visitaaponce.com

Jangan Lupakan Pembangunan SDM Jelang Pemilu 2024

Jangan Lupakan Pembangunan SDM Jelang Pemilu 2024 
Abdillah Ahsan(Dok pribadi)

PENDUDUK yang berkualitas merupakan aset, sedangkan penduduk yang tidak berkualitas merupakan beban bagi suatu negara. Pembangunan semestinya menempatkan penduduk sebagai fokus sehingga penduduk merupakan obyek dan subyek dari pembangunan. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) guna meningkatkan kualitas penduduk merupakan pondasi bagi pembangunan perekonomian yang berkualitas dan berkelanjutan. 

Hal itu sangat relevan menyongsong Indonesia Emas 2045. Hasil sensus penduduk yang mendata informasi karakteristik semua penduduk merupakan sumber data yang kuat untuk mengidentifikasi, mencari solusi dan menyusun berbagai strategi pembangunan SDM.  

Sensus Penduduk (SP) 2020 dilaksanakan melalui dua tahap yaitu Short Form SP2020 pada 2020, kemudian dilanjutkan dengan Long Form SP2020 pada 2022. Output dari Short Form SP 2020 menyajikan data jumlah penduduk yang dirinci ke dalam karakteristik umum seperti kelompok usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain. 

Lalu, hasil Long Form SP 2020 melengkapi output pendataan pada survei sebelumnya dengan menampilkan karakteristik penduduk yang lebih kompleks melalui parameter demografi seperti fertilitas, mortalitas, disabilitas, pendidikan , dan masih banyak lagi. 

Saat ini, Indonesia tengah mengalami masa transisi demografi yang mana tingkat kelahiran dan kematian mulai menurun. Namun, terdapat sisi gelap bahwa tingkat kematian ibu di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Selain itu, masih banyak tantangan lain yang terkait dengan kualitas SDM terutama dari sisi pendidikan maupun kesehatan. 

Hal tersebut penting diperhatikan karena bonus demografi hanya dapat terealisasikan apabila penduduk usia kerja (15-64 tahun) berkualitas dan produktif secara ekonomi. Berikut uraian dari beberapa isu strategis kependudukan mengenai tantangan pembangunan SDM yang tercermin melalui hasil Long Form SP 2020. 

Tren fertilitas dan preferensi child free

Fertilitas atau kelahiran merupakan salah satu indikator utama untuk menentukan tingkat populasi di suatu negara. Tingkat kelahiran yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah sama-sama berpeluang untuk menjadi beban dalam pembangunan ekonomi. Berdasarkan hasil Long Form SP 2020, angka kelahiran total (TFR) di Indonesia sebesar 2.18. 

Angka itu semakin membaik dan cukup ideal untuk mengejar bonus demografi karena telah mendekati Replacement Level (2.1) dengan asumsi bahwa setiap wanita digantikan oleh satu anak perempuan untuk menjaga kelangsungan pergantian antargenerasi. 

Ada tren fertilitas yang menurun, terlebih sedang ramai diperbincangkan tentang isu childfree atau keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak. Fenomena ini bukanlah hal baru bagi masyarakat barat, namun merupakan kondisi minoritas bagi masyarakat Indonesia yang sebagian masih berpegang pada filosofi 'banyak anak banyak rejeki'. Pada dasarnya, preferensi untuk memiliki anak merupakan hak masing-masing individu, bukan untuk disalahkan atau dibenarkan namun dapat berdampak buruk bagi perekonomian dalam jangka panjang. 

Di satu sisi, terdapat hasil studi yang menemukan bahwa pasangan tanpa anak cenderung memiliki pengeluaran rumah tangga yang lebih rendah, serta kekayaan sekitar 5% lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga (Plotnick, 2009). Namun, dari sudut pandang makro, apabila banyak generasi milenial maupun generasi Z yang memilih childfree bersamaan dengan periode bonus demografi, dapat memicu timbulnya krisis kependudukan di jangka panjang tepatnya pascabonus demografi. 

Jumlah SDM semakin berkurang, tenaga kerja berkurang, dan tingkat produktivitas negara juga mengalami penurunan. Beban keuangan negara yang populasinya menurun drastis juga, bahkan semakin berat karena generasi muda dengan jumlah sedikit harus menanggung generasi lanjut usia yang semakin bertambah.

Disparitas angka kematian ibu

Angka kematian ibu yang tinggi mencerminkan rendahnya derajat kesehatan serta kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Berdasarkan hasil Long Form SP2020 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 189, artinya terdapat 189 kematian perempuan per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih sangat jauh dari target nasional yang tercantum pada tujuan SDGs, yaitu 70 kematian ibu per 100 ribu kelahiran pada 2030.
 
Fenomena kematian ibu sama penting dan juga saling berkaitan dengan kejadian stunting anak, sehingga seharusnya mendapatkan perhatian yang sama besar. Dampak terbesar dari kematian ibu yaitu penurunan kualitas hidup bayi, seperti risiko kelainan kesehatan, tidak terpenuhinya kebutuhan ASI anak, hingga kemungkinan anak menjadi tidak terawat. 

Hal itu pada akhirnya dapat menyebabkan anak mengalami kekurangan gizi dan berisiko terkena stunting. Dengan kata lain, keberhasilan dalam menurunkan angka kematian ibu juga dapat mendorong pengendalian stunting pada anak. 

Kejadian anemia, obesitas, pendarahan pascapersalinan, preeklampsia dan kehamilan di usia terlalu muda maupun terlalu tua, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan kematian pada ibu. Selain itu, keterlambatan dalam mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan juga menyumbang angka kematian ibu di Indonesia. 

Oleh karena itu, intervensi pemerintah harus dimulai dari hulu ke hilir. Dimulai dari memastikan bahwa seluruh perempuan menikah memiliki akses terhadap kontrasepsi, meningkatkan kesadaran masyarakat atas protokol kesehatan ibu hamil, peningkatan akses layanan kesehatan pada periode antenatal hingga post-natal, serta akses perawatan darurat yang tepat untuk ibu yang akan melahirkan. 

Pemerintah juga perlu memperhatikan pemerataan akses dan fasilitas kesehatan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan data BPS dalam Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2022, terdapat gap yang cukup besar dalam kelahiran yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Di daerah perkotaan, terdapat 93,76% ibu yang melahirkan anak lahir hidup (ALH) di fasilitas kesehatan, sedangkan di perdesaan masih 85,51%. Hal ini dapat disebabkan jumlah fasilitas kesehatan yang lebih banyak berada di daerah perkotaan dibandingkan di daerah perdesaan.

Kesenjangan pendidikan perkotaan vs perdesaan 

Pendidikan yang berkualitas menjadi kunci untuk menciptakan agen pembangunan yang mampu menggerakkan perekonomian negara. Setiap warga negara harus memiliki akses yang setara untuk mendapatkan pendidikan. Akan tetapi, hasil Long Form SP 2020 menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara pendidikan di wilayah perkotaan dan perdesaan. 

Mayoritas penduduk berusia 15 tahun ke atas di perkotaan berpendidikan sekolah menengah atau sederajat, sedangkan di perdesaan hanya berpendidikan sekolah dasar atau sederajat. Secara nasional, rata-rata lama sekolah (RLS) masyarakat Indonesia yaitu 9,08 atau setara dengan kelas 9 SMP/sederajat (Susenas, 2022). Artinya, wajib belajar 12 tahun belum terealisasikan. 

Status ekonomi rumah tangga masih menjadi salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat pendidikan. Di sisi lain, ketidakmerataan pada akses teknologi, sarana dan prasarana penunjang pembelajaran, serta standar kualitas pengajar di kota dan desa juga menjadi penyebab ketimpangan. Kondisi tersebut diperparah oleh pandemi covid-19 yang memaksa penyelenggaraan sistem pembelajaran secara daring, walau tidak semua daerah memiliki kesiapan serta kapabilitas yang mumpuni. 

Berdasarkan uraian dari masing-masing isu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak tantangan dalam pembangunan ekonomi. Permasalahan terkait tingginya kematian ibu seharusnya menjadi prioritas serta diberikan pendanaan yang seimbang dengan pengendalian stunting pada anak. Program percepatan pengendalian kematian ibu juga diperlukan mengingat masih jauhnya AKI dari target pembangunan nasional. 

Kemudian, pada indikator fertilitas, meskipun angkanya sudah membaik namun harus tetap waspada dan terus mengedukasi masyarakat atas program keluarga berencana. Di bidang pendidikan, penting untuk mengupayakan kesetaraan akses pendidikan di daerah perkotaan dan perdesaan. Dengan demikian, diperlukan adanya kolaborasi antarlembaga dan pengambil keputusan untuk bersama-sama melaksanakan dan memantau upaya perbaikan kualitas SDM baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat