visitaaponce.com

Jokowi di Antara Chief dan Thief of State

Jokowi di Antara Chief dan ‘Thief’ of State
M. Nizar Kherid, Alumni Magister Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro.(Dok. Pribadi)

BARU-baru ini, pakar ilmu politik Ikrar Nusa Bhakti dalam sebuah dialog di TV mengatakan, politik di negeri ini sudah masuk kategori disgusting (menjijikkan), bukan lagi interesting (menarik), bukan pula amusing (menghibur).

Kata menjijikkan cukup menggambarkan betapa muaknya semua elemen bangsa. Akar kerusakan ini adalah nepotisme yang sedang dirancang kokoh dan tahan lama oleh penguasa. Nepotisme telah menghipnotis akal sehat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah disebut lahir dari rahim demokrasi.

Benar kata Gus Mus, “Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada republik rasa kerajaan.” Itulah yang terjadi saat ini.

Baca juga : Koalisi Masyarakat Desak Jokowi Tetap Lakukan Seleksi Pimpinan KPK

Apa yang tergambar begitu terang benderang ini adalah brutalian politik. Melanjutkan pendapat Prof Ikrar, bila saat ini politik masuk kategori menjijikkan, selanjutnya kita akan memasuki kategori brutal. Kata menjijikkan mungkin menyangkut perasaan atau sensitivitas akal sehat. Tetapi di fase brutal, demokrasi akan dirusak secara sistemik. Brutalian demokrasi akan berdampak pada kerusakan sistem bernegara. Setidaknya, saat ini demokrasi sedang diobok-obok di bawah bayang-bayang politik sandera “heavy executive” ala penguasa.

Mengapa fase brutalian politik kini tersaji? Musababnya adalah pelanggaran demi pelanggaran dilakukan tanpa malu, tanpa tanggung. Semua batasan etika, kaidah, nilai, norma dan aturan ditabrak secara brutal. Batasan-batasan itu seakan tak berguna lagi. Kita masih ingat proses dan putusan Mahkamah Konstitusi yang luar biasa tak wajar dimanfaatkan untuk kontestasi sang putra mahkota.

Sangat disayangkan. Padahal, selangkah lagi Indonesia memasuki kematangan demokrasi berdasarkan penelitian Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia harus melaksanakan 7 kali pemilu yang demokratis secara berturut-turut untuk mematangkan demokrasinya. Pascareformasi, pemilu 2024 adalah pemilu ke-6 dan 2029 merupakan pemilu ke-7. Selangkah lagi demokrasi di Indonesia akan matang. Matang disini bermakna seluruh elemen bangsa telah terkonsolidasi sehingga masyarakat lebih dewasa menjalani pemilu.

Baca juga : Presiden tak Sensitif Tanggapi Kritik Civitas Academica

Apa pasal, penguasa telah menegaskan dirinya akan berpihak sekaligus akan berkampanye. Pernyataan ini memang bertolak belakang dengan sebelumnya bahwa pemerintah netral. Rasanya memang tidak perlu mempersoalkan lagi kontradiksi Jokowi vs Jokowi. Itu sudah terlalu sering. Tengoklah pernyataan lainnya, mulai dari Gibran yang tidak akan maju hingga soal netralitas pemerintah. Pakar politik Eep Syaefullah mengatakan, Eep Saefulloh: Jokowi Orang Paling Dahsyat Membantah Dirinya Sendiri. Esuk tempe, sore dele, kata pepatah Jawa.

Tetapi yang perlu dicermati saat ini fenomena brutalian demokrasi di Indonesia tersaji secara top-down approach. Presiden Jokowi menegaskan dirinya akan memihak dan berkampanye saat berada di depan Panglima TNI dan Menteri Pertahanan selaku kontestan pemilu. Tanpa disadari, Jokowi sebagai Panglima tertinggi angkatan bersenjata sedang menggunakan bahasa simbolis bahwa TNI siap membackup langkahnya dan jangan macam-macam dengannya. Disaat yang sama, Jokowi tak segan menunjukkan dukungannya kepada Menhan Prabowo.

Sangat disayangkan, Jokowi tampaknya lebih peduli dengan ambisinya dibanding kerusakan sistemik yang ditimbulkan. Penegasan keberpihakan akan dianggap benar sekalipun aturan tidak mengatakan seperti itu. Betul kata Machiavelli, kekuasaan adalah candu. Kekuasaan harus direbut dengan cara yang paling kotor sekali pun. Jika sudah digenggam, maka pertahankanlah dengan segala kekuatan. Machiavelli memotret fakta kelam saat itu bahwa dinasti politik banyak membawa kehancuran bangsa. Dinasti adalah kontra demokrasi dan tidak ingin adanya pembatasan kekuasaan.

Baca juga : Koalisi Dosen Universitas Mulawarman Desak Jokowi Hentikan Politik Dinasti

Kita harus akui desain demokrasi partisipatif saat ini perlahan bergeser menjadi demokrasi sentralistik. Ini membuat pemilu 2024 berjalan kurang fair. Persaingan bukan lagi soal kemampuan setiap kandidat berpikir tuntas, tetapi persaingan yang dibayangi keberpihakan penguasa. Jika dibiarkan, sikap ini bisa melegitimasi konflik kepentingan, yang menurut KPK itu adalah embrio korupsi.

Mengutip pernyataan Bung Hatta, lenyapnya demokrasi berarti lenyapnya Indonesia merdeka. Mestinya Jokowi memahami itu. Muhammad Hatta adalah bapak Demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi moralitas dalam politik. Begitu pula dengan pengorbanan Sultan HB IX yang pernah menyelamatkan Republik ini dari krisis. Keteladanan pemimpin Hatta maupun HB IX membuat rakyat bangga atas kiprahnya. Namanya abadi dengan segala kehormatannya.

Apa yang dikhawatirkan banyak pihak, termasuk Tempo yang menulis, Jokowi akan terhina sebagai keset sejarah tampaknya sulit dibantah. Pada titik ini, kita berharap brutalian demokrasi bisa dihentikan oleh kedaulatan rakyat. Kekuasaan dikembalikan kepada mekanisme demokrasi yang jujur.

Baca juga : Pakar Hukum Tata Negara Nilai Jokowi Tak Bisa Ajukan Cuti, Apa Alasannya?

Kita juga berharap para pejabat negara tidak tunduk terhadap tekanan kekuasaan, terlebih mendekati Pemilu 14 Februari 2024 pembagian Bantuan Sosial dilakukan oleh pejabat tertentu, tanpa melibatkan jalur birokrasi atau prosedural. Ingat, semua pejabat dan penyelenggara negara terikat dengan etika dan sumpah jabatan. Etika adalah mahkota. Kedudukannya berada diatas logika. Jimly Asshiddiqie mengumpamakan etika adalah samudera sedangkan aturan hanyalah kapal.

Demokrasi di Indonesia tidak boleh kehilangan adabnya. Demokrasi di Indonesia perlu didukung agar semakin kokoh. Biarkan pemilu sebagai siklus kekuasaan mengalir secara alamiah. Rakyat perlu terus bersuara mengusik penguasa yang tengah dilanda krisis moral dan kebuntuan nurani.

Pernyataan keberpihakan Jokowi berbahaya dan berpotensi diikuti oleh seluruh perangkat eksekutif pusat dan daerah hingga Badan Usaha Milik Negara. Bayangkan, keberpihakan Jokowi yang saat itu belum diumumkan saja mampu mempengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi saat ini keberpihakannya telah diumumkan secara tegas. Betapa cemasnya demokrasi saat ini.

Baca juga : Profil Mahfud MD, Dari Mahasiswa Hukum, Menko Polhukam hingga Cawapres

Keberpihakan Jokowi tidak bisa dianggap sepele. Jokowi adalah kepala negara pengendali instrumen pertahanan-keamanan. Jokowi pula sebagai pemegang kuasa anggaran yang dapat mengarahkan kuasanya untuk pemenangan.

Bangsa patut khawatir, kita sedang menyaksikan peran ganda Presiden sebagai Chief of State sekaligus Thief of State. Mengapa disebut thief? Jelas sekali, UUD menurut Satjipto Rahardjo adalah bahasa moral telah ‘dicuri’ dengan terencana, dilakukan oleh keluarga dan dimanfaatkan untuk keluarga.

Jokowi memilih menurunkan levelnya sebagai Chief Of State. Jokowi dengan sadar memilih jalan tidak terhormat dalam berdemokrasi. Jokowi seakan tidak peduli dengan nasehat adiluhung Tut Wuri Handayani bahwa pemimpin adalah teladan. Tak salah bila BEM UGM menobatkan Jokowi sebagai alumni paling memalukan. Tak salah pula bila gelombang protes resmi dari berbagai perguruan tinggi terus menggema, menyuarakan kegelisahannya atas demokrasi yang dilucuti. Para sivitas akademika itu bersedih atas hilangnya status negarawan dari presiden.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat