Amnesia Budaya
SENIN pekan lalu, bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa ke-10 yang diakui sebagai bahasa resmi dalam Sidang Umum UNESCO. Artinya, sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dapat digunakan dalam perdebatan sidang, seluruh risalah, atau dokumen yang dihasilkan dari pertemuan badan PBB yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan tersebut. Untuk diketahui, selain bahasa Indonesia, bahasa resmi UNESCO lainnya ialah bahasa Hindi, Italia, Portugis, Inggris, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, dan Rusia. Nah, apa enggak keren?
Seperti dikutip dari keterangan Sekretariat Kabinet RI, diusulkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO berawal dari diskusi antara Duta Besar (Dubes) RI untuk Prancis dan Wakil Delegasi Tetap (Wadetap) RI untuk UNESCO pada Januari 2023 lalu. Mereka menilai bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa resmi Sidang Umum UNESCO.
Hal itu kemudian disampaikan kepada Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud-Ristek). Pada 7 Februari 2023, Wadetap untuk UNESCO, Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu), dan Kemendikbud-Ristek berembuk untuk membicarakan peluang dan strategi pengusulan bahasa resmi Sidang Umum UNESCO, termasuk menyusun naskah proposalnya yang kemudian akhirnya disetujui.
Mengutip akun Instagram Kemendikbud-Ristek, alasan disetujuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam Sidang Umum UNESCO antara lain Indonesia memiliki status sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Secara internasional, bahasa Indonesia dituturkan oleh kurang lebih 3,52% populasi dunia. Salah satu buktinya ialah dimasukkannya bahasa Indonesia ke dalam program pendidikan di 52 negara.
Jika orang asing saja tertarik belajar bahasa Indonesia, sebagian masyarakat di negeri ini justru merasa bangga menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Mereka, misalnya, lebih familier dan senang menyebut meeting ketimbang rapat. Bahkan, anak-anak, terutama dari kalangan sosialita, diajari memanggil nanny ketimbang mbak atau si mbok kepada para bedinde atau pengasuhnya.
Padahal, hampir seabad silam, bahkan jauh sebelum negara ini terbentuk, sejumlah pemuda telah memikirkan untuk memiliki bahasa yang dapat dimengerti oleh segenap masyarakat yang menghuni negara kepulauan ini, sebuah bahasa yang dapat menyatukan mereka dari berbagai suku. Dalam tulisannya yang berjudul Catatan Ringkas tentang Krisis Kebudayaan dalam kumpulan tulisan guru besar FIB UI yang diterbitkan pada 2016, Sapardi Djoko Damono (alm), penyair dan guru besar Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, bahkan menyebut para pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928 itu sebagai anak-anak muda yang genius.
Dalam butir terakhir dari ikrar tersebut, kata penulis puisi Hujan Bulan Juni itu, bahasa Indonesia tidak diproklamasikan sebagai satu-satunya bahasa. Berbeda dengan dua butir pertama yang menyatakan satu bangsa dan satu tumpah darah, pada bulir terakhir itu Mohammad Natsir dkk memilih menggunakan diksi ‘menjunjung’ bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Mereka mungkin sadar selain bahasa Indonesia, kita tetap dapat menggunakan bahasa daerah masing-masing agar tidak punah.
Seperti halnya Pancasila dan slogan Bhinneka Tunggal Ika, naskah Sumpah Pemuda yang brilian itu semestinya menjadi tonggak sejarah dan budaya untuk menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap Tanah Air. Sayangnya, sejauh ini pemahaman terhadap sejarah masa lalu itu semakin melemah. Narasi-narasi itu hanya sebatas mantra tanpa guna dalam keseharian kehidupan kita saat ini. Istilah toleransi memang sering diucapkan, tetapi acap kali berkebalikan dalam praktiknya. Bahasa Indonesia memang masih diajarkan oleh bapak-ibu guru di sekolah, tetapi yang terekam dalam percakapan generasi muda sehari-hari di dunia nyata maupun maya lebih sering bercampur British, bahkan tak jarang terdengar 'bahasa iblis'.
Jangan-jangan kita memang telah mengalami amnesia budaya? Entahlah. Selamat berakhir pekan. Wasalam.
Terkini Lainnya
Politik Beras
Dunia yang tidak Baik-Baik Saja
Kedaulatan Pangan
Orkestrasi Moral
Katakan dengan Masker
El Nino
Guru-Guru di Garut Serahkan Donasi Rp444 Juta untuk Palestina lewat Baznas
Sambut Hari Guru Nasional, Kemendagri Tata Sebaran Tenaga Pendidik'
Anies Ingin Guru Bekerja dengan Tenang
Hari Guru Nasional, Jokowi Optimistis Bisa Cetak Guru yang Berkualitas dan Sejahtera
Kesejahteraan Guru Masih Jauh dari Harapan
Pemerintah Dorong Guru Terus Berinovasi
Prabowo dan Diplomasi Good Neighbors Policy di ASEAN
Biodiesel Sawit dan Ancaman Deforestasi
Sensasi Indonengslish Vs Pemajuan Kebudayaan
Rekonstruksi Penyuluhan Pertanian Masa Depan
Transformasi BKKBN demi Kesejahteraan Rakyat Kita
Fokus Perundungan PPDS, Apa yang Terlewat?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap