Pasal Penghinaan Presiden dianggap Bentuk Antikritik, Wamenkumham Sesat Pikir
WAKIL Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (Edi) menegaskan kembali pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bukan bentuk antikritik terhadap pemerintah. Pihak yang menganggap hal itu bentuk antikritik pemerintah adalah sesat pikir.
"Itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa bedakan antara kritik dan penghinaan," kata Edi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini.
Dia menegaskan yang dilarang itu adalah penghinaan terhadap presiden. Sedangkan kritik terhadap pemerintah maupun kepala negara diperkenankan.
"Yang dilarang itu penghinaan lho bukan kritik. Dibaca gak bahwa kalau itu mengkritik gak boleh dipidana. Kan ada di pasalnya. Jadi apa lagi?" ungkap dia.
Selain itu, Edi mengomentari pendapat sejumlah pihak yang menyebut kalau pasal penghinaan presiden dimasukkan ke Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Menurut dia, hal itu berlaku di negara lain.
Baca juga: Demo Tuntut Transparansi Pembahasan RKUHP Bubarkan diri dengan Tertib
Edi menjelaskan Indonesia tidak bisa merujuk negara lain dalam pengaturan penghinaan presiden. Sebab, penghinaan di Indonesia dengan negara lain sangat berbeda.
Dia menjelaskan unsur penghinaan dalam teori pidana Indonesia masuk kategori malum in se. Yakni, suatu perbuatan dianggap suatu kejahatan bukan karena diatur demikian atau dilarang oleh undang-undang. Melainkan bertentangan dengan kewajaran, moral, dan prinsip umum masyarakat beradab.
Sedangkan negara lain memasukkan penghinaan dalam kategori mala prohibita. Suatu perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur oleh undang-undang.
Selain itu, dia meyakini MK bakal menolak gugatan pasal penghinaan presiden. Hal itu berdasarkan putusan MK pada 2006.
Dia menjelaskan waktu itu ada empat pasal yang diuji, yaitu Pasal 134, 135, 136, dan 207. Ada tiga gugatan yang dikabulkan, sedangkan Pasal 207 hanya diminta diperintahkan untuk mengubah delik dari umum ke aduan.
"Itu sebabnya bunyi pasal 351, 353, 354 revisi UU KUHP delik aduan. Berdasarkan putusan MK," kata dia.
Dia pun menantang bagi pihak yang menolak mengambil upaya konstitusi jika tak sepakat dengan keberadaan pasal penghinaan presiden. Dia meyakini pihak kontra tidak berani menggugat ke MK. "Mereka gak berani karena pasti ditolak," ujar dia.(OL-4)
Terkini Lainnya
Prabowo Belum Susun Nama-nama Calon Menteri
Wamen Desa PDTT Gelar Open House di Klaten pada Hari Kedua Idul Fitri
Kominfo Siapkan Pedoman Etika Penggunaan AI di Sektor Publik
Kunjungi Lokasi IKN, Wemandag Optimistis dengan Masa Depan Perdagangan
Climate Reality Indonesia Luncurkan Buku 'Menjalin Ikhtiar Merawat Bumi'
Mahendra Siregar Didapuk Jadi Ketua Dewan Komisioner OJK Periode 2022-2027
Ditjen HAM Kawal Proses Hukum Kasus 18 Remaja yang Dianiaya Polisi di Sumbar
Batik Nitik dan Sasirangan, dari Warisan Budaya Menjadi Kekayaan Ekonomi
159 Ribu Narapidana Dapat Remisi Lebaran dari Pemerintah
Yasonna Sebut Tidak Ada Pengistimewaan Bagi Mario Dandy
Laporan Dugaan Korupsi Wamenkumham Naik ke Penyidikan, KPK: Memang Pasti Ditindaklanjuti
Pakar: Rekomendasi Kemenko Polhukam bisa Dimaknai Evaluasi Dirjen AHU
Perang Melawan Judi Online
Ujaran Kebencian Menggerus Erosi Budaya
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap