visitaaponce.com

Pemilu Turki, Pemilih Muda, dan Persoalan yang Belum Selesai

Pemilu Turki, Pemilih Muda, dan Persoalan yang Belum Selesai
(Dok. Pribadi)

PADA 14 Mei lalu, Turki menyelenggarakan pemilu, yang menurut laporan The Economist sebagai pemilihan terpenting tahun ini, dengan partisipasi pemilih baru lebih dari 5 juta jiwa.

Pemilu yang pada putaran pertama menghasilkan pemenang Erdogan ini diselenggarakan tepat menjelang genap satu abad negara itu. Bersama koalisinya, Koalisi Kerakyatan (Cumhur Ittifaki), ia berkomitmen untuk mempertahankan sistem presidensial.

Sementara itu, penantang terkuatnya dari oposisi Ketua Umum Partai Rakyat Republik (CHP) Kemal Kilicdaroglu dan Koalisi Kebangsaan (Millet Ittifaki) berkeras akan mengembalikan sistem konstitusi parlementer. 

Secara peta politik, koalisi yang terbentuk tidak lagi mencerminkan fraksi ideologis. Partai petahana, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), berkoalisi dengan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang secara ideologis justru dekat dengan partai oposisi CHP. Adapun pada koalisi oposisi terdapat partai beraliran garis kanan keagamaan, Partai Saadet, yang memiliki kesamaan genealogis politik dengan AKP.

Kontradiksi ideologi dalam koalisi menjadikan kontestasi politik Turki nir-ideologi. Namun, itu tidak semata mengesampingkan fragmentasi politik yang tetap berwarna. Isu demokratisasi, kesejahteraan, dan identitas tetap menjaga rivalitas partai-partai di Turki.

Yang menarik, sejak polarisasi domestik semakin menguat 3-4 tahun lalu, sekularisme cenderung tidak lagi menjadi anatema dan variabel pemenangan. Partai petahana AKP secara tegas menyatakan tidak akan mengubah konstitusi sekuler mereka. Di sisi lain, dalam sebuah kesempatan, Ketua Umum CHP Kilicdaroglu, yang merepresentasikan wakil Kemalisme tertua, menegur anggotanya yang berteriak di pengadilan tinggi negara mengkritik hakim berhijab. Menurut Kilicdaroglu, sekularisme asertif yang simbolik sudah tidak relevan dan tidak produktif secara politik untuk harmonisasi sosial.

 

Janji kesejahteraan

Salah satu hal menarik yang dapat diamati dari hasil pemilu putaran pertama lalu (Erdogan 49,5%, Kilicdaroglu 44,96%, dan Sinan Ogan 5,25%), isu kesejahteraan tampaknya tidak menjadi variabel pemenangan yang menentukan. Meskipun setidaknya lima tahun terakhir ini tidak memberikan epilog yang diharapkan, Erdogan tetap sulit dikalahkan. Inflasi Turki menjadi yang tertinggi kedua di dunia setelah Argentina. Berdasarkan data Freedom House, indeks demokrasi di Turki juga menurun. Pemenjaraan terhadap lawan politik dan jurnalis menjadi indikasi kuat.

Krisis ekonomi yang dimulai sejak 2018, penurunan demokrasi, penanganan pandemi, penanggulangan bencana, serta masalah imigran menjadi isu-isu yang selalu dikritik dan dimanfaatkan oleh kelompok oposisi. Menjelang pemilu, bersama enam partai koalisinya, yakni CHP, Partai IYI, Partai Saadet, Partai Demokrat, Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA), serta Partai Gelecek, Kilicdaroglu menjanjikan kesejahteraan yang lebih mengena ke masyarakat Turki dengan menggunakan isu identitas. Pada sebuah cuitannya di Twitter, Kilicdaroglu mengkritik kebijakan yang terbuka terhadap imigran. Menurutnya, kepentingan masyarakat Turki perlu didahulukan.

Kilicdaroglu juga menjanjikan bahwa Turki akan lebih demokratis di bawah sistem parlementer. Kebebasan pers yang belakangan ini semakin terpenjara akan dijanjikan lebih terbuka dan tidak ada kriminalisasi terhadap mereka yang berbeda pendapat. Kilicdaroglu memanfaatkan kejenuhan (fatigue) masyarakat Turki terhadap krisis-krisis yang menimpa Turki selama setidaknya lima tahun terakhir ini, dengan mengesampingkan pencapaian-pencapaian pembangunan (succes story) Erdogan di satu dekade awal pemerintahannya.

Walakin, Erdogan tetap di atas angin. Artinya, dalam memaknai demokrasi, masyarakat Turki masih mengedepankan variabel kultural ketimbang variabel rasional. Bagi masyarakat Turki kebanyakan, Erdogan adalah seorang natural leader. Ia membawa Turki ke tempat yang lebih bermartabat, mendekonstruksi pemaknaan sekularisme lama, mengarusutamakan kelas borjuasi lokal. Bahkan, ia berani untuk keluar dari pola pikir mentornya, Necmattin Erbakan, yang islamis dan defensif terhadap ekonomi neoliberal.

Sebagian masyarakat Turki tampaknya tidak memedulikan batasan masa kepemimpinan sebagai bagian dari ukuran demokrasi. Dalam memilih pemimpin, kewibawaan dan keberanian menjadi variabel yang lebih penting. Ini adalah konsekuensi logis historisitas Turki yang berabad-abad dipimpin oleh para sultan. Secara sekilas, iklim yang seperti itu terlihat rapuh bagi demokrasi. Namun, bila diamati lebih cermat, kultur semacam itu dapat menjadi kekuatan jika proses kaderisasi politik juga berjalan baik. Pemilu kali ini menjadi ukuran bagaimana Turki memaknai demokrasi. 

 

Generasi muda

Di antara masalah kepemimpinan, kesejahteraan, pemilih muda yang kali ini berjumlah 5 juta jiwa juga menjadi faktor krusial bagi ukuran demokratisasi di Turki. Berdasarkan jajak pendapat lembaga survei ternama Turki MetroPOLL, 78% pemilih pada kelompok usia 18-24 menyatakan akan memberikan suaranya pada pemilu.

MetroPOLL mencatat, setengah dari pemilih muda lebih menyukai Kilicdaroglu. Sebaliknya, Erdogan hanya mendapatkan 30% suara dari kalangan muda. Bagi kaum muda, Kilicdaroglu lebih menjanjikan. Sebab, bila ditelaah lebih cermat, pemilih baru pada pemilu kali ini tidak melihat dan merasakan secara langsung pencapaian-pencapaian Erdogan pada satu dekade awalnya. Mereka lebih merasakan dekade kedua pemerintahan Erdogan yang sudah mengalami degradasi demokrasi.

Bila melihat pengalaman pada pemilihan gubernur di Istanbul dan Ankara, kehadiran pemilih muda dapat menjadi penentu pemenangan dan mengubah peta politik lama. AKP yang telah lama menduduki Istanbul dan Ankara kalah oleh kandidat dari CHP. Bila melihat pola itu, bukan tidak mungkin pemilih muda akan juga dapat mengubah peta politik Turki secara nasional.

MI/Duta

 

Isu identitas yang belum selesai

Dari dua kandidat terkuat, visi kesejahteraan dan demokrasi memang dapat dilihat dengan jelas. Namun, isu identitas masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi semua kandidat. Meskipun koalisi-koalisi yang ada ingin memajukan demokrasi, terdapat sikap yang paradoks bila berbicara isu identitas. Koalisi Kerakyatan Erdogan tetap membuka diri pada imigran. Sebaliknya, Koalisi Kebangsaan (Millet Ittifaki) oposisi menolak kebijakan terbuka terhadap imigran.

Kilicdaroglu yang secara sekilas dalam sikap-sikapnya membela demokrasi, pada isu imigran itu ia seperti tertutup. Adapun Erdogan yang tampak lebih terbuka sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan Kilicdaroglu. Pada 2021, koalisi petahana mengusulkan pembubaran Partai Rakyat Republik (HDP) yang pro-Kurdi dan dianggap teroris. Padahal, HDP merupakan partai ketiga terbesar setelah AKP dan CHP di parlemen.

Sikap-sikap yang paradoks itu menunjukkan keterbukaan keduanya bukan sebagai sikap yang autentik, melainkan sebagai pragmatisme politik. Masing-masing terjebak identitas keturkian. Jajak pendapat beberapa lembaga survei menunjukkan koalisi oposisi akan sulit menang bila tidak mengakomodasi suara masyarakat Kurdi yang bisa menentukan 8%-12% suara. Suara itu tentu menggiurkan bagi koalisi oposisi yang secara suara partai masih kalah jika dibandingkan dengan partai petahana AKP.

Dengan sikap-sikap itu, hasil pemilu Turki kali ini akan menentukan arah diskursus identitas yang belum selesai tersebut. Bila petahana yang menang, diskursus imigran akan terus berkembang di samping isu kesejahteraan masyarakat Turki. Petahana mesti meyakinkan masyarakat Turki bahwa keterbukaan terhadap kaum imigran linear dengan kesejahteraan domestik.

Sebaliknya, bila koalisi oposisi yang menang, arah diskursus identitas akan berkembang pada profil politik luar negeri mereka terhadap penanganan imigran. Meski ada kecenderungan negara-negara Barat lebih menyukai Kilicdaroglu, negara-negara Eropa menyukai kebijakan imigran Erdogan yang menjadikan Turki sebagai melting-pot para imigran. Kilicdaroglu pun ditantang untuk dapat tetap memainkan politik luar negeri yang sukses dibawa Erdogan ke dunia internasional.

Sikap-sikap keterbukaan terhadap demokrasi tampak hanya instrumentalistik ketika dihadapkan pada isu identitas. Tiap-tiap kandidat tidak menunjukkan keterbukaan autentik yang merangkul semua kalangan di Turki yang plural. Ini menjadikan pemilu Turki benar-benar merepresentasikan pemeo politik bahwa tidak ada lawan-kawan yang autentik, melainkan kepentingan.

Bila selama satu abad ini masyarakat Turki dapat keluar dari pemaknaan sekularisme yang tidak lagi menjadi anatema dan dapat dikatakan telah selesai dimaknai secara lunak, identitas keturkian masih akan belum selesai setidaknya memasuki abad kedua Turki. Ini yang akan menjadi tantangan para pemimpin Turki selanjutnya untuk menyelesaikan persoalan identitas keturkian.

Pada pemilu kali ini, kita tidak dapat mengharapkan persoalan itu selesai melihat sikap-sikap para kandidat yang ada. Meskipun dengan identitas keturkian itu masyarakat Turki menjadi kuat di tengah geopolitik konflik yang mengelilinginya, para kandidat perlu meletakkannya pada isu-isu globalisasi.

Pada dua dekade lebih pemerintahannya, Erdogan telah menempatkan Turki pada ekonomi neoliberal yang terbuka. Ia tidak mengambil kebijakan ekonomi dari mentornya, Necmattin Erbakan, yang cenderung tertutup dan mengedepankan proteksi borjuasi lokal. Erdogan lebih berani terbuka, mendorong borjuasi-borjuasi lokal ekspansi ke masyarakat internasional.

Sikap itu menempatkan Turki pada posisi tawar global yang lebih kuat dan menjadikan industri-industri berekspansi dalam skala global, baik industri manufaktur maupun kebudayaan. Ini yang membuat Turki lebih terlihat humble dalam identitas dan berwibawa di mata internasional. Namun, sayangnya ia masih defensif ketika berbicara isu Kurdi.

Persoalan identitas ini dapat selesai bila para kandidat pemimpin di Turki meredefinisi nasionalisme mereka menjadi lebih terbuka, dan tidak selalu dibenturkan dengan kesejahteraan. Pemilu kali ini penting untuk menyelesaikan masalah identitas yang belum selesai itu.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat