visitaaponce.com

Koalisi Bersatu tidak lagi Bersatu

Koalisi Bersatu tidak lagi Bersatu
(Dok. Pribadi)

PARTAI Golkar dan PAN bergabung dalam koalisi bersama Gerindra dan PKB. Prabowo bingung memilih calon wakil presiden.

Deklarasi Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mendukung calon presiden Prabowo Subianto (13/8) telah membuat Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi ambyar. Apalagi, PPP lebih dahulu sudah mengibarkan bendera mendukung capres Ganjar Pranowo.

KIB yang dibentuk Mei 2022 tampak kukuh. Kini parpol pendukungnya terpaksa harus menerima realitas politik. Di antara mereka tak ada figur yang bisa menjadi calon presiden yang layak ‘dijual’. Selain itu, mereka juga tidak mampu untuk maju dengan capresnya sendiri karena jumlah kursi di parlemen tak mencukupi persyaratan. Itu sebabnya, tiga partai itu harus ‘menumpang’ partai lain yang sudah memiliki capres.

Realitas politik terasa getir bagi para elite dari tiga partai dalam KIB. Airlangga Hartarto yang semula digadang-gadang bisa menjadi calon presiden dari Golkar ternyata ia tak cukup mampu menarik perhatian publik. Dua partai lainnya mengakui tidak memiliki tokoh yang layak dicalonkan untuk capres.

Dengan peristiwa pecah kongsi itu, pilihan ketiga partai menjadi berbeda. Setelah Pemilu 2024, kemungkinan ketiganya tidak akan berada dalam satu gerbong pemerintahan lagi. Soalnya mereka mengusung capres yang berbeda. Deklarasi dukungan capres itu akan memisahkan PPP dari Golkar-PAN.

Namun, pragmatisme dalam kehidupan politik bisa saja berkembang. Apalagi, keputusan pecah kongsi itu sekadar perbedaan kalkulasi menang-kalah dalam pemilihan presiden. Tak ada alasan yang fundamental seperti bagaimana mengelola negeri ini. Perkiraan menang kalah membuat pemihakan partai-partai itu berbeda. Setidaknya, sampai saat ini ada tiga koalisi pendukung capres. Gerindra, PKB, PAN, Golkar, dan partai nonparlemen PBB, menjagokan Prabowo. Sementara koalisi PDIP, PPP, dan partai nonparlemen Hanura, Perindo, PSI, menjadi pendukung Ganjar Pranowo. Koalisi NasDem, PKS, dan Demokrat mencalonkan Anis Baswedan.

Bergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo diperkirakan membuat peta persaingan dengan kubu Ganjar akan mengalami dinamika. Namun, Ganjar pun mengaku merasa tak terganggu. Bahkan dengan komunikasi politik yang santun, Ganjar justru mengucapkan selamat kepada dua partai yang memutuskan mendukung Prabowo. Ia menghormati keputusan tentang pilihan politik kedua partai itu.

Saat ini, koalisi Gerindra, PKB, Golkar, PAN, memiliki 265 kursi di DPR, sementara PDIP dan PPP hanya mempunyai 147 kursi. Masalahnya, pemilihan presiden tidak selalu berbanding lurus dengan pemilihan anggota legislatif.

Perilaku pemilih dalam pilpres tertuju kepada capres mana yang menarik perhatian mereka. Suara yang diberikan dalam bilik suara kepada capres bisa saja berbeda dengan partai yang dicoblos. Ketertarikan rakyat kepada seorang capres lebih menentukan suara ketimbang keanggotaan mereka pada suatu partai.

Banyaknya partai dan kursi di DPR dari partai yang pengusungnya belum tentu menjamin kemenangan seorang capres. Misalnya dalam Pilpres 2014.  Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi-Yusuf Kalla terdiri dari 5 parpol: PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI. Suara yang diperoleh 70.997.833 (53,15%).

Sementara itu, Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjagokan Prabowo-Hatta Rajasa terdiri dari 6 parpol: Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB.  Perolehan suaranya 62.576.444 (46,85%). Artinya, jumlah partai anggota koalisi pendukung Prabowo lebih banyak dari partai koalisi yang mendukung Jokowi. Namun, perolehan suara Jokowi berada di atas Prabowo.

Bisa diduga, bahwa anggota partai pendukung seorang capres tidak serta-merta memberikan suaranya untuk jago koalisi partainya. Pilihan rakyat kepada capres tak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh partai-partai yang menaunginya. Apalagi, dalam pembentukan koalisi biasanya diwarnai dengan kepentingan politik elite partai untuk target tertentu.

Dalam koalisi yang baru saja mendeklarasikan diri mendukung capres Prabowo, juga ada ekspektasi dari para elite partai. Mestinya, dalam tawar-menawar politik, mereka akan meminta sesuatu sebagai syarat dukungan. Saat menjelang pilpres, permainan ‘dagang sapi’ pasti terjadi.

Yang sudah beredar di media massa dan media sosial, partai-partai itu bersedia bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo karena ada maunya. Tak ada makan siang yang gratis. Masing-masing sudah membawa amanat dari partainya untuk disodorkan kepada Prabowo, yakni jatah kursi wakil presiden.

PKB yang dari awal mendukung Prabowo sudah menaruh harapan bahwa ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, bisa dipasangkan sebagai calon wapres. Begitu pula Golkar telah menyiapkan cawapres Airlangga Hartarto, dan PAN mencalonkan Erick Thohir. Prabowo pasti pusing tujuh keliling karena masing-masing partai menyodorkan tawarannya. Kalau permintaan mereka tak dikabulkan, bisa jadi mereka akan cabut dari koalisi itu. Artinya, ada ancaman bubarnya suatu koalisi pendukung sesaat sebelum pendaftaran setelah ketahuan siapa wakil presiden yang diumumkan calon presiden.

Koalisi dan deklarasi yang dilakukan partai-partai belumlah menjadi harga mati. Mereka akan tetap setia dalam koalisi sampai dengan pendaftaran resmi calon presiden dan calon wakil presiden bulan Oktober nanti. Kuncinya sekarang ialah penentuan cawapres yang sangat pelik bagi setiap capres dan partai pendukung. Kalau pilihan cawapres tak sesuai dengan harapan parpol, bisa saja partai itu mencabut dukungannya. Artinya, apa yang disebut dengan koalisi parpol pendukung capres dan cawapres saat ini masih cair dan sangat situasional.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat