visitaaponce.com

Kurir

Kurir
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

BEBERAPA  hari lalu, menjelang waktu berbuka puasa, datang seorang kurir mengantar buku yang saya pesan di toko online. Ia masih muda. Usianya mungkin sekitar 20 tahun. Setelah membayar ongkos dan memberinya sedikit tip, saya mengucapkan terima kasih. Tadinya saya ingin bercakap-cakap sebentar untuk menanyakan sesuatu sembari menunggu waktu berbuka puasa, tetapi urung saya lakukan karena melihat masih banyak paket menumpuk di motornya yang harus dia antarkan. Saya tidak mau mengganggu pekerjaannya.

Mulai pekan ini, si pemuda tadi dan rekan-rekan seprofesinya, mungkin bakal semakin bertambah sibuk sebab roda perekonomian biasanya berputar kencang menjelang Idul Fitri. Apalagi tunjangan hari raya (THR) bagi sebagian karyawan sudah mulai cair. Meski mungkin tidak setinggi ketika pandemi, tren berbelanja online sepertinya masih digemari masyarakat, terutama di kota-kota besar. Dari membeli kain sarung, rendang, obat nyamuk, dispenser, hingga bedak dan daster. Semua transaksi itu membuat rezeki para kurir, baik yang bekerja di bawah naungan marketplace, perusahaan logistik, maupun yang merangkap sebagai ojek online, ikut sedikit terkerek.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional pada Agustus 2022, jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 143,72 juta orang, naik 3,57 juta orang jika dibandingkan dengan Agustus tahun sebelumnya. Kurir, yang mungkin juga pernah mampir ke rumah Anda, tentunya menjadi bagian dari statistik itu. Berdasarkan data analisis dari Survei Ekonomi 2016 mengenai usaha jasa aktivitas pos dan kurir modern yang dilakukan BPS, persebaran usaha semacam itu mayoritas berada di Pulau Jawa, yaitu mencapai sekitar 66,27% dengan serapan tenaga kerja mencapai 70,02%. Sementara itu, di luar Jawa hanya sekitar 33,73% dengan serapan tenaga kerja kurang dari 30%. Mereka memang mayoritas berpendidikan SMA ke bawah.

Seiring perkembangan teknologi yang kian pesat, berbagai profesi baru yang tidak lagi terlalu tergantung pada latar pendidikan kini bermunculan bak cendawan pada musim hujan, seperti pengemudi ojek onlinecontent creator, selebgram, maupun influencer. Namun, kurir, meski jumlahnya juga semakin menjamur di era digital, sebenarnya bukanlah pemain baru. Profesi itu bahkan boleh dibilang setua peradaban manusia. Sesuai catatan sejarah yang terdokumentasi, layanan kurir terorganisasi pertama kali dilakukan di Mesir pada 2400 SM. Pada masa itu para kurir tersebut membawa batu berukir berisi pesan untuk disampaikan dari satu titik ke titik lainnya. Dari sinilah kemudian berkembang jasa logistik dan ekspedisi modern seperti sekarang, termasuk para pemain global raksasa, seperti DHL, FedEx, dan TNT.

Peran usaha logistik dan ekspedisi yang demikian penting dalam mengerakkan roda perekonomian membuat profesi kurir hingga kini tetap bertahan. Kendati cuma sekrup kecil dari mesin kapitalisme global, profesi tersebut tetap dianggap krusial sebagai ujung tombak. Berdasarkan data BPS, dalam perekonomian Indonesia, lapangan usaha transportasi dan pergudangan mempunyai peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian karena termasuk dalam enam lapangan usaha yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB). Dari enam sektor itu, di dalamnya termasuk sublapangan usaha pergudangan dan jasa penunjang angkutan; pos dan kurir.

Namun, sayangnya, pendapatan para kurir amat bertolak belakang jika dibandingkan dengan seorang influencer atau content creator yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, misalnya. Padahal, tidak semua karya mereka bermutu. Bahkan, kadang ada yang cuma modal senyam-senyum palsu atau bikin konten-konten seputar hantu dan lawakan yang jauh dari kesan lucu. Hmm... barangkali inilah yang disebut 'keadilan' dalam dunia kapitalisme digital yang penuh kibul. Yang satu modal cengengesan, sementara yang lainnya ngos-ngosan kerja seharian hingga larut malam dengan upah yang sangat pas-pasan.

Oleh karena itu, jika ada yang datang dan berteriak ‘paket’ di rumah Anda, saya sarankan jangan pelit memberi sedikit ongkos tambahan. Itu bukan sogokan, melainkan justru bagian dari kebajikan. Mumpung mereka juga masih manusia seperti kita yang mungkin juga punya tanggungan keluarga, belum digantikan oleh mesin atau robot yang tidak bernaluri dan bernyawa. Wasalam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat