visitaaponce.com

Tersentak Reog

RABU, 13 April, pekan depan menjadi tenggat bagi Reog Ponorogo. Kesenian asli Ponorogo, Jawa Timur, ini memang masuk nominasi tunggal Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage/ICH) yang akan diusulkan Indonesia ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Batas pengusulannya Rabu pekan depan.

Mengapa Indonesia mesti bergegas mengajukan Reog Ponorogo? Karena jangan sampai keduluan Malaysia. Negeri jiran itu juga amat berhasrat memasukkan Reog Ponorogo sebagai Warisan Tak Benda milik mereka. Malaysia merasa bahwa Reog sudah berpuluh-puluh tahun menjadi identitas kesenian dan kebudayaannya, walau yang mengenalkannya orang Jawa yang hijrah ke negara tetangga.

Sikap Malaysia yang diam-diam terus bergerak mestinya menjadi tamparan keras buat kita. Walau Reog bukan budaya asli mereka, negeri para Dato itu setia merawat isu bahwa Reog punya mereka. Mungkin karena kebingungan memisahkan kata 'reog' dengan 'Ponorogo', Malaysia memilih melakukan semacam modifikasi.

Kalau kesenian Wayang Kulit yang mereka klaim tidak diubah namanya, nama Reog diubah menjadi tarian Barongan. Tidak peduli bahwa wujud Reog itu bukan naga seperti Barongsai, tapi wujud harimau dan burung merak. Bukan itu saja, kisah di balik tarian itu pun diubah. Mirip seperti saat mereka mengubah lirik lagu Rasa Sayange. Kalau saja mereka menyertakan informasi dari mana asal tarian tersebut, tidak akan ada yang protes.

Namun, itulah modifikasi. Malaysia serius dan tidak mengenal lelah mengeklaim Reog. Tamparan negeri jiran itu mengena. Kita pun langsung bergerak serentak menjunjung tinggi-tinggi Reog. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy turun tangan. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tidak tinggal diam. Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sigap berlarian. Para netizen juga merapatkan barisan.

Seyogianya, kepedulian akan kesenian dan kebudayaan tidak sekadar muncul saat ada tantangan. Kesenian dan kebudayaan mestinya menjadi denyut nadi dan tarikan napas sehari-hari kehidupan kebangsaan. Meminjam catatan antropolog masyhur William A Haviland, seni itu penunjuk eksistensi norma yang sesuai.

Norma agar masyarakat berlaku sesuai, kata William, bukan hanya dibuat berdasarkan tuturan dan tulisan yang disampaikan para pemimpin di sebuah daerah. Akan tetapi, seni juga bisa digunakan untuk menyalurkan aturan atau norma tersebut.

Melalui seni Wayang Kulit, Sunan Kalijogo mendakwahkan norma-norma luhur kebaikan tidak dengan cara menggurui dan membosankan. Proses kreatif Sunan Kalijogo dalam mengenalkan norma-norma dan aturan untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan keburukan berdasarkan kitab suci melalui wayang, terbukti tetap hidup hingga kini. Dakwah menjadi tidak kering dan membosankan.

Reog Ponorogo juga mengenalkan simbol pergulatan hidup antara tuntunan kebaikan dan rayuan keburukan. Ketegangan antara keduanya disimbolkan oleh tarian para Warok, Jatil, Bujang Ganong, Kelanasewandana, dan Barongan. Tarian tersebut diiringi dengan seperangkat instrumen pengiring Reog khas ponoragan yang terdiri dari kendang, gong, kethuk-kenong, slompret, tipung, dan angklung. Gamelan itu melambangkan kekayaan keragaman.

Fungsi seni lainnya ialah meningkatkan rasa solidaritas kelompok di masyarakat. Kata William, ketika seorang manusia menyadari bahwa kebudayaan atau karya seni mereka ternyata memiliki peran penting dalam kehidupan kelompok, di situlah terbentuk solidaritas. Itulah yang tecermin pada kasus klaim Reog Ponorogo oleh Malaysia ini.

Klaim tersebut menghidupkan lagi solidaritas. Meskipun solidaritas yang lebih bersifat instan, tapi tak apalah. Anggap saja ini menu pembuka bagi kita untuk makin mengukuhkan solidaritas di hari-hari berikutnya, di peristiwa-peristiwa lainnya. Reog sebagai pemantik solidaritas kiranya amat penting untuk menambah 'imun' bagi modal sosial kita yang mulai terkoyak.

Pemkab Ponorogo sebelumnya pernah mengusulkan Reog Ponorogo ke dalam daftar ICH UNESCO pada 2018, tetapi belum berhasil. Di tahun tersebut, justru Gamelan Indonesia yang lolos dan berhasil diakui UNESCO pada 15 Desember 2021.

Kini, saatnya memperjuangkan kembali salah satu identitas penting tersebut, dengan solidaritas yang lebih tinggi. Pula, dengan upaya yang lebih gigih. Kalau tidak, jangan menyesal kalau kekayaan kita yang sangat berharga itu diserobot tetangga kita, hanya karena mereka lebih cekatan dan berikhtiar lebih besar-besaran.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat