visitaaponce.com

Merdeka dari Kecurangan Pemilu

Merdeka dari Kecurangan Pemilu
(Dok. Pribadi)

17 Agustus 2023 menandai 78 tahun perjalanan Indonesia sebagai negara merdeka pascaproklamasi dibacakan Soekarno-Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia pada 1945. Usia yang tak muda, masuk kategori preboomer dalam klasifikasi umur kekinian. Sudah banyak makan asam garam sehingga bisa dijadikan pembelajaran dan bekal mengatasi berbagai persoalan hidup berbangsa dan bernegara.

Di usia ke-78 pula, Indonesia sedang mempersiapkan agenda besar berupa pemilu ke-13 dalam sejarah kemerdekaan. Pemilu serentak kedua yang menggabungkan pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan pemilu presiden dan wakil presiden. Merupakan perhelatan pemilu serentak satu hari terbesar di dunia, dengan kombinasi sistem pemilu yang juga kompleks.

MI/Seno

 

Identitas demokrasi

Bila menilik sejarah, demokrasi telah menjadi DNA atau identitas genetik bangsa Indonesia sejak awal berdirinya. Tak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan, terbit Maklumat 3 November 1945 yang dianggap sebagai sebagai tonggak demokrasi Indonesia. Disebutkan dalam Maklumat tersebut bahwa pemerintah menyukai terbentuknya partai-partai politik karena dianggap dapat mengarahkan pemerintahan dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Pemerintah berharap agar partai politik sudah tersusun sebelum pemilihan anggota badan perwakilan rakyat Januari 1946 diselenggarakan. Pemilu saat itu menjadi agenda ketatanegaraan prioritas pascaterbebas dari penjajahan.

Sayangnya, hajat tersebut belum bisa direalisasikan karena bangsa Indonesia masih harus berhadapan dengan konsolidasi pemerintahan baru, dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang bertubi-tubi masih mendapatkan tantangan dari pihak sekutu. Sampai akhirnya, pemilu dalam skala nasional bisa terselenggara untuk pertama kalinya pada 1955. Selanjutnya, bergulir pada masa Orde Baru melalui Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, beserta segala dinamikanya.

Pemilu kembali jadi pilihan untuk melewati masa transisi ketika Indonesia memasuki era Reformasi pada 1998. Presiden BJ Habibie meyakini bahwa pemilu merupakan instrumen paling tepat untuk mendapatkan legitimasi rakyat di tengah turbulensi politik hukum yang terjadi sehingga diputuskanlah untuk mempercepat pelaksanaan pemilu yang mestinya berdasar siklus lima tahunan baru terselenggara pada 2002, dimajukan menjadi 1999.

Pasca-Pemilu 1999 banyak transformasi demokrasi terjadi. Amendemen Konstitusi pada 1999, 2000, 2001, dan 2002 menandai semangat konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai fondasi tata kelola berbangsa dan bernegara. Reformasi elektoral besar-besaran juga dilakukan demi memastikan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat benar-benar menemukan esensi dan tujuannya.

Mulai rekonstruksi lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri dan bebas dari unsur partai politik, pemilihan presiden dan wakil presiden langsung, transformasi sistem pemilu dari proporsional tertutup ke terbuka, untuk memberi otoritas lebih kepada pemilih dalam memutuskan wakil-wakilnya, sampai pada pilihan desain keserentakan pemilu untuk makin memperkuat efektivitas sistem pemerintahan presidensil yang dianut Indonesia.

Berbagai penataan tersebut bertujuan agar pemilu benar-benar bekerja sebagai instrumen demokrasi yang mampu memfasilitasi sirkulasi elite secara konstitusional, demokratis, dan bermartabat. Dengan demikian, akan terpilih wakil rakyat dan pejabat publik yang berorientasi pada pelayanan publik serta berkomitmen pada tata kelola pemerintahan yang bersih dan demokratis. Bila kondisi itu terpenuhi, tujuan kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.

Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada sejumlah prasyarat bagi penyelenggaraan pemilu agar tujuan itu dapat tercapai. Pertama, tersedia kerangka hukum pemilu yang demokratis. Kedua, pemilu diselenggarakan penyelenggara pemilu yang independen dan kredibel. Ketiga, peserta pemilu yang kompetitif, yaitu bersaing dalam arena kontestasi yang adil dan setara. Keempat, penegakan hukum pemilu dilakukan secara efektif dan berkeadilan. Kelima, birokrasi dan aparat kemananan yang netral dan professional. Keenam, pemilih yang berdaya dan terinformasi baik (well informed voters) sehingga mampu membuat keputusan secara bermakna.

 

Tantangan 2024

Sayangnya, meski sudah berkali-kali menyelenggarakan pemilu, masih banyak persoalan yang bisa mereduksi keberadaan pemilu sebagai daulat rakyat. Membuat pemilu belum sepenuhnya mencerminkan kehendak bebas dan kemurnian suara rakyat. Pemilu Indonesia masih diwarnai kecurangan, yang mencederai esensi pemilu dan membuat suara pemilih kehilangan makna. Misalnya, pada pemilu serentak 2019 tercatat 3.924 temuan dan laporan pelanggaran pemilu yang ditangani Bawaslu.

Dari jumlah tersebut, 1.126 merupakan pelanggaran administratif dan 2.798 kasus tindak pidana pemilu. Dalam penanganan tindak lanjutnya, 414 kasus pelanggaran administratif diputus terbukti dan 380 tindak pidana diteruskan ke pengadilan, dan diputus inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan data yang dirilis Bawaslu (2019), tercatat lima teratas vonis pengadilan atas kasus tindak pidana Pemilu 2019. Meliputi jual beli suara atau politik uang (69 orang), memberikan suara lebih dari satu kali (65 orang), penggelembungan suara (43 orang), mengaku sebagai orang lain pada saat pencoblosan (35 orang), dan mengubah rekapitulasi hasil penghitungan suara (28 orang). Banyak analis kepemiluan meyakini angka tersebut merupakan fenomena gunung es yang dalam realitasnya jauh lebih besar dari apa yang mampu diungkap pihak berwenang.

Pemilu 2024 akan terselenggara tanpa perubahan mendasar dalam regulasinya. Desain keserentakan pemilu pun masih serupa dengan Pemilu 2019. Karenanya, tantangan dan potensi kecurangan pada pemilu terdahulu juga potensial berulang.

Bila berkaca pada Pemilu 2019, ada sejumlah hal yang mesti diantisipasi penyelengggaraan pemilu. Sebut saja jual beli suara atau politik uang yang diperkirakan tetap jadi pilihan pragmatis akibat kompetisi yang makin sengit mengingat jumlah kontestan pemilu yang tambah banyak. Politik uang bukan hanya rentan menyasar pemilih, melainkan juga penyelenggara pemilu yang dianggap sejumlah oknum bisa berperan mengubah atau memengaruhi perolehan suara peserta pemilu.

Selain itu, konsekuensi pemilu yang rumit dan kompleks bisa berdampak pada kapasitas dan integritas pemilih. Mulai kesulitan dalam pemberian suara atau mencoblos secara benar sehingga berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes). Karena kompetisi yang terpusat pada kontesatasi pilpres, pemilih menjadi tidak terlalu memedulikan pemilu legislatif serta kurang memperhatikan rekam jejak dan program peserta pemilu. Akibatnya, hoaks dan disinformasi pemilu rentan menyasar pemilih. Apalagi, di tengah kompetisi yang terpolarisasi disintegratif yang dalam membuat keputusan, emosi lebih penting daripada data dan fakta.

Selain ancaman kecurangan, Pemilu 2024 juga menghadapi tantangan teknis di tengah terbatasnya waktu pengadaan dan distribusi logistik Pemilu 2024. Hal itu meningkatkan risiko terjadinya surat suara tertukar, surat suara kurang, logistik pemilu datang terlambat, serta masalah spesifikasi. Pada Pemilu 2019 dengan durasi pengadaan dan distribusi logistik pemilu yang jauh lebih lama, tercatat terjadi surat suara tertukar di 3.371 TPS dan 2.249 TPS tidak melaksanakan pemungutan suara serentak pada 17 April 2019.

Bahkan, beban kerja yang berat tetap menghantui para petugas pemilu di lapangan. Harus ditekankan betul pada KPU, jangan sampai ironi kemanusiaan adanya 894 petugas pemilu meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit akibat ekses kelelahan menyelenggarakan pemilu seperti pada Pemilu 2019 kembali berulang pada pemilu mendatang. Publik harus terus menagih langkah inovasi dan antisipasi penyelenggara pemilu untuk memastikan pemilu selain memberikan keadilan kompetisi pada kontestan, juga menjamin keadilan bagi para pekerja pemilu di lapangan dari beban tugas yang melampau batas kewajaran.

Apabila KPU dianggap tidak mampu mengelola tantangan teknis dan beban kerja dengan optimal, hal itu sangat rentan menjadi pemicu ketidakpuasan pemilih dan peserta atas penyelenggaraan pemilu. Pada akhirnya, bila tidak terkelola baik, bisa mendistorsi kepercayaan publik atas kredibilitas dan integritas pemilu. Bahkan, bukan tidak mungkin akan digunakan sebagai propaganda politik untuk mempersoalkan legitimasi hasil pemilu karena dianggap diselenggarakan secara tidak profesional sehingga merugikan kelompok-kelompok tertentu.

 

Pemilu beradab

Kecurangan pemilu, terutama yang berakibat pada tergerusnya kemurnian suara pemilih jelas merupakan serangan fundamental terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Hak pilih yang tecermin dalam prinsip satu orang satu suara satu nilai atau one person one vote one value (OVOVOP) ialah cerminan martabat warga negara yang dijamin dan dilindungi konstitusi.

Mestinya, kehendak bebas seorang pemilih ialah penentu atas apa yang menjadi keputusannya di bilik suara. Segala penjajahan atas kemerdekaan pemilih untuk memutus sesuai apa yang diyakini dan dikehendakinya mutlak dihapuskan. Dalam pemberian suara, pemilih harus terbebas dari tekanan apa pun. Termasuk uang, iming-iming, ancaman, intimidasi, penyesatan informasi, gangguan, ataupun tindakan manipulatif lainnya.

Untuk mewujudkannya, partai politik juga harus terus ditagih agar menjalankan fungsinya secara konsisten. Partai tidak boleh dibiarkan hanya mau mengakses kekuasaan dan menang. Namun, juga harus ditagih tanggung jawabnya untuk menjaga kader dan fungsionarisnya agar berpolitik secara beradab dan bermartabat. Tidak menghalalkan segala cara dalam perebutan kekuasaan. Partai dan para elitenya harus bisa menjadi teladan bagi praktik politik yang maslahat dan berkemajuan.

Sejalan dengan itu, Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 ‘Aisyiyah juga memberikan atensi khusus pada terselenggaranya pemilu yang berkeadaban menuju demokrasi substantif. ‘Aisyiyah mencatat bahwa pemilu yang selama ini berjalan masih menunjukkan proses perilaku yang jauh dari keadaban pemilu dan demokrasi berkualitas.

‘Aisyiyah menganggap pemilu belum sepenuhnya mampu menghasilkan pemimpin yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Hal itu dapat dilihat melalui adanya praktik politik pragmatis yang diperankan aktor politik, politik uang yang makin memprihatinkan, oligarki politik, dan orientasi kekuasaan yang menguat sehingga segala cara ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan, serta penggunaan politik identitas untuk memenangi kontestasi.

‘Aisyiyah menekankan agar semua pihak penting menjaga dan menciptakan situasi agar Pemilu 2024 menjadi ajang rekonsiliasi nasional, dan mencegah terjadinya pembelahan politik yang potensial merusak integrasi bangsa. Pendidikan politik bagi pemilih mesti diintensifkan oleh seluruh pemangku kepentingan. Agar pemilih tidak terjebak pada praktik politik transaksional sehingga mampu memilih pemimpin berdasarkan kompentensi dan keberpihakan pada masyarakat.

Oleh karena itu, sejatinya memaknai kemerdekaan bisa dilakukan secara sederhana dan tak muluk-muluk. Jadilah pemilih merdeka di bilik suara. Dengan membebaskan pemilih dari kecurangan pemilu, kemerdekaan akan mampu mencapai tujuan sebagaimana kehendak konstitusi.

Bilik suara dan surat suara ialah rahasia. Sarana merdeka untuk membuat keputusan berdasarkan kehendak bebas tanpa rasa takut atau terjajah apa pun. Tiada kemerdekaan tanpa pemilih yang merdeka. Untuk itu, negara harus menjamin kemerdekaan pemilih untuk memilih dengan bebas di bilik suara Pemilu 2024.

 

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat