visitaaponce.com

Segelintir Bikin Bising

OBROLAN di warung kopi dengan seorang teman tiba-tiba serius. Ia bertanya, “Mengapa masih ada elite negeri ini yang menampar muka Presiden Joko Widodo?”

Saya pun terperanjat. Saya menimpali dia dengan bercanda. “Bro, apakah di pipi Presiden terlihat tanda merah bekas gambar tangan? Jangan-jangan dirimu bernostalgia lagu Hati yang Luka.”

Lagu ciptaan Obbie Messakh melukiskan kekerasan domestik. Syairnya putis kali, ‘Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu. Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu’.

Bersuara lirih, teman itu menjelaskan bahwa Presiden Jokowi pada 2 Desember 2019 menolak usulan masa jabatan presiden tiga periode. Mengapa selama tiga tahun ini usulan perpanjangan masa jabatan itu malah kian kencang dikumandangkan?

Kata Jokowi saat itu, usulan itu ada tiga. “Satu, ingin menampar muka saya. Yang kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja. Ini yang sejak awal saya sampaikan,” ucap Presiden Jokowi.

Intonasi suara teman saya mulai meninggi. “Bukankah usulan penundaan pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden, hakikatnya ingin menampar muka Jokowi? Mengapa Jokowi tidak menindak anak buahnya yang doyan kasak-kusuk untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden?”

Dalam hati saya membenarkan pernyataan teman saya. Jika Jokowi risih dengan ulah anak buahnya tentu ia mencopot, minimal menegur anak buahnya. Saya buru-buru buang ke laut dugaan ikut menikmati situasi saat ini. Tidak ada basis argumentasinya. Bukankah ada pepatah kerbau dipegang tali hidungnya, manusia dipegang pada katanya? Saya kukuh memegang kata-kata Jokowi.

Menjawab pertanyaan teman itu, saya mengutip artikel Prof Budiono Kusumohamidjojo berjudul Ketertiban yang Adil versus Ketidakadilan: Bebas Sosial-Ekonomi yang Historis dari Hukum.

Kata Kusumohamidjojo, di segala zaman dan tempat, memang selalu terdapat segelintir orang yang seperti dilahirkan dengan bakat-bakat untuk selalu lekat dengan kekuasaan politik.

Padahal, lanjut Kusumohamidjojo mengutip Hannah Arendt, kekuasaan politik selalu digoda oleh dorongan untuk menjadi tidak rasional, karena bagaimanapun juga kekuasaan itu selalu merupakan hasrat untuk menguasai, baik dengan cara dan tujuan yang “baik” maupun dengan cara dan tujuan yang “tidak baik”.

Dengan demikian, kata saya kepada teman, mereka yang mengusulkan pemilu ditunda ialah segelintir orang yang seperti dilahirkan dengan bakat-bakat untuk selalu lekat dengan kekuasaan politik. Mereka sangat menikmati kekuasaan yang didapat dan tidak mau menanggalkannya seperti iklan produk sudah duduk lupa berdiri.

Konstitusi sudah jelas mengatur bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, juga disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Semua yang sudah terang benderang disebutkan dalam konstitusi maupun aturan turunannya dibuat samar-samar dengan tujuan melanggengkan kekuasaan karena kekuasaan itu membawa nikmat.

Dengan begitu, meminjam pernyataan Kusumohamidjojo, pemilihan umum yang merupakan tulang punggung demokrasi itu sebenarnya hanya merayakan pergantian oligarki kekuasaan, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat, atau di negara-negara demokratis yang lain.

Tidak bisa dihindarkan, kata dia, bahwa dengan merujuk kepada Han Feizi dan Machiavelli, oligarki politik yang absolut dan despotik itu, baik yang modern tetapi apalagi yang kuno, akan lebih memantapkan oligarki ketidakadilan yang dapat mereka nikmati buahnya.

Wacana menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden, meminjam pernyataan Jokowi, sesungguhnya ingin menjerumuskannya. Fakta itulah yang disimpulkan dari survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Jumat (1/4). Survei SMRC pada 13-20 Maret 2022 menunjukkan mayoritas publik menolak penundaan Pemilu 2024 dengan alasan pandemi covid-19 (78,9%), pemulihan ekonomi (79,8%), dan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (78,5%).

Kesimpulan survei ialah wacana penundaan pemilu tampak berimplikasi negatif terhadap penilaian warga tentang arah perjalanan bangsa, kinerja demokrasi, dan kepuasan atas kinerja Jokowi sebagai presiden.

Tingkat kepuasan warga atas kinerja Jokowi sebagai presiden turun dari 77% pada survei Maret 2021 menjadi 64,6% pada survei terakhir Maret 2022. Sebaliknya, proporsi yang tidak puas naik dari 22,2% menjadi 32,2%.

Wacana penundaan pemilu berdampak negatif terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden. Elok nian untuk tidak memberikan kekuasaan kepada segelintir orang yang bikin bising atmosfer politik negeri ini.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat