visitaaponce.com

Konoha, Wakanda

ANUGERAH terbesar bagi perorangan atau bangsa ialah abhaya, ketidaktakutan. Bukan keberanian jasmani semata, melainkan juga tidak adanya ketakutan dalam alam pikiran. (Jawaharlal Nehru)

Dalam sepekan ini, soal 'rasa takut' menjadi perbincangan hangat di kalangan publik. Pemantiknya, pidato bakal capres Anies Baswedan di depan sivitas akademika FISIP Universitas Indonesia. Anies memberikan kuliah kebangsaan bertajuk Hendak ke mana Indonesia Kita? Gagasan, Pengalaman dan Rancangan Para Pemimpin Masa Depan, Selasa (29/8) lalu.

Ketika itu, Anies menyinggung soal Konoha dan Wakanda, desa dan negeri fiksi dalam anime Naruto dan film Black Panther. Konoha dan Wakanda kerap menjadi sarkasme dari penggambaran kondisi Indonesia yang semrawut dengan berbagai permasalahannya. Kata-kata Konoha dan Wakanda selalu muncul di komentar-komentar ataupun konten-konten di media sosial.

Anies mengaitkan dua kampung halaman imajiner itu dengan kualitas demokrasi kita yang kian turun. Salah satu indikatornya, mulai muncul rasa takut untuk mengkritik dan berbeda. Bentuknya, menyamarkan kata 'Indonesia' menjadi 'negeri Konoha' atau 'Wakanda' saat menuliskan kritik di media sosial.

Anies mulanya bicara soal kualitas demokrasi yang harus ditingkatkan. Dia menilai demokrasi bukan hanya soal pemilu. "Kita tadi salah satu menyebut kebebasan berekspresi. Demokrasi itu bukan hanya ada pemilu atau tidak, tapi demokrasi itu nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat," kata Anies.

Dia menilai demokrasi ialah ketika aspirasi diproses tanpa rasa takut. Aspirasi itulah yang kemudian menjadi keputusan dan dilaksanakan. "Di mana aspirasi bisa diproses melalui proses politik tanpa rasa takut tanpa tekanan dan kemudian nantinya bisa jadi keputusan-keputusan yang dilaksanakan semuanya dalam kedamaian," jelasnya.

Anies kemudian menyinggung fenomena banyak warga menggunakan kata 'Konoha' atau 'Wakanda' saat menyampaikan kritik. Dia menyebut hal itu merupakan salah satu masalah. Hal itu menjadi pertanda ada sensor dalam diri warga. Bukan cuma itu, kata Anies, ada yang mengkritik polusi udara Jakarta malah menggunakan nama Kota Lahore.

Konoha, Wakanda, dan belakangan bertambah Lahore boleh jadi sekadar seloroh. Tidak serta merta bentuk ketakutan. Tapi, bukan tidak mungkin penggunaan kata-kata penyamaran itu merupakan benih-benih ekspresi rasa takut yang mulai bersemi. Karena itu, apa yang disampaikan Anies menjadi semacam wake up call bagi jalan demokrasi kita yang potensial meleset dari rel bila tidak dibenahi.

Dulu, di era Orde Baru, kasus mirip-mirip 'Konoha', 'Wakanda', dan 'Lahore' ini kerap terjadi. Sejumlah aktivis, misalnya, memelesetkan nama Presiden Soeharto dengan 'Soeharno yang jualan bakso', saat ngrasani penguasa Orde Baru itu sambil berbisik. Atau, biasanya dikasih embel-embel, "Yang saya ceritakan tadi kejadian di Kutub Utara, bukan di sini."

Begitulah kiranya ketika ekspresi dalam bentuk kebebasan berpendapat dikekang, bahkan diteror, orang menyamarkan pembicaraan dengan sebutan yang dipelesetkan. Semua itu menunjukkan satu hal: kian bertumbuhnya rasa takut. Kini, rasa takut itu bukan saja berasal dari kekuasaan langsung, melainkan bisa datang dari para pengikut tegak lurus penguasa. Dalam kondisi seperti itu, demokrasi terancam oleh mobokrasi.

Tanda-tanda bahwa kebebasan berekspresi mulai terancam bisa juga dirunut pada indeks kebebasan pers. Pekan ini, Dewan Pers merilis Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2023. Hasilnya, Indeks Kebebasan Pers Indonesia tahun 2023 menurun. Tahun ini, nilai IKP nasional turun menjadi 71,51. Padahal, sebelumnya, di tahun 2022, indeks itu masih ada di angka 77,88.

Para informan ahli yang disurvei merupakan representasi dari unsur state, civil society, dan korporasi. Benar bahwa angka yang turun itu masih berada pada standar indeks kemerdekaan pers. Namun, penurunan poin yang relatif tajam itu jelas alarm yang mesti jadi evaluasi betapa kemerdekaan berekspresi mulai terusik. Mulai muncul rasa takut untuk berbeda.

Negeri ini masih memiliki harapan yang tetap menjadi sesuatu yang indah bagi manusia. Ia menjanjikan masa depan penuh warna-warni bunga. Harapan itu sesuatu yang membebaskan. Namun, manusia sendirilah yang justru menciptakan makhluk lain untuk membunuh harapan-harapan yang ada di rongga dada. Makhkuk itu ialah ketakutan.

Rasa takut, bila dibiarkan, akan menolak eksistensi hak asasi manusia. Rasa takut itu hidup di bawah atap kekuasaan yang juga dihantui ketakutan. Rasa takut itu meringkuk di bawah ketakutan yang membunuh harapan, mematikan perubahan.

Apakah rasa takut di negeri ini makin pekat oleh kekuasaan yang juga dicekam ketakutan? Semoga memang itu hanya terjadi di Konoha dan Wakanda.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat