visitaaponce.com

Belajar dari Sejarah Kisah Persahabatan Abdurrahman Baswedan dan Liem Koen Hian

Belajar dari Sejarah: Kisah Persahabatan Abdurrahman Baswedan dan Liem Koen Hian
(MI/Rudi Kurniawansyah)

SAAT menjabat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pernah menceritakan dalam sebuah forum diskusi online, kisah sang kakek, Abdurrahman Baswedan bersama tokoh Tionghoa, Liem Koen Hian, yang pernah menjadi wartawan, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), dan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Harian Sin Tit Po-lah yang mempertemukan Abdurrahman Baswedan (AR Baswedan), kakek Anies Baswedan, dengan Liem Koen Hian. Keduanya bekerja di koran propergerakan nasional tersebut, dengan membakar semangat perjuangan dan mengoreksi ketimpangan yang ada. Di Sin Tit Po, AR Baswedan mengisi rubrik Pojok dengan nama pena Abunawas.

Anies bercerita, sang kakek dan Liem Koen Hian merupakan sahabat dekat. Sampai pernah suatu hari, sang kakek berusaha membantu Liem bersembunyi dari kejaran tentara Jepang pada saat masa penjajahan. Liem yang bekerja sebagai jurnalis dikenal kakek Anies sebagai sosok yang tak pernah kooperatif dengan pasukan Jepang.

Dalam ceritanya, sang kakek ikut menyembunyikan Liem di rumahnya di kawasan Jakarta. Kala itu, Liem bahkan harus mengenakan sarung, baju koko, dan kopiah sebagai penyamaran. "Kemudian ada satu masa, di mana kakek harus menyembunyikan Liem di rumahnya selama beberapa hari karena dikejar Jepang waktu itu di Jakarta," lanjutnya.

Anies berujar, Liem ini badannya besar, dipakein sarung, pakai baju koko, dan pakai kopiah putih, biar enggak ketahuan. Jadi tinggalnya di rumah. Bayangin saja tokoh Tionghoa tinggal di rumah AR Baswedan peranakan Arab.

Anies mengungkapkan persahabatan keduanya terjalin baik, bahkan hingga ke anak-anaknya. Yang kemudian hingga saat ini secara turun-temurun ikut mengisahkan cerita persahabatan keduanya.

 

Hubungan yang mesra

Ada hubungan yang menarik antara AR Baswedan (lahir 1908) dengan Liem Koen Hian (lahir 1897). Liem Koen Hian sebagai peranakan Tionghoa dengan AR Baswedan sebagai peranakan Arab. Mereka mempunyai pemikiran di antara kaumnya, bahwa Indonesia ialah negara mereka, apa pun yang terjadi dan sikap itu harus dibayar mahal.

AR Baswedan dan Liem Koen Hian ialah dua tokoh yang saling kenal, bersahabat baik, dan memiliki pandangan yang sama: Indonesia adalah negara saya. Mereka berdua terus menggelorakan semangat nasionalisme meski mereka harus berseberangan dengan tokoh-tokoh di golongannya sendiri.

AR Baswedan banyak belajar dari Liem Koen Hian yang lebih senior dan berpengalaman, baik dalam politik ataupun jurnalisme. Masing-masing pernah mengulurkan tangan untuk menolong rekannya, serta membangun persahabatan lintas etnik yang tidak hanya berdampak personal, tetapi juga strategis.

Sejarawan Didi Kwartanada, dalam tulisan berjudul Belajar dari Liem, Baswedan, dan Sin Tit Po di edisi khusus Majalah Tempo pernah menulis:

"Walaupun berciri dasar Tionghoa, Sin Tit Po di bawah pimpinan Liem Koen Hian merupakan surat kabar kebinekaan, dengan awak dan konten beragam, mampu menembus sekat-sekat rasial ciptaan kolonial. Liem ialah mentor Abdurrahman Baswedan. Liem jugalah yang merekrutnya ke jajaran redaksi Sin Tit Po."

Dalam Sin Tit Po edisi 2 Desember 1939, Baswedan menuliskan pengalaman kerjanya di kantor harian tersebut (1932-1933), yang "selamanya hidup dengan penuh kegembiraan, meskipun di luar banyak musuh dan udara gelap mengandung banyak ancaman.”

Baswedan menulis dengan bangga: "Sin Tit Po yang demikian itu hebatnya dimasak di kantor redaksi oleh 3 'nko dan 2 bung dengan cara seperti main-main." Yang dimaksud dengan "3 engko" oleh Baswedan ialah Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing (alias "Tjamboek Berdoeri"), dan Tjoa Tjie Liang, sedangkan "2 bung" ialah Yunus Syaranamual (Ambon) dan dirinya sendiri.

Hubungan yang mesra di antara mereka itu masih berlanjut sesudah mereka meninggalkan Sin Tit Po. Saat bekerja di harian Melayu-Tionghoa, Matahari, Baswedan pernah menumpang tinggal di rumah Tjoa Tjie Liang. "Bagi AR Baswedan yang Islam taat, kiranya tiada halangan kumpul dengan saya yang non-Islam" (Tjoa, 2003). Sebaliknya, Baswedan dengan tangan terbuka mengabaikan saran kawan-kawannya yang khawatir terhadap keselamatannya menampung Liem Koen Hian beserta keluarganya yang berlindung selama sebulan dari ancaman tentara Jepang (Suratmin, 1989).

Contoh keharmonisan hubungan antarelemen bangsa itulah yang dewasa ini terasa makin berkurang. Semoga kita mau membaca dan belajar dari sejarah.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat