visitaaponce.com

Pak Lurah

KATA pak lurah lagi trending. Sebutan itu jadi pembicaraan banyak kalangan, mulai para pemangku kuasa hingga rakyat jelata, dengan beragam tafsir plus rupa-rupa pemaknaan.

Adalah Presiden Jokowi yang menggaungkan pak lurah. Tak tanggung-tanggung, dia memberikan porsi khusus buat pak lurah pada pidato kenegaraan, Rabu (16/8). Pidato itu dihelat di acara yang mulia, yang sakral, yakni Sidang Tahunan MPR di kompleks parlemen Senayan yang menjadi agenda tahunan sehari jelang Hari Kemerdekaan RI.

''Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasananya sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren di kalangan politisi dan parpol. Setiap ditanya soal siapa capres-cawapresnya, jawabannya 'Belum ada arahan pak lurah',” begitu Pak Jokowi mengawali pidatonya.

''Saya sempat mikir. Siapa pak lurah ini? Sedikit-sedikit, kok, pak lurah. Belakangan saya tahu yang dimaksud pak lurah itu ternyata saya. Ya saya jawab saja, saya bukan lurah. Saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata pak lurah itu kode. Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan ketua umum parpol, bukan juga ketua koalisi partai, dan sesuai ketentuan undang-undang, yang menentukan capres dan cawapres itu parpol dan koalisi parpol,'' curhatnya lagi.

Pak Jokowi kemudian bilang bahwa penentuan capres-cawapres bukan wewenangnya, bukan wewenang pak lurah. Dia pun memilih menerima nasib sebagai seorang presiden untuk dijadikan paten-patenan, dijadikan alibi, dijadikan tameng.

Lurah ialah jabatan perangkat daerah. Dia pemimpin kelurahan di wilayah kabupaten atau kota dan bertanggung jawab kepada camat. Secara hierarki, posisi lurah jelas jauh di bawah presiden. Di antara keduanya masih ada camat, bupati/wali kota, dan gubernur. Jika begitu, kenapa sebutan pak lurah mengacu ke Pak Presiden?

Betul kiranya kata Pak Jokowi bahwa pak lurah adalah semacam kode yang merujuk ke dirinya. Kode itu pun sudah lama ada, publik juga telah lama mengetahuinya. Kode pak lurah, umpamanya, menyeruak dalam kisruh Partai Demokrat. Pada Februari 2021, politikus Partai Demokrat Andi Mallarangeng membeberkan isi pertemuan sejumlah kader Demokrat dengan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Menurut laporan mereka yang ikut, dalam pertemuan itu Moeldoko mengeklaim telah mendapat restu pak lurah untuk mengambil alih Demokrat lewat kongres luar biasa.

Pak lurah juga identik dengan Pak Jokowi di mata relawan. Ini kata Tenaga Ahli Utama KSP Joanes Joko. Kata dia, Jokowi disapa pak lurah karena dia pemimpin yang tak berjarak. Selain pak lurah, oleh relawan Pak Jokowi kerap disapa pakde.

Istilah pak lurah untuk Presiden Jokowi diakui pula oleh elite-elite partai politik. Ketua DPP PDIP Said Abdullah, amsalnya, menyebut istilah itu sebagai ekspresi kecintaan. Pak lurah ialah panggilan sayang untuk Pak Presiden.

Jika begitu, apa yang salah? Saya kira tidak ada yang keliru. Biasa saja. Apalah arti sebuah nama, begitu ucapan William Shakespeare, pujangga besar Inggris berjuluk Bard of Avon. Namun, istilah itu menjadi tak biasa jika digunakan, diklaim, dicatut, untuk kepentingan yang tidak-tidak.

Menunggu arahan pak lurah kiranya juga bukan hal yang lumrah bagi partai. Bergantung pada kekuasaan ialah wujud ketidakberdayaan karena semestinya mereka yakin pada kemampuan diri sendiri. Lebih tidak lumrah lagi ketika pusat kekuasaan merasa punya restu, memiliki arahan, yang ditunggu-tunggu dalam konstestasi pilpres.

Dalam pidato kenegaraannya, Pak Jokowi memang menegaskan dirinya tak punya wewenang menentukan capres-cawapres. Dia sadar bukan ketua umum partai, bukan pula ketua koalisi partai. Namun, penegasan itu sejatinya bukan barang baru. Dulu dia menegaskan hal yang sama, tapi faktanya? Dulu, dia menyatakan tak cawe-cawe karena pilpres urusan partai, tapi realitasnya? Pak Jokowi bahkan kemudian berubah sikap, dia bilang akan cawe-cawe dengan dalih kepentingan nasional.

Sulit kiranya untuk menepis kesan bahwa Presiden memang ikut campur dalam urusan pilpres ketika suatu waktu dia mengumpulkan koalisi pemerintah di istana tanpa mengundang salah satu partai anggota koalisi? Terlebih alasan Pak Jokowi ialah lantaran partai itu sudah punya koalisi lain.

Sukar rasanya untuk menyangkal dugaan bahwa Presiden memang merestui capres tertentu ketika di depan publik dia gemar mempertontonkan sinyal-sinyal tertentu. Salahkah presiden mendukung calon tertentu? Tidak. Namun, elokkah, bijakkah, dukungan itu dipamerkan ke rakyat? Jawabannya juga tidak.

Jika tak ingin dijadikan paten-patenan, alibi, tameng, jangan pula membuka peluang untuk itu. Alangkah baiknya kalau pak lurah, eh, Pak Presiden benar-benar netral di kompetisi pilpres.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat