah. Jadi jangan sampai pernyataan bahwa OTT berdampak buruk pada citra negara semakin memperlemah kinerja KPK. KPK saat ini sebenarnya dalam kondisi hidup segan mati pun tak mau.

Hal itu terjadi, setelah perihal penyadapan dalam Undang-Undang 19 tahun 2019 tentang KPK semakin dibuat panjang prosesnya. OTT merupakan senjata andalan KPK untuk melibatkan mata publik dalam upaya Pemberantasan korupsi yang masih merajalela saat ini terutama di pemerintahan.

Publik pun pada umumnya senang dengan masih adanya OTT oleh KPK. Setiap kali KPK menangkap basah pejabat yang korup, masyarakat bersuka cita. Semacam ada keyakinan masih ada sedikit harapan kepada KPK dalam  Pemberantasan korupsi di negeri ini.

Harapan masyarakat itu seharus terus ditumbuhkan untuk mengimbangi kemerosotan kepercayaan publik terhadap KPK dalam 3 tahun terakhir ini.

Kajian evaluasi yang disampaikan oleh Transparency International Indonesia, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, dan Indonesia Corruption Watch, dan pada akhir 2021 disimpulkan, kinerja sektor penindakan KPK semakin  mengkhawatirkan.

Catatan ini setidaknya dapat dilihat dari sejumlah hal, misal, mandeknya supervisi terhadap perkara besar seperti korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S Tjandra serta jaksa Pinangki S Malasari.

Tiga lembaga masyarakat antikorupsi itu juga mencatat, jumlah OTT yang anjlok sejak dua tahun terakhir dan  minimnya penanganan perkara strategis yang melibatkan penegak hukum.

KPK di bawah komando Firli Bahuri juga mengalami penurunan kualitas penanganan perkara yang ditunjukkan dengan rendahnya penuntutan, karut marut penanganan perkara penting, seperti korupsi bansos yang melibatkan Menteri Sosial (saat itu) Juliari P Batubara, keengganan meringkus buronan seperti Harun Masiku, hingga tidak adanya tindaklanjut terhadap perkara yang menjadi tanggungan KPK.

Baca juga: Singapura bukan Surga Koruptor Lagi

Sifat manusia serakah

Di sinilah terlihat betapa sama-sama penting upaya pencegahan dan penindakan korupsi. Janji Luhut bahwa sistem digitalisasi akan ampuh menutup celah korupsi ada benarnya, namun tak sepenuhnya 100 persen benar.

Sebab penyebab utama korupsi itu lebih kapada adanya sifat serakah yang itu dimiliki sebagian orang yang tengah memegang kekuasaan. Jadi sebagus apapun sistim digitalisasi pemerintahan yang dibangun, tetap saja perlu penindakan.

Lalu, kenapa harus ada OTT? Sebab OTT bisa memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa organ-organ KPK tetap bekerja. Tentu saja saat melakukan OTT, KPK harus memiliki bukti permulaan yang cukup.

OTT juga akan memperkuat dukungan publik kepada KPK, untuk mengusut tuntas,kasus-kasus yang tergolong kakap, atau senilai di atas Rp1 miliar,

Dan tidak jarang kasus-kasus kakap tersebut, melibatkan politisi sehingga OTT akan punya makna kuat dibanding dilakukan dengan operasi senyap yang sangat mungkin berujung damai.

Satu lagi yang mungkin dilupakan Luhut, tindak korupsi di Indonesia meski semua sepakat menyebutnya sebagai kejahatan luar biasa, pada kenyataannya masih menjadi upaya favorit oleh sebagian pejabat yang tak tahu malu.

Lihat saja, tidak sedikit pejabat pemerintah di daerah dan di pusat yang senyum-senyum saja di depan publik meski sudah mengenakan rompi oranye.

Baca juga: Korupsi Serasa Kejahatan Biasa, Koruptornya Luar Biasa

Mungkin mereka berhitung, lebih baik menjalani hukuman badan kurang dari empat tahun, nanti dikurangi remisi, di hotel prodeo yang nyaman, namun bisa tetap menikmati hasil korupsi miliaran rupiah. Sobat media, itulah yang terjadi.

Jadi, sangat disayangkan jika OTT KPK saja dipermasalahkan. Jika serius ingin menangani korupsi, seharusnya KPK didorong untuk menyelesaikan kasus-kasus yang masih mengendap dan berbuat strategis misal mengkritik tuntutan jaksa KPK, dan putusan hakim yang selalu ringan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan negara.

Sangat penting menyadari, penanganan korupsi di negeri ini yang masih akut haruslah berjalan bareng antara upaya pencegahan dan penindakan. Keduanya saling melengkapi. Tidak ada urusannya OTT dan citra buruk terhadap negara.

Jika OTT saja dipersoalkan dan KPK semakin dibatasi geraknya dalam memberantas korupsi, mungkin akan lebih baik mengatakan bubarkan saja KPK. Selamat tinggal upaya ekstra dalam pemberantasan korupsi di era ini. Wassalam

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat