visitaaponce.com

Analis Gender Perempuan Jangan Cuma Alat Legitimasi saat Pemilu

Analis Gender: Perempuan Jangan Cuma Alat Legitimasi saat Pemilu
Ilustrasi(dok.freepik.com)

DIREKTUR Eksekutif Noken Solution Elna Febi Astuti mengatakan pengarusutamaan gender dalam program-program pemerintah dan swasta sangat penting.

"Gender sendiri adalah konstruksi sosial. Nah bagaimana agar kebijakan-kebijakan dalam program pemerintah dan swasta ramah terhadap gender. Sangat ramah terhadap seluruh jenis kelamin sosial," kata Elna dalam perbincangan bertajuk "Belenggu Budaya Patriarki pada Perempuan Politik di Era 4.0 dari kanal YouTube DPD KPPI yang disitat, Kamis (15/12/2022).

"Kalau perempuan hanya sebagai legitimasi dan tidak dilibatkan sepenuhnya secara maksimal dan totalitas tentunya program-program itu tidak akan berjalan dengan baik karena perempuan tidak memegang posisi-posisi strategis," tambahnya.

Menurut Elna, kenyataan itu adalah fakta yang harus dihadapi kalangan perempuan saat ini bahwa keterlibatan peran perempuan belum maksimal di ranah-ranah kebijakan publik.

Oleh karena itu kaum perempuan perlu memiliki tiga hal perspektif dalam upaya bisa masuk ke ranah kebijakan publik; Pertama, pisau analisis perempuan sendiri terhadap gender harus kuat.

"Saya sebagai sebagai pribadi punya nggak pisau analisis gender yang membuat kontruksi sosial saya. Keluarga saya siapa, pendidikan saya apa, lingkungan sosial saya apa, agama saya apa, itu kan penting untuk membedah personal saya," ujarnya.

Kedua partai politiknya. Partai politik dalam harus melibatkan banyak kader perempuan agar bisa bergabung dalam kepengurusan partai, tidak hanya sebagai legitimasi pemenuhan kuota 30 persen kuota calon anggota legislatif saja.

Ketiga, sistem pemilunya. Untuk mengakomodasi dan memaksimalkan perempuan maka, kata Elna, harus diubah sistem pemilunya. "Partai tidak hanya harus memenuhi kuota  caleg 30 persen tetapi anggota legislatifnya juga harus 30 persen," ujar Elna.

"Kita tidak bisa menunggu kesadaran gender ini karena kita mungkin butuh 10 bahkan 20 tahun lagi," ujarnya.

"Kalau dipaksakan dengan sistem kebijakan undang undang aleg harus perempuan 30 persen akhirnya partai kan akan mengakomodir," kata Elna, yakin.

Dampak tidak diakomodirnya peran perempuan dalam politik, kata Elna, banyak kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan jenis kelamin sosial lainnya.

"Upah perempuan jugakan tidak maksimal. Tidak punya previllage seperti laki-laki. Kita tidak punya akses dan kemampuan logistik seperti laki-laki. Sampai saat ini kita belum berimbang," katanya.

Caleg perempuan 30 persen dan pemilih perempuan juga banyak. Tetapi kenapa masyarakat tetap memilih caleg laki-laki?

"Ini kembali kepada konstruksi sosial yang membentuk masing-masing. Saya sebagai Elna misalnya terbentuk dari berbagai kontruksi sosial. Kalau saya menganalisa dengan pisau gender memakai nalar kritis maka akan lahir akal sehat," katanya.

"Jika dia punya konstruksi sosial bahwa laki-laki itu pemimpin kita.  Yang memimpin kita sebaiknya lain-laki. Pendidikannya lebih mengarahkan peran laki-laki. Jika dia tidak punya analisis gender yang kritis ya berhenti di situ. Akhirny yang terpilih ya laki-laki lagi," kata Elna.

"Jadi pisau analisis gender itu penting," pungkasnya. (OL-13)

Baca Juga: Menteri PPPA: Keterwakilan Perempuan di Dunia Politik Masih ...

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat