visitaaponce.com

Ketua DPD RI Persoalan di Daerah adalah Ketidakadilan dan Kemiskinan

Ketua DPD RI: Persoalan di Daerah adalah Ketidakadilan dan Kemiskinan
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.(Ist)

KETUA Dewan Perwakilan Daerah RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, persoalan yang dialami masyarakat di daerah-daerah hampir sama. Persoalan itu adalah ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan.

Bahkan, ia mengaku sudah mendatangi lebih dari 300 kabupaten/kota di Indonesia. "Sudah sering saya katakan. Penyebab persoalan tersebut ada di hulu. Ada di koridor fundamental. Yaitu konstitusi kita yang telah meninggalkan konsep yang didesain para pendiri bangsa. Yang telah meninggalkan Pancasila," kata LaNyalla dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (13/12).

Menurut dia, ada dua sistem ekonomi yang bisa dipilih. "Mau memperkaya segelintir orang. Atau memperkaya negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat," ujarnya.

Senator asal Jawa Timur ini juga menyampaikan, sistem demokrasi yang dipilih para pendiri bangsa adalah yang terbaik untuk Indonesia. Karena demokrasi yang berkecukupan. Lengkap. Semua elemen ada di lembaga tertinggi. Ada wakil parpol, ada wakil daerah, dan ada wakil golongan.

"Para pendiri bangsa sudah mengingatkan. Sistem demokrasi liberal ala barat, tidak cocok untuk Indonesia. Apalagi menjabarkan ideologi individualisme dan liberalisme. Karena hanya akan memberi karpet merah bagi neoliberalisme yang berwatak kapitalis predatorik," jelasnya.

"Karena membiarkan hal itu, artinya kita memberi ruang bagi neokolonialisme dalam bentuk baru. Itu artinya kita telah membegal tujuan dari lahirnya bangsa dan negara ini. Seperti tertuang dalam naskah Pembukaan Konstitusi kita," sambungnya.

LaNyalla mengungkapkan, dirinya telah membuat sebuah kesimpulan bahwa bangsa ini harus kembali ke naskah asli Undang-Undang Dasar 1945. Untuk kemudian disempurnakan bersama kelemahannya dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik addendum. Bukan diganti total 95% isinya, dan menjadi konstitusi baru.

"Karena itu, saya memperjuangkan (dengan cara saya) untuk Indonesia dan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Tidak menjadi bangsa yang salah arah. Karena itu, saya berkampanye untuk kita luruskan kembali cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini," tegasnya.


Baca juga: Tingginya Tingkat Kepuasan Bukti Erick Thohir Disukai Masyarakat


Namun di tengah upaya yang ditempuh, lanjut LaNyalla, tiba-tiba banyak kalangan intelektual yang menuduhnya sedang membegal konstitusi.

"Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita. Dari sebelumnya menjabarkan Pancasila, menjadi menjabarkan ideologi asing," ujar mantan Ketua Kadin Jawa Timur itu.

LaNyalla lantas bertanya-tanya siapa sebenarnya yang melakukan pembubaran terhadap negara Proklamasi 17 Agustus 1945 dan siapa sebenarnya yang melakukan kudeta terselubung terhadap NKRI?

"Siapa sebenarnya yang menghilangkan sila keempat dari Pancasila? Siapa sebenarnya yang meninggalkan mazhab kesejahteraan sosial, sehingga oligarki ekonomi semakin membesar? Dan siapa sebenarnya yang berkontribusi merusak kohesi bangsa ini akibat Pilpres langsung?" tanya dia.

Ia pun mempersilakan kalangan intelektual membaca beberapa buku yang telah terbit dan beredar. Salah satunya buku karya Valina Singka Subekti, 'Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945'.

"Setahu saya, intelektual adalah orang yang mampu melihat keganjilan-keganjilan yang tidak pada tempatnya. Untuk kemudian menawarkan solusi dengan tujuan meluruskan keganjilan-keganjilan tersebut. Sehingga seorang intelektual tidak hanya berhenti melihat keganjilan saja. Karena kalau hanya melihat saja, kita akan terjebak dalam menara gading," terangnya.

LaNyalla menyampaikan, jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia yang kaya raya akan sumber daya alam tetapi rakyatnya miskin, maka kita bukan intelektual.

Demikian pula jika tidak merasakan keganjilan bahwa SDA di Indonesia hanya dinikmati segelintir orang dan orang asing, lalu pembangunan ternyata tidak mengentas kemiskinan, tetapi hanya menggusur orang miskin dan bahwa yang terjadi saat ini bukan membangun Indonesia, tetapi hanya pembangunan yang ada di Indonesia, maka kita bukan intelektual. (RO/OL-16)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat