visitaaponce.com

Mengapa Pemilu Harus Diawasi

Mengapa Pemilu Harus Diawasi?
Ahsan Jamet Hamidi(Dok)

Pemilihan Umum 1997, menjadi yang terakhir bagi rezim Orde Baru. Tingkat partisipasi warga saat itu sangat tinggi. Ia mencapai 91,32 % atau 85.869.816 suara sah dari 93.737.633 total pemilih di Indonesia. Jumah partai politik hanya ada tiga: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 

Berbeda dengan sebelumnya, pada Pemilu 1997, masyarakat sipil, akademisi mulai resah. Secara sporadik, mereka sudah berani protes. Pemerintah, DPR, Kehakiman dianggap abai terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan Pemilu. 

Beberapa Organisasi Non Pemerintah, seperti: WALHI (alm. Emmy Hafild, Nursyahbani Katjasungkana), ELSAM (alm. Abd. Hakim Garuda Nusantara), YLBHI (LBH Palembang, LBH Yogya, LBH Jakarta), Institute Sosial Jakarta (Azas Tigor Nainggolan), KOMPAK (alm. Arist Merdeka Sirait), CPSM (MM. Billah). INFID (alm. Asmara Nababan), Universitas Indonesia (alm. Arbi Sanit), LAKPESDAM NU dan ANAK MUDA MUHAMMADIYAH mulai mengonsolidasikan mahasiswa, aktivis buruh, pegiat lingkungan, komunitas pecinta alam, untuk membangun gerakan melawan dominasi Pemerintah Orde Baru dalam Pemilu saat itu.

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menjadi organizing committee dalam kegiatan “Pendidikan Politik Bagi Calon Pemilih”. Ada 60 peserta pelatihan yang berkumpul di Wisma Hijau, Cimanggis. Modul pelatihan dibuat oleh MM. Billah dan Arbi Sanit, sangat bagus. Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan sekarang) menjadi salah satu trainer. Dia bercerita tentang gerakan anak muda di Brazil, Korea dan Philipina dalam menumbangkan rezim. Sangat memukau. 

Naas, pada hari kedua pelatihan, sepasukan polisi dan tentara membubarkan pertemuan. Jika tidak bubar, kami akan dikenai pasal subversif, karena telah melakukan pertemuan tanpa izin. Pertemuan illegal itu bisa dinilai upaya makar yang dilakukan oleh OTB (organisasi tanpa bentuk). Istilah itu sering disematkan oleh ABRI kepada gerakan Pro Demokrasi yang melawan Soeharto. 

Kami pura-pura membubarkan diri, lalu berpindah tempat ke daerah Cisarua, berdekatan dengan kantor tentara. Justru pada tempat itulah pelatihan bisa berlangsung aman hingga selesai. Pola yang sama kami lakukan di Yogyakarta, di sekolah Muhammadiyah, Palembang di sekolah Katolik, dan Jakarta  di kantor WALHI. 

Dalam setiap pelatihan, peserta sepakat menjadi GOLPUT (golongan putih) alias tidak akan memilih. Mereka juga akan turun ke basis masing-masing. Melakukan pendampingan warga, menyebarkan propaganda pemboikotan. Saat itu, PEMILU dinilai sia-sia. Hasilnya sudah bisa ditebak. Golkar pasti menang dan Soeharto akan kembali menjadi presiden. Dugaan itu benar. Pemilu 1997, Golkar meraih 74,51%. PPP 22,43% dan PDI hanya 3,06 %. Soeharto kembali menjadi presiden yang ke 6 kalinnya. 

Tidak ada yang benar-benar tahu apakah perhitungan suara hasil Pemilu itu benar. Pun tidak ada yang berani protes. Partai politik diam. Semua pihak harus menerima apa kata penyelenggara Pemilu saat itu.  

Pembentukan Lembaga Pengawas Pemilu sudah terjadi sejak 1982.  Namanya ”Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu” alias Panwaslak. Tujuan mulia, untuk meningkatkan 'kualitas' Pemilu. Agar kelihatan seimbang, PPP dan PDI boleh menempatkan wakilnya di dalam kepanitiaan itu. 

Pada 1998, ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang mandiri, bebas dari kooptasi penguasa menguat. Dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai penyelenggara Pemilu yang independen. Untuk pengawasan dibuatlah Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU). Sekarang bernama Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU).

Jika rezim Orde Baru melarang adanya pengawasan Pemilu selain pemerintah, pasca ketumbangannya, muncul banyak lembaga pengawas dari lembaga non pemerintah. Mereka mengawasi proses Pemilu, antara lain: JPPR, JAMPI, KIPP, UNFREL, ICW, YAPPIKA, YLBHI, WALHI, LP3ES dst. Spirit pengawasan itu dilatarbelakangi oleh komitmen kuat agar PEMILU 1999 bebas dari campur tangan Pemerintah. 

Secara norma, Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Dalam praktiknya, selalu ada jarak antara teori dan kenyataan. PEMILU adalah wahana kontestasi untuk memperebutkan jabatan publik di level pimpinan pemerintah (Eksekutif) dan DPR (Legislatif). Para kontestan yang berhasil memenangkan pertarungan, bisa meraih jabatan Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota. Sedangkan mereka berhasil meraih suara cukup, bisa menjadi anggota DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan DPD. 

Mengapa jabatan-jabatan itu menjadi ajang perebutan? Karena menjadi Presiden dan Kepala Daerah itu enak. Ia menjadi mimpi banyak orang. Jika tidak, maka tidak akan  ada peminat. Begitupun menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka akan dipanggil ”yang mulia” ketika rapat, tanpa harus repot-repot membuktikan letak kemuliaannya. 

Pemilu adalah gelanggang perlombaan bagi orang-orang yang ingin berburu jabatan dan kekuasaan. Ia bukan arena perburuan untuk meraih surga semata, dimana pesertanya saling berlomba-lomba melakukan segala kebaikan, keikhlasan dan kejujuran. 

Lumrahnya sebuah pertandingan, ia harus dikelola secara fair. Maka dari itu, ia harus dijalankan oleh orang-orang yang cakap, jujur, dan berintegritas. Mereka terhimpun dalam lembaga: KPU, BAWASLU dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). 

Berdasarkan pengalaman, ada peserta lomba yang melanggar aturan agar meraih kemenangan. Pun ada pengelola lomba yang melakukan perbuatan tercela hingga menodai prinsip keadilan dalam berlomba. 

Undang-undang menjamin kebebasan warga untuk mengawasi proses Pemilu. Namun masih ada masalah di dalam prosesnya:

Pertama, kualitas pengawasan. Pengawas Pemilu, hendaknya bisa lebih cermat dalam memilih objek pengawasan dalam proses Pemilu. Apa prioritas masalah yang menyentuh orang banyak dan berdampak pada kualitas hasil Pemilu. Itulah yang mesti diawasi.

Apakah ia terkait dengan  kampanye di luar waktu yang ditetapkan? Pemasangan atribut kampanye? Penggunaan politik uang? Penggunaan narasi politisasi identitas? Proses penetapan daftar calon? Penetapan daftar pemilih? Sistem perhitungan suara? Keterbukaan lembaga penyelenggara Pemilu? Dst.

Materi kritik yang disuarakan dan diadukan, hendaknya bersumber dari informasi valid. Bukan dari informasi hoaks yang tersebar di medsos. Ia juga tidak diniatkan untuk menjegal calon tertentu, dan menguntungkan calon lainnya. 

Kedua, kerjasama lintas sektor. BAWASLU memiliki kewenangan cukup. Pada level eksekusi, ia harus mampu mengkoordinasikan dengan instansi lain. Contoh: ketika BAWASLU menetapkan bahwa calon si A bersalah karena memasang baliho, poster dimana-mana, padahal belum masuk masa kampanye. Siapa yang bisa mengeksekusi putusan tersebut? SATPOL PP? Tanpa ada kerjasama baik, maka keputusan BAWASLU akan sia-sia. 

Ketiga, fenomena kebal kritik. Saat ini, semua orang memiliki kemerdekaan untuk mengkritik. Masalahnya, ada saja lembaga publik yang dikritik itu sudah nyaman berada pada ruang kedap suara kritik. Mereka memilih diam, tambeng, abai, dan sudah merasa benar dengan apa yang dilakukan. Dalam situasi ini, kritik menjadi tidak juga bermakna.

Saya tidak akan ”mengajari ikan berenang”. Hanya ingin menggugah kesadaran, bahwa PEMILU belum pasti berjalan baik, hanya karena ada lembaga pengawasnya. Kejahatan bisa datang dari banyak pihak. Bisa dari peserta atau penyelenggara. Untuk itu, pengawasan kita bersama adalah mutlak. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat