Korupsi Serasa Kejahatan Biasa, Koruptornya Luar Biasa
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa nampaknya hanya sekedar jargon ompong di negeri ini. Bukannya para pelakunya diberikan hukuman setimpal agar jera, yang terjadi justru para perampok uang negara diperlakukan dengan nyaman dan enak.
Memang enak kayaknya jadi koruptor. Sudah hukumannya rendah, ketika menjalani hukuman dapat banyak potongan. Gara-gara obral diskon, bahkan ada koruptor yang hanya menjalani masa kurungan separuh dari vonis yang dijatuhkan pengadilan.
Baca juga: 23 Napi Korupsi Bebas Bersyarat, KPK: Mencederai Penegakan Hukum
Pembebasan bersyarat terhadap 23 narapidana korupsi menjadi cerminan gamblang betapa memang koruptor itu menguntungkan. Mereka menghirup udara segar sejak Selasa, 6 September setelah mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) maupun cuti menjelang bebas.
Korupsi kini seolah tidak lagi menjadi extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebab, hanya dengan menjalani pidana badan atau kurungan singkat, pelaku korupsi bisa bebas. Hartanya juga tidak dimiskinkan, jadi keluar penjara masih bisa hidup mewah.
Salah satunya hukuman yang dijalani mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang hanya mendekam sekitar 2 tahun penjara. Padahal, ia divonis 10 tahun di pengadilan tingkat pertama. Hukuman itu kemudian dipotong menjadi 4 tahun pada pengadilan tingkat kedua.
Setelah dieksekusi, Pinangki hanya menjalani satu tahun di lembaga pemasyarakatan. Ditambah masa tahanan saat proses hukum berjalan, ia hanya menjalani kurungan sekitar 2 tahun. Kini pun Pinangki telah bebas bersyarat bersama para koruptor lainnya.
Selain Pinangki, ada sejumlah koruptor tenar yang mendapatkan keberuntungan untuk keluar dari bui. Ada eks Gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli, eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, ada pula mantan Menteri Agama Suryadharma Ali serta mantan Menteri ESDM Jero Wacik yang mendapatkan program cuti menjelang bebas.
Reduksi komitmen
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah menilai pemberian bebas bersyarat bagi para koruptor telah mereduksi komitmen yang dimandatkan reformasi.
Wajar jika publik merasa pemberian diskon hukuman maupun pembebasan bersayarat bagi narapidana tipikor adalah hal yang tidak adil. "Ini semacam kemerosotan moral pemberantasan korupsi. Dan celakanya, itu dipertontonkan oleh pemerintah, pihak yang seharusnya berada di barisaan paling depan," tutur Herdiansyah.
Baca juga: Nihil Penjeraan Koruptor
Obral remisi dan pembebasan bersyarat hanya sebagian dari berderet kebaikan negara buat koruptor. Masih banyak kebaikan yang lain, mulai ringannya tuntutan dan vonis hingga perlakuan istimewa di penjara. Sudah menjadi rahasia umum, jika koruptor berduit, sel penjaranya ibarat hotel berbintang, dilengkapi penyejuk udara dan lemari es.
Sedangkan vonis rendah koruptor bisa tergambar dari data yang dianalisa oleh Indonesia Corruption Watch. Sepanjang tahun lalu, rata-rata vonis cuma 3 tahun 5 bulan penjara. Padahal kerugian negara yang ditimbulkan jumlahnya miliaran bahkan triliunan rupiah.
Walhasil, mereka masih bisa menikmati uang hasil korupsi seusai menjalani hukuman karena belum berjalannya program pemiskinan koruptor. Koruptor itu enaknya berlipat-lipat.
Sesuai ketentuan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun dengan enak melemparkan tanggung jawab obral remisi itu kepada aturan perundang-undangan. Yasonna Laoly menyatakan pembebasan bersyarat yang dijalani 23 napi korupsi sudah sesuai ketentuan.
Kader PDI Perjuangan ini menegaskan kalau pemerintah tidak mungkin melawan apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 29 Oktober 2021. Di mana, MA mengabulkan uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 99 yang berisi tentang pengetatan pemberian remisi bagi koruptor.
Baca juga: Menkumham Bantah Obral Remisi Koruptor
Rezim 'obral remisi' demikian seharusnya tidaklah mengejutkan dan merupakan konsekuensi dari dibatalkannya Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
Semula Pasal 43 A di PP 99 menyebutkan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi mesti menjadi justice collaborator alias bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu perkara.
Mulai loyo
Pemerintah pun menyesuaikan keputusan yudikatif ini dalam penyusunan UU Permasyarakatan. UU ini telah diteken oleh Presiden Joko Widodo dan resmi berlaku pada 3 Agustus 2022. UU ini tidak mengatur pengetatan remisi bagi koruptor. Selamat tinggal pengetatan remisi.
Hilangnya pengetatan remisi koruptor dalam UU jelas menjadi gambaran utuh bagaimana korupsi memang sudah tidak dipandang lagi sebagai kejahatan luar biasa. Semua perlakuan terhadap para koruptor dianggap sama seperti narapidana lainnya, bahkan banyak yang lebih disitimewakan, dimanjakan.
Negara ini kelihatan mulai loyo dalam memerangi korupsi. Jika tidak ada penanganan luar biasa terhadap korupsi, membiarkan bangsa ini berkubang dalam korupsi, hanya tinggal menunggu saja keruntuhannya.
Baca juga: Wamenkumham: Pembebasan Bersyarat Napi Korupsi Sudah Sesuai Aturan
Kita mestinya tidak boleh lelah berperang melawan korupsi, jangan biarkan korupsi menggerogoti bangsa ini. Apalagi data ICW menunjukkan korupsi kian menjadi. Tidak cuma dari banyaknya kasus, jumlah kerugian negara akibat korupsi justru semakin meninggi.
Selama 2021, total kerugian rakyat akibat perilaku laknat itu mencapai Rp62,9 triliun dengan melibatkan 1.404 terdakwa. Jumlah itu naik ketimbang 2020 sebesar Rp56,7 triliun. Jumlah itu baru yang ketahuan dari kasus korupsi yang sudah masuk ke proses persidangan.
Ekspansi korupsi pun makin beragam. Korupsi tidak lagi hanya terjadi di episentrum langganan seperti di DPR, aparat penegak hukum, kementerian dan pemerintah daerah, tetapi juga ranah pendidikan, suap untuk masuk perguruan tinggi di unila. Korupsi seperti makin mendarah daging di republik ini. Semoga.
Terkini Lainnya
Baca juga: 23 Napi Korupsi Bebas Bersyarat, KPK: Mencederai Penegakan Hukum
Reduksi komitmen
Baca juga: Nihil Penjeraan Koruptor
Sesuai ketentuan
Baca juga: Menkumham Bantah Obral Remisi Koruptor
Mulai loyo
Baca juga: Wamenkumham: Pembebasan Bersyarat Napi Korupsi Sudah Sesuai Aturan
Jakarta Menuju Era Baru
Komitmen dan Konsekuensi (Prinsip/Kebijakan) Satu Tiongkok bagi Indonesia
Ciamis Raih Opini WTP dari BPK untuk ke-11 Kalinya
Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat
Pemkab Bandung Raih Opini WTP 8 Kali Berturut-turut
Dokter Depresi?
Rita Widyasari Diduga Terima Fee Dalam Bentuk Dolar Buat untuk Tiap Pengiriman Batu Bara
KPK Ungkap Modus Gratifikasi dan Pencucian Uang Rita Widyasari
KPK Dalami Peran Anggota BNPB di Kasus Korupsi APD Kemenkes
Uang Rp1 Triliun PT Taspen Diputar ke 3 Jenis Investasi Fiktif
KPK Isyaratkan segera Tahan Tersangka Kasus Korupsi APD Kemenkes
Pengusutan Perkara Lain Firli Bahuri Dianggap Upaya Penundaan Kasus yang Berjalan
Kiprah Politik Perempuan dalam Pusaran Badai
Manajemen Sekolah Penghalau Ekstremisme Kekerasan
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap