visitaaponce.com

Transparansi Proses Persidangan MA Kalah Jauh dari MK

Transparansi Proses Persidangan MA Kalah Jauh dari MK
Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Rabu (8/7).(MI/ADAM DWI)

PROSES persidangan di Mahkamah Agung (MA) yang tidak transparan dan sulit diakses publik mendapatkan kritik. Pengamat politik Ray Rangkuti dari Lingkar Madani mencontohkan putusan MA tentang gugatan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilu.

Putusan tersebut sudah dijatuhkan pada 28 Oktober 2019, namun  baru diunggah pada Juli 2020. Kini, putusan itu pun menimbulkan polemik mengenai hasil pilpres 2019.

MA pada putusannya membatalkan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 berbunyi, 'Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih'. 

Putusan MA menyebutkan aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Pemilu mengatur bahwa pemenang pilpres adalah yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Akibatnya, timbul perdebatan tentang hasil pemilu 2019. Pasalnya, di sisi lain Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus pengujian UU Pemilu yang ketika itu belum direvisi menjadi UU N0 7/2019. Putusan MK pada pokoknya menyatakan apabila hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres, pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih yang memperoleh suara terbanyak. Putusan MK tersebut kemudian diakomodasi dalam PKPU No 5/2019.

“Putusan MA terlambat diumumkan pada publik, keterlambatan ini membuat kepercayaan terhadap mekanisme penegakan pemilu berkurang. Lepas dari isinya sebaiknya diungkapkan pada publik seharusnya lebih cepat,” ujarnya dalam daring yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konsitusi Universitas Andalas di Jakarta, pada Kamis (9/7).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan proses berperkara di MA yang tidak terbuka membuat publik sulit mengakses informasi. Hal itu berbeda jauh dengan persidangan di MK, semua pihak yang terlibat bisa mengetahui prosesnya.

“Di MA kita tidak tahu karena prosesnya tidak seterbuka dan mudah diakses seperti di MK,” ujar Titi.

Sebagai perbandingan, Titi mengatakan MA memberikan putusan terhadap pengujian PKPU No 5/2019 yang diajukan oleh Rachmati pada 21 April dan diputus oleh majellis hakim pada 8 Oktober 2019, lalu baru dipublikasikan pada Juli 2020.

“Kalau di MK satu hari diputuskan satu hari diunggah berkas putusannya dengan utuh. Tidak heran publik mengalami keterkejutan,” cetus Titi.

Ia juga menuturkan keterkejutan publik terhadap putusan MA juga diwarnai kontroversi terkait hoaks dan disinformasi soal syarat sebaran suara pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Titi menjelaskan pada UU 7/2017 tentang Pemilu memang diatur penetapan pemenang pilpres apabila memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Aturan 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, papar Titi, maksudnya pasangan calon harus mendapatkan minimal 20% suara di setengah jumlah provinsi di Indonesia (setengah dari 35 provinsi atau 18 provinsi)

“Kemarin itu disinformasinya dimaknai sebaran suara tersendiri dan di setiap provinsi harus mendapat minimal 20%,” paparnya.

Titi juga menyebut bahwa ketidakpastian dalam sistem peradilan hasil pemilu muncul karena dalam pembentuk undang-undang kerap kali tidak mengakomodasi putusan MK.

Pengajar hukum tata negara di Universitas Andalas Feri Amsari juga juga menjadi pembicara dalam kesempatan itu, menyampaikan publik tidak boleh terpancing oleh pihak yang mencoba merekayasa putusan MA. Mereka berusaha menggiring opisi seolah-olah putusan itu membatalkan hasil dari pemilu 2019.

“Kita menyadari proses peradilan pemilu terkait hasil penyelenggaraan pemilu harus diakui rumit dan membingungkan. Proses perselisihan hasil pemilu rumit dan terlalu banyak fase sehingga sulit menemukan ujung hasil proses pemilihan pemilu. Kita harus membenahi ini,” ujarnya.

Feri pun menilai putusan MA sudah kedaluwarsa sebab MK telah menetapkan hasil sengketa pilpres 2019 yang menyatakan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menjadi pasangan calon terpilih. 

Pendiri Network for Democrasy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay pada diskusi yang sama menuturkan putusan MA seharusnya memerhatikan putusan MK. Ia juga menjelaskan bahwa ketentuan mengenai paslon presiden terpilih harus memenuhi syarat lebih dari 50% suara sah, atau memenuhi syarat dukungan yang merata, sekurang-kurangnya 20% suara sah di lebih dari separuh provinsi di Indonesia, tidak boleh dihilangkan. 

Menurutnya sistem tersebut selain unik juga seharusnya dipertahankan. Sistem tersebut, terang Hadar, idenya diambil dari pemilihan di Nigeria. Nigeria punya syarat ada dukungan perolehan suara mayoritas mutlak yang merata dengan pertimbangan kita harus punya presiden dan wakil presiden yang punya legitimasi tinggi.

"Karena Nigeria hampir sama dengan Indonesia provinsinya banyak pembangunannya tidak merata, ada upaya memerdekakan diri. Ini sudah dituangkan rapi dalam UU Pemilu sebelumnya untuk pemilihan 2009 dan 2014," tutur Hadar. (P-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat