visitaaponce.com

Jalan Kaki

Jalan Kaki
Adiyanto Wartawan Media indonesia(MI/Ebet)

SEUSAI mengantar anak ke sekolah, saya kini punya kebiasaan baru, yakni berjalan kaki di lingkungan Kampus Universitas Indonesia. Tidak rutin memang, tetapi sebisa mungkin saya menyempatkan diri melakukannya. Selain suasana lingkungan yang asri, di tempat ini setidaknya saya terhindar dari kemungkinan diseruduk motor atau mengisap gas buang kendaraan, seperti halnya kalau kita berjalan kaki di trotoar di kota besar. Itu olahraga murah dan mudah. Tidak perlu punya alat atau sepatu khusus untuk melakukannya. Bersandal jepit pun jadi.

Jalan kaki ialah aktivitas sederhana, tetapi amat besar manfaatnya. Begitu setidaknya menurut sejumlah artikel penelitian tentang faedah aktivitas itu yang saya baca. Melakukannya juga bisa di mana saja. Di pekarangan rumah, seputaran kompleks, atau bahkan di lingkungan kantor. Yang penting enggak mager (malas gerak). Ingat evolusi menuntun manusia untuk bergerak dan berjalan tegak, bukan cuma duduk-duduk atau leyeh-leyeh seharian memelototi gawai. Manusia purba pun bukan cuma hidup tidur-tiduran di dalam gua. Dengan berjalan kaki, peredaran darah menjadi lancar, kalori terbakar, dan tungkai pun tidak mudah lunglai.

Berjalan kaki juga merupakan rekreasi yang penting untuk jiwa. Anda bisa melihat dan menghirup aroma bunga, tersenyum dan bertegur sapa dengan sesama, bukan sekadar melulu berinteraksi di dunia maya. Dalam A Philosophy of Walking, pemikir Prancis Frederic Gros memaparkan bagaimana para filsuf besar mendapatkan inspirasinya dari kebiasaan mereka blusukan dengan berjalan kaki. Dari Immanuel Kant hingga Friedrich Nietzsche. Tentu saja Anda jangan melamun sambil berjalan karena bisa-bisa berakhir di gorong-gorong. Dengan berjalan kaki, setidaknya banyak yang bisa kita lihat, dengar, dan rasakan, yang siapa tahu dapat menjadi inspirasi.

Di zaman yang penuh paradoks, dengan ditopang kecepatan koneksi internet sekian megabyte per detik, di satu sisi manusia memang dituntut serbagegas, sedangkan di sisi lain kita menjadi makhluk pemalas. Hidup mengandalkan jentik jari, mulai memesan makanan hingga berbelanja kebutuhan sehari-hari. Hal itu pada gilirannya mengubah kepribadian, tabiat, dan bentuk fisik manusia. Darurat obesitas yang terjadi di negeri ini, jangan-jangan salah satunya kontribusi dari dampak teknologi itu sehingga membuat manusia malas bergerak.

Pada acara temu wartawan Jumat (3/3), Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), mengungkapkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) sekitar 40% orang di Jakarta, usia 15 tahun ke atas, mengalami obesitas sentral alias perut buncit. Kondisi ini, kata dia, lebih berbahaya dari obesitas biasa karena berkaitan erat dengan potensi hipertensi, diabetes, dan sebagainya. Obesitas, kata sang dokter, kini sudah jadi endemi di dunia, bukan cuma di Indonesia. Federasi Obesitas Dunia atau WOF (World Obesity Federation) bahkan memprediksi lebih dari separuh penduduk di dunia akan mengalami obesitas pada 2035. Nah, apa enggak ngeri?

Mulai sekarang, mungkin tidak ada salahnya kita jadikan jalan kaki sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari. Jangan terus-terusan hidup dalam buaian teknologi, yang pada akhirnya cuma bikin malas gerak dan memicu timbunan lemak. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat