visitaaponce.com

Antara Santri Tradisionalis dan Santri Modernis

Antara Santri Tradisionalis dan Santri Modernis
(Dok. Pribadi)

SEJAK 15 Oktober 2015, melalui Keppres RI Nomor 22 Tahun 2015, yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, kata ‘santri’ menjadi populer di masyarakat. Kata ini kemudian melekat pada kalangan Islam tertentu atau ormas Islam tertentu. Bahkan, kata ini seakan menjadi trade mark dan hanya dimiliki oleh kelompok Islam tertentu.

Saat memperingatinya pun dibangun citra dengan pakaian dan kegiatan tertentu. Bahkan, ada pemerintah daerah yang mewajibkan ASN dan segenap lembaga pendidikan yang ada di daerah tersebut untuk mengenakan sarung, berbaju takwa, bersongkok, dan bersandal saat ke kantor selama beberapa hari. Seakan ingin mengatakan bahwa, “Beginilah yang disebut santri.”

Pertanyaannya sekarang, apakah memang harus demikian jika ingin disebut santri? Siapakah sesungguhnya yang disebut sebagai seorang santri itu? Apakah untuk menjadi santri harus mengidentikkan diri dengan sarung, songkok dan sandal sehingga yang bercelana dianggap kurang nyantri?

 

Santri tradisionalis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santri adalah seseorang yang berusaha mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh atau serius. Ada yang mengatakan, ‘santri’ berasal dari kata cantrik yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dan menetap.

Bagi Cak Nur atau Nurcholis Madjid, santri itu bisa ditilik dari dua sisi. Pertama, santri itu berasal dari kata sastri, bahasa Sanskerta, yang artinya ‘melek huruf’. Kedua, dilihat dari realitas kehidupan santri, yakni didasarkan pada kebiasaan kaum santri yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab Arab klasik.

Lain lagi pendapat ahli kepesantrenan, Zamakhsari Dhofier. Menurutnya, kata ‘santri’ berasal dari bahasa India yang berarti ‘orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu’ atau ‘seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu’. Dalam konteks Islam, santri berarti seseorang atau mereka yang mandalami dan belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh.

Dalam konteks yang lebih luas, menarik identifikasi Clifford Geertz yang menyatakan bahwa yang disebut santri ialah mereka yang sangat berkomitmen pada agama Islam. Mereka biasanya tinggal di desa-desa dan kota-kota yang lebih konservatif dan menekankan praktik-praktik agama, termasuk mengikuti ajaran Islam yang ketat, termasuk pelajaran agama di pondok pesantren.

Jika santri dilekatkan (hanya) pada pondok pesantren, model santri dibagi menjadi dua, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim ialah santri yang meniatkan diri untuk menetap dan tinggal di pondok pesantren. Biasanya mereka berasal dari tempat yang jauh dari pesantren meski ada juga yang dekat dari pesantren.

Sementara itu, santri kalong ialah santri yang menuntut ilmu di pondok pesantren, tetapi mereka tidak memutuskan diri untuk menetap atau tinggal di pondok pesantren. Mereka menuntut ilmu (mengaji) di pesantren, tetapi pada saat malam atau hari libur mereka tinggal di rumahnya atau di luar pesantren.

Dengan demikian, yang disebut santri ialah mereka yang berasal dari pondok pesantren. Mereka pernah tinggal atau sekadar belajar di pondok pesantren. Mereka bersarung, berkopyah, bersandal dan kebanyakan tinggal di perdesaan. Inilah sebenarnya yang disebut dengan ‘santri tradisionalis’, yaitu santri yang semata-mata dilihat dari keterikatan seseorang dengan tradisi pondok pesantren.

Jika demikian halnya, santri tidak akan jauh dari kalangan Nahdhatul Ulama. Mengapa? Karena yang banyak memiliki pondok pesantren dengan tipologi demikian ‘hanyalah’ NU. Dalam konteks yang lebih luas, santri itu tidak jauh, untuk tidak mengatakan pasti berasal, dari NU. Pun akan muncul stigma bahwa kalau bukan NU dianggap atau berarti bukan santri, meski mumpuni, intens dalam mendalami agama dan memiliki komitmen yang kuat untuk mendakwahkan Islam.

MI/Seno

 

Santri modernis

Mengingat pandangan yang melulu berkaitan dengan pesantren ini, maka mereka yang mendalami agama, tetapi tidak tinggal di pesantren ‘seakan’ tidak akan disebut santri. Meski tinggal di pondok pesantren, tidak suka memakai sarung dan cenderung bercelana, tidak biasa memakai songkok atau berkopyah dan cenderung formal mengikuti budaya (Barat) modern, maka mereka bukanlah masuk dalam kategori santri. Padahal, inilah potret baru dari varian santri, yaitu ‘santri modernis’.

Santri modernis ini memiliki semangat untuk mendalami Islam dengan serius. Mereka belajar agama bukan hanya di pondok pesantren, tetapi juga di sekolah-sekolah formal, bahkan otodidak. Mereka berkomitmen kuat untuk mendakwahkan Islam kapan pun dan di mana pun. Mereka sering mengadakan pengajian dan punya majelis taklim atau majelis zikir dengan nama-nama yang lebih milenial dan tidak kearab-araban. Mereka mengadakan kajian bukan hanya di masjid dan musala, tetapi di hotel dan kafe dengan model pembelajaran modern. Inilah bagian dari substansi kesantrian, yakni spiritualisme (semangat beragama), dan intelektualisme (semangat mencari ilmu).

 

Tradisionalis vs modernis

Kendati sama-sama santri, ada beberapa perbedaan yang bisa dijadikan sebagai gambaran tentang keduanya.  Perbandingan umum ini memang tidak lantas bisa menggolongkan seorang santri ke dalam salah satu kategori ini. Sebab, banyak persona dan pesona santri memiliki campuran karakteristik dari kedua model santri ini.

Dari sisi pendekatan agama, misalnya, santri tradisionalis cenderung memegang teguh nilai-nilai dan tradisi agama Islam yang telah ada selama berabad-abad yang –biasanya—tersistem dalam sebuah mazhab. Mereka mungkin lebih suka praktik-praktik keagamaan yang sudah mapan, dan mengikuti ajaran-ajaran agama dengan ketat, sesuai dengan pandangan tradisional atau tradisi yang ada.

Sementara itu, santri modernis lebih terbuka terhadap interpretasi yang lebih fleksibel terhadap agama Islam. Mereka menekankan pemahaman yang lebih kontekstual dan relevan dalam menghadapi isu-isu modern. Beberapa santri modernis bahkan lebih cenderung melakukan pendekatan yang lebih liberal terhadap agama.

Dari sisi budaya dan tradisi, santri tradisionalis cenderung mempertahankan budaya dan tradisi yang sudah ada dalam masyarakat Islam sejak lama. Mereka lebih mematuhi adat-istiadat lokal dan memahami budaya Islam yang klasik. Sementara itu, santri modernis lebih terbuka terhadap pengaruh budaya global dan mungkin mengadopsi elemen-elemen budaya yang lebih modern. Mereka mungkin tidak seketat santri tradisionalis dalam menjaga tradisi dan warisan budaya. Bahkan, mereka cenderung ‘memusuhi’ praktik Islam yang berbau sinkretis.

Dari segi pendidikan, santri tradisionalis lebih mengikuti pendidikan di pondok pesantren tradisional yang fokus pada pembelajaran agama, kitab suci dan kitab kuning (kitab ulama klasik) meski beberapa di antara mereka mulai merambah kajian dan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer.  Mereka kurang terlibat dalam pendidikan formal yang lebih luas dan lebih konsentrasi pada wilayah pesantren meski belakangan mulai merambah dunia pendidikan formal.

Di seberang sana, santri modernis cenderung menggabungkan pendidikan agama dengan pendidikan formal modern. Mereka tidak sungkan meniru model pendidikan Barat yang –katanya—sekular. Mereka cenderung mementingkan pendidikan umum, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi meski dengan dasar pandangan keagamaan yang ketat. Belakangan, para santri modernis ini mulai getol membangun pondok pesantren di beberapa daerah. Katanya, mereka ingin menjembatani krisis ulama yang terjadi di kalangan mereka sekaligus membentengi generasi milenial dengan landasan agama.

Dari sisi gaya hidup pun ada perbedaan. Santri tradisionalis cenderung menjalani gaya hidup yang sederhana, menghindari hal-hal yang dianggap konsumtif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Mereka lebih ‘memuliakan’ sarung, kopyah dan bersandal yang cukup sederhana. Mereka tidak mengharamkan rokok (NU smoking).

Dengan agak sedikit berbeda, santri modernis menjalani hidupnya lebih terbuka terhadap gaya hidup yang lebih modern, termasuk teknologi, mode, dan hiburan yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Mereka lebih suka bercelana, karena alasan praktis dan fleksibel. Mereka tidak terlalu peduli dengan songkok atau kopyah sebagai identitas kesantrian dan keislaman.

Dalam hal cinta Tanah Air (nasionalsime) dan patriotisme, santri modernis tidak kalah dari santri tradisionalis yang mendeklarasikan diri sebagai pembela “NKRI harga mati!” Tidak kurang dari 20 orang kalangan santri modernis yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Mereka di antaranya, KH Ahmad Dahlan, Nyai Siti Walidah, KH Mas Mansyur, AR Baswedan, Ir Soekarno, Fatmawati, KH Fakhroddin, Buya Hamka, Ir H Djuanda Kartawidjaja, Soedirman, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Kahar Mudzakir, Mr Teuku Mohammed Hasan, Lafran Pane, H Agus Salim, Gatot Mangkupraja, Nani Wartabone, Soetomo, Otto Iskandar Dinata, dan lain sebagainya.

Dari sisi moderatisme Islam dan toleransi beragama, santri modernis juga tidak sekadar wacana. Lebih dari sekadar pengakuan dan mendiskusikan di ruang publik, mereka justru melangkah ke ruang yang lebih realistik. Mereka melayani dan bersentuhan dengan kalangan nonmuslim yang membutuhkan pelayanan kesehatan, pengajaran dan pendidikan di akar rumput. Hanya, santri modernis ini tidak pernah menyatakan bahwa dialah santri dengan segenap citra dirinya, apalagi mesti memaksakan keseragaman potret diri itu kepada orang lain.

 

Bukan identitas, tapi komitmen

Dengan gambaran tersebut, tulisan ini hanya ingin mengatakan betapa ‘santri’ itu bukan hanya milik organisasi kemasyarakatan Islam tertentu. Apalagi, jika ‘yang lain’ dengan kecenderungan Islam yang kuat, tetapi tidak memiliki potret dan persepsi diri yang sama dengan mereka, kemudian tidak dianggap sebagai santri.

Santri bukan hanya sebuah identitas tertentu. Namun, santri ialah sebuah kecenderungan dan komitmen yang sama kepada eksistensi Islam. Terlepas apakah kemudian paradigma, model perjuangan dan pendekatannya dalam memahami Islam itu berbeda ialah hal lain.

Setidaknya, dalam konteks kajian antropolgi budaya, santri itu baru akan berbeda ketika dihadapkan kepada varian abangan. Abangan sendiri, sebagaimana identifikasi Geertz, antropolog asal Amerika Serikat yang terkenal dengan The Religion of Java-nya, ialah kelompok yang memiliki pandangan agama yang lebih liberal, dan cenderung memadukan unsur-unsur agama tradisional Jawa (animisme, Hinduisme, dan lain-lain) dengan Islam. Mereka cenderung tidak ketat dalam mengikuti praktik-praktik agama Islam. Mereka memiliki ikatan dengan tradisi lokal yang kuat. Mereka tidak benar-benar memandang penting doktrin (agama Islam) dan lebih terpesona oleh detail keupacaraan (adat).

Dalam konstelasi politik, santri dan abangan ini sering dikategorikan sebagai kelompok ‘religius’ bagi kalangan santri dan ‘nasionalis’ bagi kalangan abangan meski tidak mesti demikian dengan yang terjadi di lapangan. Terlebih lagi dalam konteks kekinian, banyak orang yang dulu disebut abangan sekarang sudah menjalankan agama dengan sepenuh hati. Setidaknya, mereka sudah mendirikan salat lima waktu dengan rajin. Istrinya juga sudah memakai jilbab dengan suasana kekeluargaan yang cukup islami.

Ala kulli hal, biarlah KHA Dahlan di awal abad ke-20 saja yang dituduh kafir gara-gara mengajarkan Islam secara klasikal; dianggap antek kolonial karena memakai celana dan dasi; dan dirobohkan langgarnya karena melibatkan perempuan dalam pengajaran Islam.

Santri bukanlah identitas fisikal-jasmaniah, apalagi fashionable. Santri masalah substansi hati yang diejawantahkan dalam realitas perbuatan. Selama seseorang masih memiliki komitmen untuk menegakkan nilai-nilai (profetik) Islam, maka dialah seorang santri.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat