visitaaponce.com

Kontras Sebut AKBP Harnoto tidak Layak Adili Kasus HAM Berat

Kontras Sebut AKBP Harnoto tidak Layak Adili Kasus HAM Berat
Majelis Hakim Pengadilan HAM, Kamis (8/12) menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, Isak Sattu.(MI/LINA HERLINA)

TAHAP seleksi pemilihan nama calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Mahkamah Agung (MA) Tahun 2022/2023 telah rampung. Sebanyak tiga nama diumumkan Komisi Yudisial (KY) lolos ke tahap berikutnya, yakni fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan)  di Komisi III DPR RI. Uji kelayakan dan kepatutan mulai dilakukan hari ini dan akan diumumkan hasilnya pada Kamis (30/3/2023). 

Anggota divisi pemantauan impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jane Rosalina Rumpia meragukan kualitas para calon hakim ad hoc yang telah diumumkan pada 3 Februari lalu. Keraguan itu berdasarkan hasil pemantauan dan pemeriksaan rekam jejak para calon hakim.

“Jika DPR RI ingin meloloskan ketiga calon hakim ad hoc HAM berdasarkan hasil seleksi KY, kami meragukan proses pengungkapan kebenaran dan keadilan substantif bagi korban dapat terpenuhi,” tutur Jane dalam keterangannya kepada Media Indonesia, Senin (27/3/2023).

Bukan tanpa alasan, Jane lantas mengungkapkan latar belakang salah seorang calon yang merupakan anggota Polri aktif. AKBP Harnoto salah satu calon hakim ad hoc HAM yang merupakan anggota Polri. 

Kontras menilai yang bersangkutan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang sangat minim terhadap proses persidangan di pengadilan, tidak memahami konsep HAM secara umum, tidak menguasai pelanggaran HAM berat di Indonesia, bahkan pada tahapan seleksi sudah gagal. Calon hakim ad hoc HAM tersebut juga tidak dapat pertanyaan mengenai pertanggungjawaban komando yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.

Saat ini, ada satu kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang berposes di pengadilan HAM, yakni Tragedi Paniai yang terjadi pada Desember 2014. Perkara itu telah diajukan ke tingkat kasasi setelah Majelis Hakim Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar yang diketuai Sutisna Sawati membebaskan terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Isak dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat. 

Hakim menilai masih ada pihak-pihak lain yang lebih bisa dianggap bertanggung jawab berdasarkan rantai komando di pihak Polri maupun TNI. Putusan tersebut membuat proses di tingkat kasasi nantinya akan lebih sulit, terlebih apabila Harnoto turut duduk sebagai pengadil.

“Latar belakangnya sebagai anggota Polri juga patut disoroti karena menurut Komnas HAM, terjadinya tragedi Paniai sendiri merupakan dampak dari kebijakan pemerintah melalui TNI-Polri yang menetapkan Paniai sebagai salah satu daerah rawan di Papua,” ujar Jane.

“Kami memproyeksikan kemungkinan konflik kepentingan jika yang bersangkutan dipilih menjadi hakim ad hoc HAM,” paparnya.

Terpilihnya hakim ad hoc HAM dengan pengetahuan minim dan latar belakang yang bermasalah tersebut, menurut Jane, akan membuat proses persidangan yang nantinya berjalan jauh dari harapan korban.

“Korban yang telah menunggu selama kurang lebih 8 tahun sejak kasusnya pertama kali terjadi patut mendapatkan proses peradilan yang transparan serta akuntabel dan dipimpin oleh juris yang kompeten,” tegasnya.

Jane mengemukakan memilih calon hakim ad hoc HAM secara serampangan sama saja mengkhianati harapan dari korban. 

“Kami berharap agar hakim ad hoc yang kali ini terpilih melalui putusan yang dihasilkannya bisa menjawab kebutuhan keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini gagal dilakukan,” ungkap Jane. 

Selain Harnoto, calon hakim agung ad hoc HAM yang diusulkan ke DPR yaitu Heppy Wajongkere yang berprofesi sebagai pengacara, dan M Fatan Riyadhi yang merupakan eks hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Jumlah calon hakim tersebut sama dengan kebutuhan di MA. (P-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat